Sejak gempa mengguncang Lombok, Nusa Tenggara Barat pada akhir Juli hingga awal September 2018, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat 606 gedung sekolah di Pulau Lombok dan Sumbawa rusak akibat gempa, termasuk 3.051 kelas.
Namun demikian, kegiatan belajar mengajar (KBM) harus diupayakan tetap berjalan meski gedung sekolah rusak dan ambruk.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) sudah mendata kerusakan sarana pendidikan sekaligus mengampanyekan gerakan kembali ke sekolah bagi siswa di NTB. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Muhadjir Effendy, mengatakan bahwa anak–anak yang terdampak gempa bumi di Lombok harus dipastikan tetap belajar, selain itu perlu ada trauma healing atau pemulihan trauma agar anak-anak kembali nyaman belajar.
Gerakan kembali ke sekolah
Kemendikbud pada masa tanggap darurat yang berakhir pada 25 Agustus 2018, telah mendirikan 112 tenda yang menjadi kelas-kelas sementara di berbagai Lombok. Sekitar seribu tenda disebarkan dan akan diberikan tambahan sebanyak 600 tenda lagi. Karena, jika kelamaan tidak sekolah akan kesulitan membuat mereka kembali ke sekolah. Gerakan kembali sekolah ini harus secepatnya dilakukan dan dikerjakan bersama-sama seluruh elemen masyarakat,” kata Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Muhadjir Effendy.
Saat ini tercatat sekitar 20 lembaga non pemerintah, dengan relawan, bergotong royong dengan pemerintah, baik pusat maupun daerah. Di Lombok Utara, INOVASI (Inovasi untuk Anak Sekolah Indonesia) sebagai program kemitraan antara pemerintah Indonesia dan Australia di bidang pendidikan, bersama Kemendikbud juga turut berupaya agar kegiatan belajar mengajar dapat terus berlangsung.
Terlebih karena Lombok Utara merupakan satu dari enam kabupaten yang menjadi lokasi implementasi program INOVASI di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB).
Membangun sekolah bambu
INOVASI dalam melaksanakan Program Pendidikan Tanggap Darurat dan Pemulihan Pasca Gempa turut melakukan koordinasi erat dengan pemerintah kabupaten Lombok Utara dalam membangun total 14 sekolah bambu semi-permanen.
Pembangunan sekolah bambu ini memanfaatkan bahan-bahan lokal seperti bambu, kayu, alang-alang yang memang banyak tersedia dan umum digunakan oleh masyarakat setempat. Sekolah bambu dibangun dengan pertimbangan mampu menciptakan suasana sejuk di kelas, sehingga mengurangi risiko kurangnya konsentrasi belajar anak-anak ketika cuaca mulai panas, yaitu pada pukul 09.00 hingga 10.00 pagi.
Diharapkan kondisi tersebut mampu meminimalisir masalah tambahan bagi guru dalam mengelola kelas, agar guru dapat fokus melaksanakan kegiatan belajar mengajar semaksimal mungkin.
Mitigasi bencana
Tidak berhenti disitu, INOVASI pun berupaya membangun dan meningkatkan kapasitas pihak sekolah, masyarakat, kecamatan dan dinas pendidikan kabupaten dalam menyiapkan, merencanakan, melaksanakan dan memantau pembangunan sekolah-sekolah bambu.
Dengan menggunakan pendekatan berbasis masyarakat, pembangunan sekolah bambu tersebut memastikan agar pengguna, yaitu anak-anak, guru, kepala sekolah dan pengurus sekolah dan masyarakat sekitar memahami masalah-masalah dasar dalam hal pencegahan, keselamatan dan mitigasi jika terjadi gempa bumi atau kebakaran. Untuk memenuhi tujuan ini, INOVASI bekerja sama pakar perlindungan anak melakukan survei lokasi. Misalnya pengecekan jalur, kakus, dan persediaan air bersih aman dan mudah diakses untuk anak-anak.
Upaya mitigasi juga dilakukan dengan memeriksa kondisi kelas untuk memastikan ruang kelas, fasilitas, pencahayaan, dan lantai cocok untuk anak-anak. Selain itu dilakukan pula pelatihan, poster informasi, dan materi pendukung lain terkait cara melindungi anak-anak dalam keadaan darurat, misalnya gempa bumi, kebakaran, banjir dan badai.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Kisah "Sekolah Bambu" dan Titik Bangkit Pendidikan di Lombok",
https://edukasi.kompas.com/read/2019/01/25/07300031/kisah-sekolah-bambu-dan-titik-bangkit-pendidikan-di-lombok
Penulis : Yohanes Enggar Harususilo
Editor : Yohanes Enggar Harususilo
- Log in to post comments