BEKERJA DAN BERBAKTI UNTUK KEMAJUAN KTI

Potensi Indonesia Timur dalam Sinema

Potensi Indonesia Timur dalam Sinema

Oleh: Lusiana Indriasari 0

Indonesia bukan hanya Jawa. Masih banyak pulau-pulau lain di Tanah Air ini yang memiliki potensi untuk digarap menjadi ide cerita dalam sebuah film. Salah satu yang memiliki kekayaan alam, budaya, dan sejuta persoalan adalah daerah Indonesia timur. Inilah salah satu persoalan yang menjadi ide sebuah film.

Dalam film Atambua 39o Celcius, produser Mira Lesmana dan sutradara Riri Riza menyoroti persoalan pengungsi yang tinggal di perbatasan wilayah Timor Leste dan Timor Barat pasca referendum.

Dengan teknik pengambilan gambar dokumenter, Riri mengungkap kisah gadis yang mengalami pelecehan seksual di rumah bedeng.

Persoalan pengangguran, ketiadaan suplai makanan, air bersih, dan lain-lain juga masih menjadi masalah yang menghantui para pengungsi di sana.

Film lain, Cahaya Dari Timur Beta Maluku, dengan sutradara Angga Dwimas Sasongko, menyoroti sosok Sani, mantan pesepak bola nasional yang menjadi tukang ojek di daerah asalnya, Tulehu Ambon. Ketika terjadi konflik SARA di kepulauan itu, Sani turun tangan untuk melatih anak-anak bermain sepak bola hingga membentuk sekolah sepak bola Tulehu Putera. Tujuannya hanya satu, agar anak-anak tidak melihat perkelahian antar- warga kampung yang berujung pada saling membunuh.

Bentuk lain dari munculnya Indonesia timur dalam sinema ada dalam film Tabula Rasa. Di film ini, penulis naskah Tumpal Tampubolon menyandingkan karakter Hans dari Papua dengan Emak si pemilik kapau (warung makan Minangkabau).

Dua budaya dipertemukan di dapur Emak melalui masakan. ”Ini warung Padang, tetapi juru masaknya orang Papua,” kata Yayu Unru, salah satu pemeran karakter Tabula Rasa.

Untuk menyebut yang lain, masih ada film Denias dan Di Timur Matahari karya Ari Sihasale-Nia Zulkarnain. Pasangan inilah yang lebih dulu mulai mengeksplorasi wilayah Indonesia timur, dalam hal ini Papua, dalam film-film mereka.
Membuka jendela

Potensi inilah yang membuat sineas Riri Riza menggagas program Makassar South East Asia Screen Academy. Program yang digulirkan sejak tahun 2012 ini bertujuan membuka jendela bagi para pembuat film di Indonesia timur dan sineas dari Asia Tenggara untuk saling ”menatap”. Jendela ini diharapkan menghasilkan interaksi.

Para sineas di Asia Tenggara, antara lain dari Malaysia, Thailand, Filipina, dan Singapura didatangkan ke Makassar untuk berbagi pengalaman dengan anak muda yang tertarik dengan film. Tahun ini, Makassar SEAscreen Academy 2014 sudah tiga tahun diselenggarakan.

Selain diskusi, anak-anak muda dari beberapa daerah di Indonesia timur ini juga dibekali pengetahuan tentang produksi film layar lebar. Mereka diajak membuat konsep lalu dibantu pengarah kamera profesional untuk menghasilkan film berkualitas layar lebar.

”Saya ingin mendobrak kebiasaan. Selama ini, anak-anak muda membuat film independen untuk ditonton sendiri atau ditonton orang-orang di lingkupnya saja dengan alat seadanya, seperti layar tancap, misalnya. Sejak awal mereka sudah harus diberi bekal pengetahuan tentang film berkualitas yang layak diputar di bioskop,” tutur Riri selepas peluncuran SEAscreen Academy 2014 di Kineforum Jakarta. SEAscreen Academy akan dilaksanakan 21-26 Oktober mendatang di Makassar.

Sebelum membuat program SEAscreen Academy, Riri mendirikan Rumata Art Space, semacam wadah bagi komunitas film di Makassar. Sineas kelahiran Makassar ini melirik Makassar karena kota ini dianggap responsif terhadap gagasan yang dibuatnya untuk memajukan perfilman Indonesia timur.

Peserta SEAscreen Academy tidak terbatas hanya dari Makassar, tetapi juga dari daerah Indonesia timur lainnya, seperti Papua, Ambon, Kendari, dan Nusa Tenggara. Syaratnya, peserta harus sudah pernah membuat film sendiri. Film tersebut kemudian diunggah di Youtube lalu didaftarkan ke panitia. Saat mendaftar, peserta diminta mengirimkan link film tersebut ke panitia.

SEAscreen Academy sekaligus menjadi kesempatan untuk mempromosikan Indonesia timur kepada sineas luar negeri. Keindahan alam dan kekayaan budaya di sana bisa menjadi latar belakang shooting film. Namun, hal semacam ini, kata produser Mira Lesmana, harus diantisipasi dampaknya.

Ia punya pengalaman menggarap Laskar Pelangi di daerah Belitung Kepulauan Riau. Sukses film itu membuat Belitung menjadi daerah tujuan wisata utama di Indonesia. Ribuan turis berdatangan.

Berbagai kegiatan yang akan digelar di SEAscreen Academy antara lain pelatihan perfilman berbasis budaya lokal, berbagi pengetahuan tentang manajemen dan distribusi film, dan teknis pembuatan film. Panitia akan menyeleksi 20 karya dan mereka yang terseleksi akan mendapat pelatihan tersebut.

”Ini semacam beasiswa. Mereka mendapat kesempatan untuk belajar dari para sutradara film di Asia Tenggara,” ujar Riri. Peserta diminta menandatangani kesepakatan untuk ikut penuh selama lima hari dari pagi hingga malam. Peserta juga dilarang meninggalkan lokasi belajar selama mengikuti program.

Yang berbeda dari tahun sebelumnya, peserta SEAscreen Academy kali ini bisa mengikuti program Cerita dan Laboratorium Pengembangan Produksi.



Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000009397366