Terhambat Politik Identitas
PROVINSI Maluku bukan hanya Kota Ambon. Pernyataan ini bukan hanya menggambarkan banyak daerah lain selain Ambon, melainkan mengandung makna lebarnya kesenjangan yang nyata terjadi. Kesejahteraan dan pembangunan masih senjang antara Kota Ambon dan kabupaten-kabupaten lain di Provinsi Maluku.
Angka Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Kota Ambon tahun 2012 sangat tinggi, yaitu 79,41. Angka ini termasuk tertinggi di tingkat nasional (di peringkat ke-6 dari seluruh kabupaten/kota di Indonesia). Prestasi Kota Ambon ini disokong angka harapan hidup yang mencapai 73,6 tahun dan angka melek huruf yang nyaris ideal (99,61 persen).
Namun, sayang, kondisi ini tidak diikuti kabupaten-kabupaten lain di Maluku. Dari 11 kabupaten dan kota di Maluku, sebagian besar tingkat kesejahteraannya belum memadai dan terpaut jauh dengan ibu kota provinsi. Indeks Pembangunan Manusia-nya di kisaran angka 70. Bahkan, di empat kabupaten, yakni Seram Bagian Timur, Maluku Barat Daya, Maluku Tenggara Barat, dan Buru Selatan, IPM-nya kurang dari 70.
Kondisi infrastruktur dan ekonomi masyarakat di kabupaten-kabupaten di luar Kota Ambon sangat memprihatinkan. Tak heran persentase penduduk miskin di Maluku masih sangat tinggi pada tahun 2012, yakni berkisar 21,8 persen. Menurut Toni Pariela, Ketua Program Studi Sosiologi Pasca Sarjana Universitas Pattimura, keterlambatan pembangunan di Maluku antara lain sebagai dampak konflik 1999-2003. Konflik itu menghancurkan infrastruktur sehingga aktivitas ekonomi terpuruk dan pertumbuhan ekonomi daerah tersendat.
Pasca konflik memang terjadi perbaikan meskipun terkendala kondisi geografis kepulauan yang terentang jarak dan pola perencanaan pembangunan bersifat kontinental. Dana inpres untuk perbaikan dari pusat, selain jumlahnya minim, juga menjadi permainan politik. ”Demokrasi di Maluku sarat dengan permainan elite dan bersifat melemahkan karena isu-isu yang dilontarkan untuk memenangi pertarungan lebih banyak bersifat politik identitas atau SARA,” ujar Toni.
Hal ini mengakibatkan konsolidasi sosial di Maluku tidak terbangun. Kantong-kantong segregasi di masyarakat semakin menguat. Konsolidasi demokrasi tidak sejalan, bahkan berbanding terbalik dengan konsolidasi sosial. Kondisi tersebut menjadi faktor determinan sehingga pemulihan Maluku pasca konflik tidak bisa berjalan utuh. Alhasil, percepatan pembangunan yang diperlukan untuk pemulihan pasca konflik tidak terjadi.
Dampak konflik memang nyata. Pertumbuhan ekonomi di Maluku sempat negatif hingga lebih dari 25 persen saat konflik berlangsung. Oleh karena itu, tidak mengherankan pembangunan di Provinsi Maluku sempat tertinggal dibandingkan dengan provinsi lain. Indikator kesejahteraan daerah 2012 menunjukkan Maluku menduduki peringkat ke-28 dari 33 provinsi.
Otonomi daerah di Provinsi Maluku tak berdampak signifikan bagi kemajuan wilayah. Daerah seperti Kabupaten Buru Selatan, Maluku Tenggara Barat, dan Maluku Barat Daya hasil pemekaran tahun 2008 kondisinya masih memprihatinkan. Menurut Max Pattinama, Guru Besar Etnoekologi Universitas Pattimura, penyebab terpuruknya daerah-daerah di Maluku pasca otonomi karena kesalahan pemerintah daerah sendiri. Mereka tidak ”kenal” wilayahnya sendiri sehingga tidak memanfaatkan otonomi itu untuk memajukan wilayah yang menjadi tanggung jawabnya.
Para elite pemerintah daerah tidak punya kemauan dan kemampuan menggali potensi yang ada di wilayahnya sendiri. Selain itu, infrastruktur transportasi penghubung antarpulau ataupun di dalam wilayah tidak menjadi prioritas pembangunan.
Di Maluku, ada perbaikan, tetapi masih jauh untuk mengatasi ketertinggalan dari daerah lain. Kondisi ini ironis apabila mengingat potensi sumber daya alam yang melimpah, mulai dari kekayaan laut hingga produksi rempah-rempah yang sudah dikenal dunia sejak abad ke-15. Demikian pula kekayaan mineral seperti emas dan nikel yang nilainya tidak sedikit.
(Anung Wendyartaka/Litbang Kompas)
Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000005250468
- Log in to post comments
- 133 reads