Media massa dan media sosial sedang ramai memuat berita tentang 9,9 juta generasi Z di Indonesia menganggur (not in education, employment, end training/NEET). Salah satu penyebabnya adalah rendahnya daya saing di pasar kerja. (BPS, Agustus 2023). Keadaan ini sangat berkaitan dengan pernyataan Menteri Kemendikbudristek Nadiem Makarim yang juga viral, “kita memasuki era di mana gelar tidak menjamin kompetensi, lulusan tidak menjamin kesiapan berkarya dan bekerja, akreditasi tidak menjamin mutu, masuk kelas tidak menjamin belajar.”
Saya bisa mengerti apabila Mas Menteri mengatakan seperti itu karena latar beliau adalah seorang profesional yang lebih mengutamkan outcome seperti di perusahaan daripada output yang menjadi prioritas lembaga pemerintah pada umumnya. Tragedi pendidikan sangat berkorelasi dengan tragedi literasi, bahkan bisa dikatakan bahwa tragedi pendidikan diakibatkan oleh tragedi literasi. Sudah banyak hasil riset dari dalam dan luar negeri terutama dari UNESCO, PISA, PIRLS, dan Bank Dunia yang menujukkan rendahnya budaya literasi peserta didik di Indonesia. Yang menarik adalah budaya baca juga rendah di kalangan guru yang seharusnya menjadi model para muridnya.
Hal ini terungkap dari hasil penelitian yang dilakukan oleh INSEP selama tahun 2005-2007, yang memperlihatkan bahwa 79 persen guru hanya membaca di bawah sejam per hari, 15 persen guru membaca 1-2 jam per hari, dan sisanya hanya sekitar 6 persen guru membaca 2-3 jam per hari. (Baedowi, 2008). Sepanjang Indonesia merdeka sudah lebih dari 13 kali berganti kurikulum. Terakhir Kurikulum Merdeka Belajar dengan capaian yang dikatakan sediri oleh Mas Menteri seperti di awal tulisan ini. Menurut saya, kunci keberhasilan pendidikan adalah budaya literasi di sekolah. Mau gonta-ganti kurikulum seperti ganti baju pun tetap tidak akan berhasil bila budaya literasi tidak dibangun.
Sejatinya tujuan sekolah adalah untuk menciptakan pembaca sepanjang hidup, para lulusan terus membaca dan menambah ilmu sepanjang hidupnya. Sekolah bukan hanya menjadikan anak didiknya pembaca sewaktu di sekolah, sewaktu mengerjakan tugas, dan lebih buruk lagi sewaktu disuruh gurunya. Pembaca model ini hanya membaca karena harus, bukan karena kesadaran atau kemauan sendiri. Keadaan ini juga terjadi karena peran orangtua yang mayoritas tidak peduli terhadap kegiatan membaca anak-anaknya. Kebiasaan membaca buku bagi peserta didik masih sebatas tuntutan memenuhi tugas, bahkan hanya dianggap sebagai persiapan menjawab soal-soal ujian dari setiap institusi pendidikan.
Membaca buku tidak didasarkan atas kesadaran untuk mengembangkan diri dan membentuk karakter, tetapi dianggap sebagai kebutuhan personalitas sekunder dalam proses belajar (Darajat, 2009). Kebiasaan membaca di sekolah terbawa sampai ke perguruan tinggi sehingga secara kualitatif tidak ada perubahan, hanya perubahan jenjang saja, untung mahasiswa tidak disebut kelas 13 dan seterusnya.
- Log in to post comments