Kabupaten Fakfak di Papua Barat menyimpan beragam potensi wisata yang terpendam. Keindahan alam dan kekayaan sejarah bisa menjadi modal utama daerah itu untuk mengembangkan sektor pariwisata di masa depan.
Oleh
PANDU WIYOGA
Air sebening kaca mengalir dari bukit, lalu berkelok melewati batu berundak yang serupa tangga. Pohon-pohon pala tumbuh rindang di tepian. Anak-anak berkejaran di air yang dangkal dan orang-orang berenang dengan riang.
Tempat itu namanya Air Terjun Ubadari. Letaknya di Distrik Kramongga yang dapat dijangkau dengan 1 jam berkendara dari pusat Kabupaten Fakfak di Papua Barat.
Sefnat Wagon (59), tokoh masyarakat di Kampung Ubadari, Rabu (28/6/2023), mengatakan, wisata air terjun itu mulai dibuka secara swadaya oleh masyarakat sekitar tahun 2018. Warga bergotong royong membuat pondokan dan jembatan untuk menarik wisatawan datang ke Air Terjun Ubadari.
”Dari awal kami yakin ini lokasi bagus. Maka, kami sama-sama bikin jembatan dan pondok supaya orang yang datang lebih nyaman,” kata Sefnat.
Usaha warga itu kemudian sampai ke telinga Pemerintah Provinsi Papua Barat. Bantuan pun kemudian mengalir lewat Pemerintah Kabupaten Fakfak. Obyek wisata itu kemudian mulai dikenal masyarakat luas.
”Orang masuk sekarang diminta bayar tiket. Kalau pakai mobil (bayar) Rp 20.000, dan kalau pakai motor (bayar) Rp 10.000,” ujar Sefnat.
Uang tiket dari wisatawan tersebut dikumpulkan menjadi dana bersama. Sebagian besar digunakan untuk membantu biaya anak sekolah di Kampung Ubadari.
”Biasa satu anak bisa dapat sampai Rp 500.000. Sudah ada puluhan anak yang dapat bantuan seperti itu dari hasil wisata air terjun ini,” kata Moi Kabes (65), tokoh masyarakat lainnya di kampung itu.
Oleh karena manfaat wisata yang besar itu, warga kemudian berinisiatif menjaga kelestarian Air Terjun Ubadari. Mereka menyerahkan hutan adat di sekitar air terjun itu kepada pemerintah agar ditetapkan sebagai hutan lindung.
”Kalau hutan di atas bukit itu rusak, air terjun ini nanti juga hilang. Itu sebabnya, sekarang kami larang orang berburu, tebang pohon, juga buka kebun di hutan,” ucapnya.
Tingginya animo mengembangkan pariwisata di sana ternyata belum dibarengi dengan kemampuan yang mumpuni dari warga. Sefnat mengakui, warga amat membutuhkan pelatihan mengelola obyek wisata. Pengelolaan dana bersama masih amburadul, pengeluaran dan pendapatan sering tidak seimbang.
Para tokoh masyarakat di Kampung Ubadari sudah sering membahas masalah ini. Kelompok pengelola wisata Air Terjun Ubadari juga telah beberapa kali diubah. Namun, persoalan terkait manajemen pengelolaan obyek wisata itu belum juga terselesaikan.
Kondisi serupa
Persoalan yang sama terjadi di obyek wisata Goa Jepang di Distrik Kokas. Di lokasi itu bahkan tidak ada pungutan tiket wisata. Untuk menjelajah goa, wisatawan tinggal mengajak warga sekitar dan membayar sekadarnya.
Salah satu warga yang sering memandu wisatawan, Zaenal (40), mengatakan, Goa Jepang di Kokas jumlahnya ada banyak. Selain di bukit dekat pantai, goa-goa serupa terdapat di bukit-bukit yang letaknya jauh di dalam hutan.
Zaenal mengatakan, orangtuanya dulu adalah salah satu warga asli yang dipaksa tentara Jepang untuk menggali goa-goa di bukit cadas di Kokas. Menurut orangtua dia, banyak warga setempat mati karena perbudakan itu.
”Kata orangtua dulu, kerja dengan Jepang itu ngeri, salah sedikit leher bisa dipotong. Mereka bilang lebih mending kerja dengan Belanda,” kata Zaenal sambil menjelajahi Goa Jepang yang gelap dan lembab.
Selain Goa Jepang, Distrik Kokas menyimpan banyak potensi wisata lain. Di sana terdapat situs purbakala lukisan telapak tangan, masjid tertua di Papua, juga ada Pulau Ugar yang terkenal karena tradisi dan keindahannya.
