BEKERJA DAN BERBAKTI UNTUK KEMAJUAN KTI

Mari Ramai-ramai Berinovasi Membuat Sambal

Pengendalian inflasi   
Mari Ramai-ramai Berinovasi Membuat Sambal

INFLASI Januari 2014 sebesar 1,07 persen. Masih sesuai inflasi rata-rata historis sepanjang tahun 2008-2013 yang sebesar 1,06 persen.

Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), inflasi terjadi karena kenaikan harga beberapa kelompok pengeluaran. Yang terbesar adalah kelompok bahan makanan, sebesar 2,77 persen.

Komoditas yang naik harganya pada Januari 2014 di antaranya bahan bakar rumah tangga, ikan segar, cabai merah, daging ayam ras, telur, beras, dan cabai rawit.

Bukan kali ini saja cabai menjadi penyumbang inflasi. Kerap kali, komoditas yang banyak penggemarnya di Indonesia ini naik harganya akibat sejumlah hal, seperti cuaca buruk, sehingga pasokan terbatas.

Inflasi adalah kenaikan harga umum secara terus-menerus dalam periode tertentu. Apakah terbayang, cabai berkontribusi terhadap kenaikan harga barang secara umum?

Bank Indonesia (BI), yang mengolah data BPS, menyebutkan, cabai merupakan komoditas dalam kelompok pangan yang fluktuasinya tinggi. Hal itu baik cabai merah, cabai hijau, maupun cabai rawit. Padahal, produksi cabai di Indonesia sudah cukup banyak. Pada tahun 2012, sentra produksi cabai ada di Provinsi Aceh, Sumatera Utara (Sumut), Sumatera Barat, Lampung, Jawa Barat (Jabar), Jawa Tengah, Jawa Timur (Jatim), dan Sulawesi Selatan.

Data BPS menyebutkan, dua provinsi dengan produksi cabai terbesar pada tahun 2011 adalah Jabar dan Jatim. Jabar dengan luas panen 24.045 hektar menghasilkan 300.620 ton cabai, sedangkan Jatim memproduksi 255.483 ton cabai dari luas panen 61.947 hektar.

Sekitar 50 persen produksi cabai memang masih bertumpu di Pulau Jawa. Provinsi di luar Pulau Jawa dengan produksi cabai terbesar pada tahun 2011 adalah Sumatera Utara, yakni 233.258 ton cabai dengan luas panen 22.608 hektar.

Produktivitas rata-rata cabai merah nasional pada tahun 2011 sebesar 6,2 ton per hektar, sedikit meningkat dibandingkan tahun 2010 yang sebesar 5,6 ton per hektar.

Namun, bukan berarti daerah penghasil cabai terbesar menyumbang inflasi rendah. Data Juni 2013, misalnya, cabai merah turut menyumbang inflasi di Jabar. Cabai merah juga menjadi penyumbang inflasi di Sumut, Sumatera Selatan, Banten, dan Jawa Tengah.

Ditilik dari sisi konsumsinya, masyarakat Indonesia memang patut disebut menggemari cabai. Pada tahun 2007, konsumsi cabai mencapai 3,28 kilogram (kg) per kapita per tahun. Konsumsi cabai merah mencapai 1,47 kg per kapita per tahun.

Untuk cabai merah, sebagian besar dikonsumsi oleh rumah tangga dengan pangsa penggunaannya 61 persen dari total konsumsi cabai dalam negeri. Sisanya digunakan sebagai bahan baku industri, baik industri makanan, nonmakanan, maupun keperluan ekspor.

Berdasarkan data konsumsi cabai itu, mari kita hitung. Dengan asumsi konsumsi cabai pada tahun 2013 sebesar 3 kg per kapita per tahun, maka 200 juta jiwa mengonsumsi 600 juta kg atau 600.000 ton cabai dalam setahun.

Namun, produksi cabai tidak serta-merta mulus. Ada saatnya cuaca buruk sehingga mengganggu produksi cabai atau ada kalanya cuaca buruk yang mengakibatkan banjir mengganggu distribusi cabai.
Sederhana

BI berkepentingan dengan inflasi. Bersama-sama pemerintah, BI berupaya mencapai sasaran inflasi setiap tahunnya. Tahun 2014, sasaran inflasi 3,5-5,5 persen.

Selain menggunakan kebijakan menaikkan suku bunga acuan, BI juga memiliki cara yang lebih sederhana untuk berperan menjaga inflasi. Caranya, melalui adu inovasi sambal.

BI mendorong usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang memproduksi sambal untuk terus mengembangkan usahanya. Dengan demikian, masyarakat bisa diajak untuk mengonsumsi sambal. Hal ini untuk mengurangi ketergantungan masyarakat terhadap cabai segar.

Seperti dikemukakan Eni V Panggabean, Direktur Eksekutif Departemen Pengembangan Akses Keuangan dan UMKM Bank Indonesia, cabai kerap mengalami kelebihan pasokan. Di sisi lain, pada waktu tertentu kekurangan pasokan karena tingginya permintaan. Hal ini menjadi penyebab harga cabai berfluktuasi.

”Jadi, kami ingin mendorong masyarakat berinovasi mengolah cabai segar, sekaligus mengajak masyarakat memanfaatkan produk itu sebagai antisipasi saat pasokan cabai kurang atau harga cabai naik,” kata Eni di Jakarta, beberapa waktu lalu. Harapan BI, inflasi akibat cabai dapat terkendali.

Di sisi lain, usaha rumah tangga yang memproduksi sambal akan dibantu memperluas pemasaran produk cabai olahan. BI membantu pemasarannya melalui kerja sama dengan perusahaan ritel.

Pesertanya berasal dari sejumlah daerah, seperti Surabaya, Malang, Kupang, Makassar, Bandung, Bengkulu, Denpasar, Jakarta, Yogyakarta, Palangkaraya, Jambi, dan Garut. Tiga sambal terbaik, setelah diseleksi dan dicicipi presenter sekaligus pakar kuliner Sisca Soewitomo adalah Sambal Goreng Jeng Dewi, Sambal Roa Jago Cabe, dan Sambal Emak Ti.

Dewi Amalia, pemilik Putri Nurindo, memproduksi Sambal Goreng Jeng Dewi sejak tahun 2011. Saat ini, ia masih memasarkan produksinya di beberapa toko di Kota Garut, Jabar.

”Saya senang bisa menang. Yang paling saya perlukan memang bantuan kemitraan sehingga bisa memasarkan produk lebih luas sekaligus mengajak petani di sekitar saya bekerja sama,” kata Dewi Amalia.

Dengan jaringan pemasaran yang terjamin, produksi sambal juga terjaga. Di sisi hulu, kebutuhan cabai juga terjaga. Petani cabai bisa bekerja sama untuk memasok cabai secara kontinu sehingga harga cabai lebih terkendali.

Dari sisi kegiatan ekonomi, inovasi diperlukan UMKM untuk bersaing. Sebagaimana dikemukakan Gubernur BI Agus Martowardojo, UMKM juga harus memperhatikan Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015. Saat ini, kegiatan UMKM menyumbang 57,8 persen pendapatan domestik bruto. UMKM menyerap 97,7 persen tenaga kerja. (DEWI INDRIASTUTI)

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000004638670