KUSTA
Upaya Advokasi Belum Ubah Sikap Diskriminatif
0 Komentar FacebookTwitter
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah telah melakukan advokasi ke berbagai tingkat dan lapisan masyarakat untuk mengakhiri stigma dan diskriminasi terkait kusta. Namun, sebagian masyarakat tetap menganggap kusta sebagai penyakit kutukan, tak dapat disembuhkan, dan penderitanya pun didiskriminasi.
Hal itu dikemukakan Direktur Pengendali Penyakit Menular Langsung Kementerian Kesehatan Slamet dalam acara Seruan Global 2014 untuk menghentikan stigma dan diskriminasi terhadap orang yang pernah mengalami kusta dan anggota keluarganya, Senin (27/1), di Jakarta.
Slamet menyatakan, pemerintah berupaya memberikan pemahaman kepada masyarakat, baik melalui media cetak maupun elektronik, bahwa kusta bisa disembuhkan. Advokasi juga dilakukan ke pemerintah-pemerintah daerah, pemberian pelatihan kepada pengawas lapangan, serta penyediaan fasilitas bagi penderita kusta di rumah sakit dan puskesmas. ”Ini bukan pekerjaan satu sektor, kita membutuhkan dorongan semua pihak untuk mengubah persepsi,” ujarnya.
Jumlah kasus baru penyakit kusta mengalami penurunan. Pada 2011, jumlah kasus baru kusta ada 20.023, pada 2012 menurun jadi 18.994. Meski demikian, menurut Wakil Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Muhammaad Nur Khoiron, stigma dan diskriminasi terhadap penderita kusta tidak banyak berubah.
”Perlakuan diskriminatif terhadap penderita kusta terus terjadi. Ini merupakan pelanggaran hak asasi manusia,” ujarnya.
Amin Rafi (54), mantan penderita kusta yang juga Koordinator Perhimpunan Mandiri Kusta Provinsi Sulawesi Selatan, menuturkan, dirinya mengalami diskriminasi selama 28 tahun, bahkan setelah sembuh. Ia terkena kusta saat usia 12 tahun. Pengetahuan yang minim membuat penyakitnya makin parah. Ia dilecehkan sejak sekolah dasar, sampai dipecat dari pekerjaan sebagai pegawai negeri sipil karena kusta. ”Kami hanya ingin diterima masyarakat. Kami ingin mendapatkan hak-hak kami sebagai manusia,” kata Amin.
Dalam riset yang dilakukan Komnas HAM pada 2013 ada banyak ajaran agama dan dogma yang menganggap kusta adalah kutukan. Hal itu karena kesalahpahaman memersepsikan kusta sebagai penyakit mengerikan yang tidak dapat disembuhkan.
Pada dasarnya, kusta adalah penyakit yang disebabkan Mycobacterium leprae. Kusta bukan penyakit turunan dan dapat disembuhkan dengan terapi multidrug, yakni kombinasi dari dapsone, clofazimine, dan rifampicin yang biasanya diberikan selama 6 bulan-12 bulan.
Kusta termasuk penyakit yang paling sedikit menular dibanding penyakit menular lainnya. Sebagai perbandingan, tahun 2012, jumlah penderita tuberkulosis 197.000 orang. Jumlah ini lebih dari 10 kali lipat dibandingkan jumlah penderita kusta pada tahun yang sama, 18.994 orang.
”Penyakit kusta masih dicemaskan oleh sebagian masyarakat, bahkan oleh petugas kesehatan. Hal ini terjadi karena kurangnya pengetahuan, kesalahpahaman terkait kusta, dan akibat yang ditimbulkan,” ujar Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Agung Laksono.
Menurut Agung, diperlukan kerja bersama melalui instruksi presiden. Hal itu diharapkan dapat merangkul tokoh agama, budayawan, dan pihak-pihak lain agar penderita kusta dan keluarganya tidak mengalami diskriminasi. (A10)
Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000004428517
-
- Log in to post comments
- 48 reads