BEKERJA DAN BERBAKTI UNTUK KEMAJUAN KTI

Pesona Sulam Karawo Gorontalo

Pesona Sulam Karawo Gorontalo

Oleh: Sarie Febriane

Emilia Hinta ingat pesan ibundanya yang meninggal lima tahun lalu. Sang ibu ingin agar Emilia berbuat sesuatu yang bermanfaat bagi masyarakat Gorontalo. Pesan itulah yang menggerakkan Emilia untuk melirik sulaman khas daerahnya, yakni sulam karawo yang kini dijual di rumah butik Ibukita Gallery.

Hinta menemukan kehidupan barunya setelah pensiun dari Bank Indonesia sebagai analis dan pemeriksa bank. Kampung halamannya di Gorontalo menjadi ladang inspirasi yang mengisi hari-harinya kini. Tak hanya untuk dirinya, tapi juga ratusan perempuan perajin sulam karawo khas tanah Gorontalo.

Sulaman karawo di beberapa daerah lain seperti Padang di Sumatera Barat disebut sebagai kerawang dengan karakter yang berbeda. Di Gorontalo ketika itu, masih cukup banyak kerajinan sulaman karawo yang dibuat oleh kaum perempuan dengan harga jual rendah. Bahkan harga satu lembar kain ukuran besar dengan sulaman karawo hanya dijual sekitar Rp 20.000–Rp 30.000 saja. Selain itu, kualitas warna dan bahan juga masih rendah.

”Akhirnya, masih sekitar 20 hari setelah ibu saya meninggal, sebelum saya kembali ke Jakarta, saya belanja kain dan benang. Lalu saya mengumpulkan perajin dan memesan sulaman karawo dari mereka,” cerita Emilia.

Sulam karawo adalah kerajinan yang membutuhkan ketelitian dan kesabaran tinggi. Sulaman ini diwujudkan melalui cara mencabut serat kain lalu mengirisnya sehingga meninggalkan suatu bidang yang tampak bolong-bolong seperti jaring. Pada bidang yang telah dicabut-iris itu kemudian disulam dengan benang tambahan sesuai motif.

Pada tahap menyulam, ada dua teknik yang digunakan yaitu karawo manila dan karawo ikat. Pada teknik manila, benang sulam diisi berulang-ulang pada areal jaring, sementara pada teknik ikat, benang sulam dijahit-ikat di antara serat-serat jaring sehingga sulaman lebih kuat.

Masih dalam masa berduka di Gorontalo, Emilia mengumpulkan seratus perajin sulam karawo dan membentuknya menjadi sepuluh kelompok. Setiap kelompok kemudian diberi nama-nama bunga. Bermula dari sepuluh kelompok perajin inilah, cikal bakal bisnis kecil Emilia mulai merangkak hingga berdiri sebuah butik bernama Ibukita Gallery, yang khusus memproduksi aneka busana berhiaskan sulaman karawo.

Kini, butiknya dapat dijumpai di pusat perbelanjaan Thamrin City, lantai dasar Blok C-16A, Jakarta Pusat. Sebagian besar busana yang dihasilkan berupa busana muslim seperti kaftan dan baju koko. Bulan Mei lalu, Ibukita Gallery juga sempat menggelar peragaan busana melalui kolaborasi dengan desainer Indonesia seperti Carmanita, Deden Siswanto, dan Tuty Cholid.

Membina perajin

Emilia pada akhirnya menjalani amanah almarhum ibunya dengan sepenuh hati. Kini perajin sulam karawo yang tergabung dengannya sebanyak 250 orang. Di Gorontalo sendiri, saat ini diperkirakan masih ada sekitar 10.000 perajin sulam karawo yang seluruhnya perempuan.

Ketika Emilia memulai kerja samanya dengan para perajin, dia berani membeli hasil sulaman itu seharga Rp 100.000–Rp 120.000 per lembar.

”Mereka sampai berteriak dan berbunga-bunga sekali. Ketika saya ceritakan busana dengan sulaman karawo banyak dibeli di Jakarta, mereka heran, kok orang Jakarta mau pakai karawo. Mereka tidak sadar dengan potensi mereka sendiri,” tutur Emilia.

Dalam perjalanannya membangun bisnis, Emilia tak hanya sekadar menerima pasokan dari para perajin, namun juga membina para perajin hingga menghasilkan sulaman karawo yang terbaik. Salah satunya dalam soal penguasaan material bahan kain yang berkualitas dan padu padan warna.

”Padu padan warna dan kualitas bahan itu adalah dua hal yang sangat menentukan. Para perajin sebelumnya kurang menguasai padu padan warna. Warna itu soal selera, semakin sering melihat, selera mereka terbangun dan punya kepekaan pada gradasi warna,” kata Emilia, yang juga menekuni dunia fotografi.

Menurut Emilia, selera akan padu padan warna tidak bisa dibentuk dalam waktu singkat melalui pelatihan beberapa hari atau minggu saja. Kepekaan dan selera padu padan warna perlu dilatih dalam waktu cukup lama.

Selama setahun pertama sejak membina para perajin, Emilia juga mengembangkan sistem bisnis yang efisien sehingga bisa memproduksi kain sulaman yang banyak dengan kualitas terbaik. Dari kain-kain yang telah bersulamkan karawo itulah Emilia berkreasi mewujudkannya menjadi busana.

Emilia berupaya mendesain busana yang sederhana dengan aksen sulaman karawo yang tak berlebihan sehingga memberi kesan total yang manis. Pada bahan kain sutra dan sifon menjadikan sulaman karawo yang lembut bisa tampil manis dan mencuri perhatian.

”Dalam satu kain berukuran 2 meter x 75 sentimeter misalnya, ada lima sulaman yang bisa digunakan untuk lima busana. Dengan begitu saya bisa menyimpan stok kain sulaman hingga ribuan. Dengan begitu, produksi menjadi lebih efisien,” ungkap Emilia.

Setiap lembar kain membutuhkan waktu kerja 10 hari hingga selesai. Proses cabut-iris serat kain saja membutuhkan waktu tiga hari sendiri, kemudian sisa hari dipakai untuk menyulam sesuai motif seperti flora dan abstrak. Jika satu lembar kain hanya untuk satu busana tentunya ritme produksi menjadi lamban dan kurang efisien.

Kini, Emilia memasok kain dan benang yang dipesannya di Jakarta untuk para perajin di Gorontalo. Kemudian, setelah selesai disulam, para perajin mengirim kembali kain-kain itu ke bengkel kerja di kawasan Bekasi untuk diwujudkan menjadi busana. Di bengkel kerja tersebut ada enam orang pegawai yang berperan sebagai penjahit. Emilia sendiri tinggal tak jauh dari bengkel kerjanya.

”Saya bermimpi suatu saat sulam karawo ini menjadi lebih dikenal luas. Saya ingin membangun sebuah pusat pelatihan, bengkel kerja, dan showroom di Gorontalo. Saat ini sudah ada sebidang tanah cukup luas, tapi belum dibangun,” kata Emilia.

Setiap kali Emilia menemui kendala dan kesulitan dalam menjalankan usahanya, di benaknya hanya terbayang wajah-wajah penuh semangat para perempuan perajin sulam karawo di kampung halamannya.


Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000010258913

Related-Area: