Di tengah semakin terbukanya diskusi tentang kesehatan mental, masih ada tantangan yang kerap dihadapi oleh laki-laki, terutama terkait dengan kebiasaan bercerita. Bahkan, tantangan ini makin jelas dengan munculnya tren di media sosial yang dipopulerkan dengan frase "laki-laki tidak bercerita, tapi..."Umumnya, tren ini bersifat lucu dan ringan. Namun, di sisi lain, tren ini juga membuka bahwa laki-laki cenderung tidak membicarakan permasalahannya dan kerap menahan emosinya.
Bagi sebagian besar laki-laki, berbagi perasaan dan pengalaman pribadi masih dianggap tabu, bahkan bisa dianggap menurunkan citra "maskulin". Namun, banyak penelitian dan pandangan para ahli yang menyebutkan bahwa berbicara tentang perasaan sebenarnya sangat bermanfaat, baik untuk kesehatan mental maupun hubungan sosial. Lalu, bagaimana laki-laki dapat memulai kebiasaan bercerita ini di tengah stigma lama yang masih melekat kuat?
Kenapa laki-laki perlu bercerita?
Menurut dokter spesialis kesehatan jiwa, dr. Jiemi Ardian, Sp.KJ berbagi cerita merupakan cara alami untuk mengurangi beban emosi. "Cerita itu cara alamiah/natural untuk seseorang meredakan dan melepaskan emosinya," kata Jiemi kepada Kompas.com, Kamis (14/11/2024). Ketika laki-laki tidak bercerita, emosi mereka menjadi tertahan dan secara tidak langsung membawa beban emosional yang lebih besar.
"Salah satu hipotesisnya (beban mental laki-laki menjadi lebih besar) iya, walaupun tidak sesederhana itu," ujar Jiemi. Jiemi mencontohkan tentang data angka bunuh diri yang lebih besar pada laki-laki secara lethal. Data ini menunjukkan bahwa tingkat bunuh diri yang berhasil jauh lebih besar terjadi pada laki-laki dibanding perempuan. "Ini menggambarkan bagaimana tekanan ini (yang dialami oleh laki-laki). Walaupun kita tidak cuma ngomong bercerita ya, misalnya bagaimana laki-laki punya masalah sosial juga berpengaruh," kata Jiemi. "Tapi benar, laki-laki punya masalahnya. Bukan berarti perempuan masalahnya lebih kecil, nggak juga. Tapi, kemampuan perempuan dalam berkomunikasi/bercerita itu membantunya untuk cope up sama perasaannya," tambahnya.
Keengganan laki-laki untuk menceritakan masalahnya tidak hanya berdampak pada kesehatan mental mereka, tetapi juga bisa menghambat hubungan sosial, baik di keluarga maupun dengan kolega.
Dalam pandangan ini, tentunya menahan perasaan bukanlah tanda kekuatan, tetapi justru bisa menjadi bumerang yang berisiko memperburuk kesehatan mental. Sayangnya, di Indonesia, norma patriarki yang kuat telah membentuk standar maskulinitas di mana laki-laki diharapkan kuat dan tidak mudah menunjukkan kelemahan. Pendapat ini diungkapkan oleh Dosen Sosiologi, Universitas Sebelas Maret (UNS), Prof. Dr. Argyo Demartoto, M.SI. Menurut Argyo, kondisi ini juga diperburuk oleh konstruksi sosial yang menganggap bahwa laki-laki yang sering bercerita atau mengeluh akan kehilangan citra maskulin.
"Budaya patriarki yang mengekang masyarakat kita, ada konsep dominasi dan subordinasi. Jadi laki-laki sebagai dominan kemudian perempuan uamh subordinasi. Lalu ada juga semacam konstruksi sosial tentang maskulinitas dan feminitas bahwa laki-laki itu harus aktif, kuat, tegar, dan tidak menunjukkan kelemahan," kata Argyo saat dihubungi melalui sambungan telepon, Kamis (14/11/2024). Standar ini membuat banyak laki-laki merasa terjebak antara kebutuhan untuk mengekspresikan perasaan mereka dan ketakutan akan kehilangan status "maskulin".
Bercerita tidak akan mengurangi kelelakian
Persepsi bahwa bercerita akan merusak citra maskulin seseorang sudah saatnya diubah. Dosen Kajian Gender UNS, dra. Sri Kusumo Habsari, M.Hum, Ph.D menyebutkan bahwa sebenarnya maskulinitas itu beragam. Tidak semua laki-laki harus menunjukkan maskulinitas dengan diam atau menahan perasaan. "Diam, menangis dalam diam, atau berdoa adalah bentuk maskulinitas Asia yang lebih halus," kata Habsari. Hal ini menunjukkan bahwa sebenarnya, konsep maskulinitas tidak hanya mencakup kekuatan fisik atau dominasi, tetapi juga kemampuan untuk mengelola dan mengekspresikan perasaan dengan cara yang sehat.
Ketika laki-laki mulai bercerita, mereka sebenarnya sedang menunjukkan bentuk kekuatan yang lain, yaitu terhubung secara emosional dengan diri sendiri dan orang lain. "Laki-laki perlu mengenal perasaannya, mampu menyampaikan perasaannya, dan mengizinkan perasaan itu dimengerti oleh orang lain," kata Jiemi. Ini bukan tentang laki-laki menjadi lebih emosional ketika bisa menceritakan perasaannya, tetapi mengembangkan keterampilan sosial yang sehat dan saling mendukung.
Laki-laki harus mulai cerita dari mana?
Mulai berbicara tentang perasaan mungkin bukan hal mudah bagi sebagian besar laki-laki. Namun, memulainya secara perlahan dan terarah dapat membantu membangun kebiasaan ini. Dr. Jiemi menyarankan untuk memulai dengan mengenali perasaan sebelum menyampaikannya. "Orang bercerita sering kali bingung cerita apa. Cerita kita itu bukan tentang kejadiannya sebenarnya, tapi lebih pada perasaan di dalam kejadian tadi," katanya.
Dengan fokus pada perasaan, bukan pada peristiwa, laki-laki akan lebih mudah terhubung dengan sisi emosional mereka tanpa merasa kehilangan kendali. Selain itu, Argyo Demartoto mengingatkan bahwa keterbukaan bisa dimulai di lingkaran sosial yang aman. "Di media sosial, laki-laki mungkin merasa lebih rentan karena privasi tidak terjamin (sehingga enggan bercerita),". jelas Argyo. Pendapat Argyo ini menegaskan tentang pentingnya memiliki jaringan atau lingkaran sosial yang bisa dipercaya sebagai tempat bercerita bagi laki-laki.
Mengawali kebiasaan bercerita dengan berbagi kepada teman terdekat, keluarga, atau bahkan dalam kelompok diskusi kecil bisa menjadi langkah awal yang baik. Bagi banyak laki-laki, lingkungan sosial memainkan peran penting dalam membantu mereka merasa aman untuk bercerita.
Tren "laki-laki tidak bercerita" menekankan kekuatan melalui kesunyian, tetapi sebenarnya kekuatan juga dapat ditunjukkan dengan keterbukaan dan kejujuran terhadap perasaan. Laki-laki dapat memulai dengan langkah kecil untuk lebih terbuka terhadap perasaan mereka, dimulai dari orang-orang terdekat dan lingkungan yang mendukung. Dengan semakin banyak laki-laki yang berani berbagi perasaan, stigma bahwa bercerita hanya untuk perempuan pun akan semakin memudar. Selain itu, dengan berani bercerita, laki-laki juga bisa terhindar dari berbagai masalah mental yang mungkin terjadi.
- Log in to post comments