Namun, sayang, geliat wisata di Distrik Kokas belum berdampak signifikan mengangkat perekonomian warga. Belum ada paket wisata yang merangkai potensi-potensi di Kokas menjadi rangkaian perjalanan wisata yang menarik.
”Selama ini yang datang baru satu atau dua kelompok saja per minggu. Biasanya mereka cuma lihat-lihat pantai sebentar saja terus pergi. Padahal, ada banyak tempat menarik yang lain,” kata Zaenal.
Selain di Kokas, potensi wisata terpendam juga terdapat di Distrik Bomberay yang berjarak sekitar 100 kilometer dari pusat Kabupaten Fakfak. Di lokasi itu terdapat hamparan padang rumput yang luasnya lebih dari 50.000 hektar.
Sepanjang 2022, tercatat ada lebih kurang 1.700 turis asing yang datang ke Fakfak. Adapun kedatangan wisatawan domestik tercatat sekitar 8.000 orang.
Kepala Distrik Bomberay Muhammad Heremba mengatakan, padang rumput itu hanya sebatas digunakan warga untuk menggembalakan ternak. Sejak lama ada rencana mengembangkan wisata di sana, tetapi belum juga terwujud.
”Saat ini, wisata sabana di Bomberay belum tergarap sama sekali. Yang sering hanya pengendara yang melintas berhenti untuk melihat pemandangan matahari terbit dan matahari terbenam di situ,” ujar Heremba.
Peluang dan tantangan
Sekretaris Dinas Pariwisata Kabupaten Fakfak Muhammad Ilham menuturkan, upaya pengembangan sektor pariwisata secara serius baru dilakukan oleh pemerintah empat tahun lalu. Itu tertuang dalam visi dan misi Bupati Untung Tamsil dan Wakil Bupati Yohana Dina Hindom yang menjabat sejak 2019.
”Pandemi Covid-19 datang ketika kami baru mulai merintis sehingga semua terhenti total. Kami baru mulai lagi mengembangkan pariwisata pada 2022,” kata Ilham.
Sepanjang 2022, tercatat ada lebih kurang 1.700 turis asing yang datang ke Fakfak. Adapun kedatangan wisatawan domestik tercatat sekitar 8.000 orang.
Para wisatawan yang datang itu mayoritas adalah turis dengan minat khusus. Sebagian besar wisatawan ingin melihat keindahan alam bawah laut. Selain itu, banyak juga yang ingin menelusuri hutan untuk melihat hewan endemik, salah satunya cendrawasih.
”Soal wisata bahari, Fakfak sangat luar biasa karena terletak di segitiga koral antara Pulau Banda dan Raja Ampat. Kelestarian terumbu karang masih terjaga sehingga cocok untuk wisata selam,” ujar Ilham.
Perairan Fakfak juga sering dilewati yacht turis asing yang akan menuju Raja Ampat di Papua Barat. Yacht itu sering labuh jangkar di laut dekat Distrik Kokas saat penumpangnya menyelam di lokasi tersebut.
”Ke depan, kami ingin dorong bagaimana caranya supaya yacht-yacht itu mau berlabuh supaya ada dampak ekonomi ke warga. Ini bisa jadi salah satu jalan meningkatkan kunjungan turis asing di Fakfak,” ucap Ilham.
Adapun untuk menarik wisatawan domestik, kendala yang dihadapi adalah biaya transportasi yang mahal. Sejumlah hal tengah dilakukan pemerintah untuk mengatasi persoalan ini.
Ilham mencontohkan, untuk menuju Air Terjun Kiti Kiti, wisatawan harus membayar Rp 10 juta. Air terjun itu terletak di Distrik Karas yang untuk ke sana wisatawan harus menyewa perahu bermesin tempel.
”Perjalanan ke sana membutuhkan waktu lebih kurang 6 jam. Untuk pulang dan pergi membutuhkan paling tidak 200 liter bahan bakar untuk perahu,” katanya.
Menurut Ilham, pemerintah tengah berusaha menggandeng asosiasi pegiat wisata untuk memasarkan paket-paket perjalanan wisata. Bila wisata dilakukan secara rombongan, diharapkan biaya perjalanan dapat ditekan karena ongkos transportasi bisa ditanggung bersama.
Sumber: https://www.kompas.id/baca/bebas-akses/2023/07/11/pariwisata-fakfak-mutiara-papua-yang-terpendam
- Log in to post comments