Kemiskinan
Isu Lama, Cara Baru
MUHAMMAD Prakosa pernah mendapat pengalaman berkesan saat bernegosiasi dengan perunding Dana Moneter Internasional (IMF) saat ia baru menjabat Menteri Pertanian Kabinet Persatuan Nasional tahun 1999.
Topik yang diperdebatkan adalah soal bea masuk beras. IMF meminta bea masuk nol persen, dengan alasan harga beras internasional sedang rendah. Prakosa berargumen bea masuk perlu lebih tinggi agar petani terlindungi dari sisi harga beras.
Dari perdebatan sebanyak 11 kali selama dua minggu, Prakosa ikut langsung dalam lima kali negosiasi. Akhirnya perunding IMF mengajukan argumen pamungkas dengan menunjukkan hasil studi bahwa setiap penurunan harga beras Rp 100 per kilogram akan secara langsung menurunkan jumlah orang miskin 13 juta orang. ”Lha, saya bilang kalau cuma main-main dengan harga beras, kita tidak perlu pakai program yang rumit-rumit,” ujar Prakosa.
Ilustrasi itu menunjukkan bahwa program pengentasan orang miskin tidak pernah benar-benar tuntas. Sejumlah cara telah dicoba. Cita-cita kemerdekaan seperti diutarakan Bung Karno adalah mengatasi keterbelakangan dan kemiskinan. Namun, presiden sudah berganti enam kali, wakil presiden sudah berganti 11 kali, dan kabinet sudah berganti 42 kali, angka kemiskinan masih relatif tinggi.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pada tahun 1970 penduduk miskin berjumlah 70 juta orang (60 persen). Pada akhir jabatannya tahun 1998, penduduk miskin berjumlah 49,5 juta orang (24,2 persen). Presiden Abdurrahman Wahid memulai pemerintahannya tahun 1999 dengan jumlah penduduk miskin 47,97 orang (23,42 persen). Ketika pemerintahannya berakhir tahun 2001, jumlah penduduk miskin berjumlah 37,87 juta orang (18,41 persen).
Presiden Megawati yang menggantikan Abdurrahman Wahid menutup pemerintahannya tahun 2004 dengan jumlah penduduk miskin 36,15 juta orang (16,6 persen). Menjelang akhir masa jabatannya, jumlah penduduk miskin pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, yaitu pada September 2013, sebanyak 28,55 juta orang (11,47 persen).
Jumlah atau persentase orang miskin itu cenderung menurun. Namun, rasio Gini, yang mengukur kesenjangan pendapatan, cenderung meningkat. Data BPS menunjukkan bahwa rasio Gini tahun 1996 adalah 0,355 dan tahun 2013 melebar menjadi 0,413. Artinya, kesenjangan antara orang kaya dan orang miskin makin lebar. Padahal, seharusnya jika tingkat kemiskinan menurun, rasio Gini juga ikut menyempit. Itulah tantangan calon presiden dan pemerintahan mendatang untuk membuat cara baru mengentaskan orang miskin.
(SUBUR TJAHJONO)
Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000004765802
-
- Log in to post comments
- 77 reads