BEKERJA DAN BERBAKTI UNTUK KEMAJUAN KTI

Kekerasan Gender Berbasis Online Naik Empat Kali Lipat

Atalya Puspa

BERDASARKAN data yang dihimpun Komnas Perempuan, angka kasus kekerasan berbasis gender di ruang online (KBGO) meningkat dari yang tadinya 241 kasus pada 2019, naik menjadi 940 kasus pada 2020 atau empat kali lipatnya.

Hal yang sama dari laporan Lembaga Layanan. Jika pada 2019 hanya terdapat 126 kasus KBGO maka pada 2020 kasus KBGO naik menjadi 510 kasus, atau tiga kali lipatnya.

"Meningkatnya angka kasus kekerasan berbasis gender di ruang online/daring ini sepatutnya menjadi perhatian serius semua pihak," kata Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Bintang Puspayoga. Dalam hal pencegahan, ia menyebutkan, perempuan memiliki peran yang sangat penting dalam membangun ketahanan keluarga termasuk memberikan keamanan pada anak dari ancaman kejahatan digital di media sosial. “Karakteristik dunia digital yang tanpa batas (borderless), saat ini telah memunculkan berbagai kejahatan yang harus diwaspadai, " seru Bintang. Komnas Perempuan menyebutkan, ada 8 bentuk kekerasan berbasis gender online yang dilaporkan, yakni upaya memperdaya (cyber grooming), pelecehan online (cyber harassment), peretasan (hacking), konten ilegal (illegal content), pelanggaran privasi (infringement of privacy), ancaman distribusi foto/video pribadi (malicious distribution), pencemaran nama baik (online defamation), dan rekrutmen online (online recruitment). Ia mengingatkan, kekerasan berbasis online tidak hanya berisiko bagi perempuan, namun juga bagi anak. Laporan KPAI menunjukan sepanjang 2020 telah diterima 651 laporan kasus terkait pornografi dan cyber crime yang melibatkan anak. Oleh karenanya, Bintang menegaskan, selain pentingnya membuka akses bagi perempuan terhadap teknologi informasi, penguatan literasi digital bagi perempuan juga sangat penting untuk melindungi dirinya sendiri, sekaligus dapat melindungi anak-anaknya.

“Tentunya hal ini bukanlah kewajiban ibu semata, tetapi harus dilakukan secara bersama-sama dengan ayah,” tambah Bintang. Bintang menjelaskan baik orang tua maupun anak, harus memiliki pemahaman terkait berbagai risiko internet, modus-modus kejahatan yang sering terjadi, alat perlindungan di internet, dan cara melindungi diri di internet. Baik anak maupun orang tua, perlu memahami pentingnya menjaga privasi di internet karena apa yang sudah terunggah akan sangat sulit untuk dihapuskan dan sangat mudah untuk disalahgunakan orang-orang di berbagai belahan dunia. “Jangan pernah bagikan data alamat, sekolah, dan data-data privat lainnya. Kita harus sangat berhati-hati saat membagikan foto di media sosial karena di zaman sekarang, kasus-kasus seperti penculikan dan pelecehan banyak bermula dari unggahan pribadi berisi gambar dan data anak yang diambil dari media sosial orang tuanya,” beber dia. Bintang meminta seluruh orangtua untuk memastikan anak menggunakan internet sesuai dengan regulasi yang ditentukan, misalnya mengikuti batasan usia minimal penggunaan media sosial. Hal tersebut sangat penting dilakukan, mengingat ada sekitar 87 persen anak-anak di Indonesia yang sudah dikenalkan media sosial sebelum menginjak usia 13 tahun (Hasil riset Neurosensum).

