TAJUK RENCANA
Bijak Memetik Bonus Demografi
BENCANA, praktik korupsi, dan kegaduhan politik menyita perhatian kita. Namun, kita tak boleh lupa akan hal yang tidak kalah penting, bonus demografi.
Bonus demografi atau kondisi di mana struktur umur penduduk dengan tingkat ketergantungan berada di titik terendah, atau setiap 100 orang usia produktif (15-64 tahun) menanggung 40-50 orang usia tidak produktif, mencapai puncaknya pada 2020-2030, tetapi ada yang menghitung hanya sampai 2025.
Agar bonus demografi bisa kita petik, sejumlah syarat harus dipenuhi, antara lain kualitas penduduk lewat pendidikan dan kesehatan serta ketersediaan lapangan kerja. Catatan ini kita fokuskan pada kebijakan pendidikan. Ketika kebijakan dan praksis pendidikan tidak berorientasi pada memetik bonus demografi, peluang yang hanya sekali terjadi untuk suatu negara itu akan lewat.
Kejar target sembilan tahun wajib belajar pendidikan dasar jangan diputuskan dengan cara-cara ”jemput bola di depan gawang”. Meniadakan tes masuk ke jenjang sekolah tingkat menengah pertama (SMP dan MTs) negeri sebagai contoh. Ada beberapa alasan agar ditinjau kembali. Pertama, tidak ada jaminan bahwa tamat SD sama dengan lulus SD berkat penghapusan ujian nasional dengan nilai-nilai katrolan. Beban beralih ke jenjang SMP.
Kedua, keharusan menerima didasarkan atas zona wilayah membuat tidak ada pilihan semua sekolah tingkat menengah pertama punya pilihan sebab yang diterima adalah anak-anak lulusan segala mutu. Akibatnya, beban sekolah dan guru lebih berat. Guru tidak hanya masih gamang dengan Kurikulum 2013, tetapi juga beban mereka bertambah dengan campur aduknya murid baru.
Ketiga, pemberlakuan serentak membuat sekolah, murid, orangtua, dan guru tergagap-gagap tanpa persiapan. Indonesia bukan Jakarta, Jakarta bukan Jawa. Indonesia terdiri atas berbagai keragaman, termasuk mutu hasil dan praksis pendidikan. Karena itu, kalaupun kelak mau diberlakukan di semua sekolah negeri, lebih baik disiapkan infrastruktur dan kesiapan sosial psikologisnya.
Dengan ketiga alasan di atas, belum lagi kebijakan dan praksis lain yang lebih mendesak dibenahi, taruhlah penerapan Kurikulum 2013, hemat kita perlu ditinjau kembali kebijakan menghilangkan tes masuk SMP.
Mengejar target jangan sampai melupakan mutu. Dengan berpikir lebih jernih dan tenang, tanpa disusupi keinginan legacy atau motivasi politik, kita upayakan memetik peluang bonus demografi. Kalau tidak, generasi kita hanya akan gigit jari karena warisan bonus demografi itu justru bencana demografi.
Kita hentikan uji coba yang serba mendadak, apalagi tahun ajaran hampir berakhir, dan siswa serta guru/sekolah jadi kelinci percobaan. Memberlakukan pola yang sekarang dengan sebaik-baiknya, jauh lebih baik daripada membuat kebijakan semua lulusan SD langsung bisa masuk SMP negeri.
Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000004760969
-
- Log in to post comments
- 22 reads