Semua sudah pernah ia coba. Dari yang ditanam dalam tubuh sampai yang mesti ditelan harian, hampir semua alat kontrasepsi sudah Ayu Djamir gunakan. Satupun tak ada yang cocok dengan tubuhnya. Alat kontrasepsi yang terakhir ia gunakan, pil, membuat badannya kurus, suka mual-mual dan masa haid yang panjang sampai 21 hari.
Diam-diam suaminya, Ismail Husen (43), mulai prihatin, “Kasihan saya melihat istri. Jadi biar saya saja yang berKB.” Setelah aktif bertanya ke sana-sini termasuk berkonsultasi kepada beberapa dokter, pada Agustus 2007, meski harus mengeluarkan uang 4 juta rupiah (walaupun ada berberapa kasus dimana BKKBN yang menanggulangi biaya). Ismail langsung menjalani pilihannya, vasektomi. Sudah tentu, Regina Alfi Husen (3 th), anak kelimanya tak akan mendapatkan adik lagi.
Berbeda dengan Ayu Djamir, jutaan perempuan masih terperangkap alat kontrasepsi. Maklumlah, tanggung jawab supaya suami tetap terus aktif , tetapi juga jangan sampai si bungsu beradik lagi, seratus persen diserahkan kepada kaum istri. Pandangan inilah yang ingin diubah Ismail. Ismail kemudian mengajak orang-orang sekampungnya, Desa Arakan, Kecamatan Tatapaan Kabupaten Minahasa Selatan, Sulawesi Utara untuk bervasektomi juga. Sebagian mulai tertarik. Tetapi banyak juga yang was-was hasrat seksual mereka jadi berkurang, atau lebih parah lagi, “ketegangan” mereka akan mengendor atau malah hilang sama sekali. “Padahal itu tidak benar,” kata Ismail sambil tersenyum. Untuk mewujudkan keinginan beberapa orang yang tertarik vasektomi, Ismail kemudian mendatangi BKKBN Sulawesi Utara. Rupanya, sejak tahun 2008 badan urusan keluarga berencana ini memiliki program gratis untuk pembedahan vasektomi. Hingga kini sudah 32 warga Desa Arakan pernah terbaring di meja bedah untuk divasektomi. Ini berarti hampir 10% dari jumlah warga Sulawesi Utara yang memanfaatkan pelayanan ini, yaitu 346 pada tahun 2008, dan 106 untuk 2009 (hingga Juli 2009).
Gerakan vasektomi ini sendiri sebenarnya tidak hanya melibatkan BKKBN Sulawesi Utara sendiri. “Kami menanggung biaya tempat, dokter, dan suster untuk operasi. Sedangkan biaya obat ditanggung BKKBN,” kata dr Anton Rumambi, wakil kepala RS Wolter Monginsidi. Warga yang ingin divasektomi bisa tinggal mendatangi Klinik SUSI yaitu Suami Sayang Istri, setiap hari Selasa dan Jum'at. “Karena itu program ini bernama Selaju (Selasa - Jum'at). Dan saya rasa semua rumah sakit di Indonesia-baik swasta atau pemerintah-sebaiknya menyediakan pelayanan gratis untuk vasektomi,” sambungnya.
Swara Parangpuan, organisasi non pemerintah yang menangani persoalan perempuan, tempat Ismail bekerja, banyak berkontribusi pada upaya-upaya penyadaran dan pengorganisasian. Di Desa Arakan kemudian berdiri Kelompok KB Pria Tani Nelayan,“Anuke Simemon”, yang berarti Milik Bersama. Anggotanya kini (Juli 2009) sebanyak 51 orang, dimana 32 orang memilih vasektomi, dan sisanya merasa lebih nyaman menggunakan kondom.
Selain itu, dukungan dari para tokoh islam dan kristen juga sangat membantu.
Penerimaan para tokoh agama terhadap vasektomi sebagai alat pencegah kehamilan bagi suami istri, membuat masyarakat tak memiliki keraguan dari sisi ajaran agama. Keberhasilan vasektomi di Desa Arakan ini menjadi secercah harapan bahwa KB di kalangan kaum bapak menjadi sepopuler di kelompok para istri. Sebagai insentif keberhasilan itu, BKKBN Sulawesi Utara memberikan pelayanan kesehatan dan dana perangsang ekonomi produktif untuk Usaha Peningkatan Pendapatan Keluarga Sejahtera (UPPKS) di Desa Arakan. “Pasti akan sangat berarti jika pengalaman di Desa Arakan bisa bergulir juga di desa-desa lain di seluruh Indonesia”, kata Mieke S. Sangian, Kepala BKKBN Sulawesi Utara. Sementara bagi para istri, manfaat vasektomi langsung terasa. “Waktu pakai suntik, perut saya sakit-sakit. Tapi sekarang tidak lagi, sejak paitua ikut vasektomi,” kata Salma (45 th). Begitu juga Ati (36 th), “Setelah paitua ikut vasektomi haid saya lancar. Dulu waktu ikut suntikan tiap 3 bulan baru dapat haid.”
Ekonomi keluarga warga Desa Arakan yang umumnya petani dan nelayan dengan pendapatan kecil, juga membaik. “Sekarang, bapak tidak usah keluarkan uang untuk suntik. Saya juga lebih bersemangat dan rajin lagi membantu paitua, sebab badan tidak lagi sakit-sakitan,” kata Ati. Seperti yang juga dirasakan Hamzah (52 th), “Pekerjaan maitua berjualan ikan kering keliling kampung sekarang tidak terganggu, sebab tidak lagi sakit-sakitan. Masa depan anak-anak kita jadi lebih terjamin.” Nah, apalagi. Sudah waktunya, para paitua beramai-ramai vasektomi, so (supaya) maitua
jadi lebih sehat dan nyaman bekerja.”
Attachment | Size |
---|---|
feature-sulut_english.pdf | 0 bytes |
- Log in to post comments
- 669 reads