“Orangtua juga harus menguatkan kembali ketahanan keluarga serta membangun relasi yang positif, hangat dan setara dalam keluarga. Sebagai orang tua, kita tidak akan bisa mengetahui dan mengontrol setiap pengalaman anak, namun dengan relasi yang positif dalam keluarga, semua akan memiliki perasaan nyaman untuk bercerita, bertanya, dan meminta pertolongan, sehingga dapat saling menjaga,” terang Bintang. Saat ini, Kemen PPPA sudah memiliki Contact Centre Sahabat Perempuan dan Anak (SAPA) yang dapat diakses masyarakat secara gratis untuk melaporkan tindakan kekerasan terhadap perempuan dan anak, termasuk di ranah digital melalui telepon 129 dan WA 08111-129-129. “Kemen PPPA tidak akan mampu menciptakan Indonesia yang aman bagi perempuan dan anak, tanpa dukungan dan sinergi dari seluruh pihak. Untuk itu, kami mengajak seluruh pihak untuk bersinergi membuka akses seluas-luasnya bagi perempuan dan anak agar melek digital, sekaligus mendapatkan literasi digital yang mumpuni, serta saling menjaga, minimal di dalam keluarga masing-masing, demi menciptakan dunia yang aman bagi perempuan dan anak baik di ruang fisik maupun ruang digital,” pungkasnya. Pada kesempatan yang sama, Legal Attache FBI US. Embassy Jakarta, John Kim menyampaikan tingkat terjadinya kasus kejahatan seksual pada anak di media sosial sangatlah tinggi terutama di masa pandemi covid-19. Anak yang diharuskan menjalani pembelajaran secara online, memiliki lebih banyak waktu dan kesempatan untuk mengakses internet. Hal ini menyebabkan mereka rentan menjadi korban kekerasan seksual online, terutama grooming sehingga mudah terbujuk buaian para pelaku kejahatan seksual online. John Kim menegaskan FBI terus berupaya memberantas kejahatan seksual online terhadap anak melalui sinergi dan kerjasama dengan Kepolisian RI, Interpol, serta perusahaan komunikasi, untuk melaporkan ketika terjadi aktivitas mencurigakan yang menjurus pada kejahatan digital. “Kejahatan seksual online pada anak merupakan fenomena gunung es, mengingat banyak sekali kasus yang tidak diketahui masyarakat. Salah satu cara untuk mencegahnya adalah dengan menyelenggarakan acara webinar seperti ini, karena akan memberikan informasi penting yang dapat langsung disebarluaskan sehingga masyarakat dapat lebih aware dan menghindari terjadinya kejahatan seksual Online,” terang Jihn Kim.

Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Daerah Istimewa Yogyakarta, AKBP Roberto GM. Pasaribu mengungkapkan keluarga khususnya orangtua sangat berperan penting dalam menjaga dan melindungi anak dari ancaman kejahatan online di era revolusi digital 4.0 saat ini. “Orangtua baik ibu dan ayah, sangat berperan penting untuk memberikan perhatian penuh dalam menjaga dan melindungi anak dari ancaman kejahatan digital. Mereka harus memahami apa saja bentuk bentuk ancaman di dunia digital seperti email phishing, malware, distributed denial of service (DDos), hacking, dan lainnya,” tutur Roberto. Roberto menekankan orangtua harus memahami tanda-tanda ketika anak menjadi korban kejahatan digital, mengingat pentingnya sensitifitas orangtua untuk fokus dan mengerti kondisi anak. Orangtua juga harus menciptakan kenyamanan di rumah, menghadirkan moment bersama untuk membangun komunikasi mendalam dengan anak. Selain itu, memantau dan memastikan anak mengakses internet dengan aman, mengetahui dengan siapa anak membangun komunikasi di internet, dan mempelajari bentuk-bentuk perilaku menyimpang dalam dunia digital. Peran guru sebagai pendidik, juga sangat penting dalam mengawasi dan melindungi anak dari tindak kejahatan di lingkungan sekolah. (H-2)

Sumber: https://mediaindonesia.com/humaniora/451832/kekerasan-gender-berbasis-online-naik-empat-kali-lipat

Related-Area: