BEKERJA DAN BERBAKTI UNTUK KEMAJUAN KTI

Mengakhiri Era VOC

Mineral Mentah
Mengakhiri Era VOC

Vereenigde Oost-Indische Compagnie atau VOC mengeksploitasi sumber daya alam Indonesia selama 1602-1798. Setelahnya dan sampai detik ini, korporasi-korporasi baru melanjutkan. Artinya, eksploitasi ”Tanah Air” sudah berlangsung selama 412 tahun.

Sejak zaman VOC, korporasi meraup keuntungan dari ekspor sumber daya alam (SDA) mentah. Setelah kemerdekaan Indonesia tahun 1945, model ini terus berlanjut. Jika VOC lebih gemar menjual rempah-rempah, korporasi setelahnya lebih getol mengeruk mineral mentah.

Sudah terlalu lama korporasi menikmati bulan madu eksploitasi mineral mentah. Sementara inisiatif untuk membangun pabrik pengolahan di dalam negeri tak kunjung muncul.

Menjual SDA mentah pada dasarnya merugikan negara dan rakyat karena tak menimbulkan nilai tambah. Lagi pula, ekspor barang mentah dalam bentuk apa pun dan dari sisi apa pun tidak berkelanjutan.

Meski terlambat, pemerintah akhirnya menerbitkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Amanat pentingnya adalah larangan ekspor mineral mentah mulai 12 Januari 2014. Artinya, korporasi harus membangun instalasi pengolahan dan pemurnian di dalam negeri sebelum tenggat waktu itu.

Dua tahun menjelang pemberlakuan larangan, bukannya inisiatif membangun instalasi pemurnian dan pengolahan yang muncul, melainkan meningkatnya ekspor mineral mentah secara signifikan. Korporasi justru lebih gencar melobi pemerintah agar menunda waktu larangan ekspor.

Setelah maju-mundur, pemerintah tetap pada posisi menjalankan amanat undang-undang tetapi dengan sedikit toleransi. Toleransi itu berupa skema bea keluar progresif sebagaimana tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 6 Tahun 2014. Sejumlah perusahaan multinasional menolak kebijakan bea keluar dengan alasan tak tercantum dalam kontrak karya. Lobi pun berjalan dengan latar ancaman gugatan ke arbitrase internasional.

Perlu diingat. SDA bukan monopoli korporasi dan pemerintah. Sebanyak 240 juta jiwa warga negara Indonesia adalah pemiliknya. Faktanya, model eksploitasi yang berjalan selama ini justru melahirkan kantong-kantong kemiskinan di sekitar kawasan konsesi.

Di sini sikap pemerintah diuji. Apalagi ada konteks pemilihan umum (pemilu) tahun 2014. ”Sekarang tahun pemilu bos. Setiap partai butuh uang. Bukan yang nilainya kecil, melainkan besar. Pertambangan menjadi salah satu sumbernya,” kata salah seorang pengurus partai politik pekan silam.

Proses pemberlakuan larangan ekspor mineral mentah memang berpotensi disusupi ”jual beli” kepentingan. Tanpa harus berprasangka negatif kepada para pengambil kebijakan, konsistensi adalah parameternya.

Di atas isu itu, konsistensi melarang ekspor mineral mentah akan menentukan masa depan bangsa. Ini berkaitan dengan penemuan shale gas di Amerika Serikat (AS) yang pada
gilirannya akan mengurangi ketergantungan AS terhadap minyak bumi dari Timur Tengah. Akibatnya, harga energi akan turun. Disusul dengan turunnya harga komoditas. Saat ini, 65 persen dari total ekspor Indonesia adalah energi dan komoditas.

Semakin lama kita mengekspor mineral mentah dan SDA mentah lainnya, semakin masif pula bom waktu yang kita rakit sendiri. Masih butuh waktu berapa lama lagi setelah 412 tahun? (FX LAKSANA AGUNG SAPUTRA)

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000004566712