Hajah Syamsiah, pemilik lahan kakao di Sulawesi Barat, menjemur kakao di halaman rumahnya di Kecamatan Mapilli, Kabupaten Polewali Mandar, pekan lalu. Saat ini harga kakao bagus dan produksi pun meningkat sehingga menguntungkan petani.
Abdul Wahab (39), petani di Desa Barra, Kecamatan Mapilli, Polewali Mandar, Sulawesi Barat, semringah saat ditemui di kolong rumah panggungnya. Sembari memberi makan sapinya, Wahab bercerita dengan wajah penuh senyum. Hajah Syamsiah, pemilik lahan kakao di Sulawesi Barat, menjemur kakao di halaman rumahnya di Kecamatan Mapilli, Kabupaten Polewali Mandar, pekan lalu. Saat ini harga kakao bagus dan produksi pun meningkat sehingga menguntungkan petani.
Alhamdulillah, panen kakao makin bagus. Produksi meningkat, kualitas juga lebih bagus dengan biji-biji kakao yang lebih besar. Harganya pun bagus,” kata Wahab berseri.
”Bersyukur tiga tahun lalu saya ikut program peremajaan kakao. Saya tidak mengganti tanaman dengan yang baru, tapi melakukan sambung samping,” kata Wahab.
Di Sulawesi Barat, panen kakao bisa dilakukan setiap saat. Namun, panen raya berlangsung pada Mei-Juli, lalu September-November. Di kebun Wahab yang luasnya 1 hektar, di masa panen raya, hasilnya berkisar 100 kilogram setiap minggu. Ini dua kali lipat dari produksi kebunnya saat belum melakukan sambung samping yang hanya 50 kilogram.
Hajah Syamsiah (45), pemilik kebun kakao seluas 2 hektar di Kecamatan Mapilli, juga bersyukur melakukan peremajaan kakao dengan cara sambung samping. Sempat putus asa karena serangan penyakit hama penggerek buah dan batang yang membuat produksi dan kualitas kakaonya anjlok, kini dia menikmati buah ketekunannya.
Dari kebunnya, dia bisa mendapatkan hasil panen hingga 300 kilogram setiap 10-15 hari. Peningkatan produksi dan kualitas ini diikuti harga kakao Rp 32.000-Rp 35.000 per kilogram.
Serangan penyakit
Sulawesi Barat adalah salah satu sentra kakao di Indonesia dengan total luas kebun sekitar 150.000 hektar. Terbanyak di Kabupaten Mamuju dan Mamuju Tengah, luasnya lebih dari 60.000 hektar, disusul Polewali Mandar lebih dari 47.000 hektar. Selebihnya menyebar di Kabupaten Mamasa dan Kabupaten Majene.
Hingga lebih dari 10 tahun lalu, kakao adalah komoditas andalan petani di Sulawesi Barat. Komoditas andalan ini jatuh saat ribuan hektar tanaman kakao terserang penyakit. Serangan ini diperparah dengan usia tanaman yang umumnya di atas 15 tahun, bahkan 20 tahun.
Produksi kakao yang sempat mencapai 100.000 ton per tahun perlahan menurun hingga di angka 60.000 ton-70.000 ton per tahun. Putus asa membuat banyak petani meninggalkan kakao dan beralih ke tanaman lain. Sebagian dari mereka menelantarkan lahan.
Pemerintah Provinsi Sulawesi Barat akhirnya membuat program peremajaan kakao yang menjadi cikal bakal Gerakan Nasional Kakao yang mendapat alokasi anggaran dari APBN. Dalam program ini, petani diminta mengganti tanaman tua dengan yang baru, sebagian yang masih bisa tertolong diremajakan dengan cara sambung samping.
Program ini berjalan selama lima tahun, antara 2008 dan 2013, dan memang memberi bukti nyata dengan produksi kakao yang perlahan terus naik. Produksi pun meningkat jadi sekitar 120.000 ton per tahun. Di sejumlah wilayah, seperti di Polewali Mandar, produksi kakao meningkat dari 300 kilogram per hektar menjadi 1 ton per hektar. Bahkan, ada yang mencapai 2 ton per hektar.
Namun, belum lagi semua tanaman kakao diremajakan, program ini tak dilanjutkan pusat atau dengan kata lain tak lagi dianggarkan dalam APBN. Selama 2014, peremajaan tak banyak dilakukan. Jika ada yang tetap jalan dengan anggaran APBD, cakupannya terbatas.
Gubernur Sulawesi Barat Anwar Adnan Saleh akhirnya menghadap Presiden Joko Widodo dan meminta program ini tetap jalan dengan anggaran pusat. Alasannya, kakao dan ribuan petani ataupun pedagang yang terlibat dalam komoditas ini harus diselamatkan.
”Presiden setuju dan memberi anggaran Rp 1,2 triliun yang diberikan secara bertahap mulai tahun 2015. Dengan anggaran ini, kami kembali melanjutkan program peremajaan kakao yang sebelumnya terputus,” kata Anwar.
Dana ini digunakan untuk peremajaan, sambung samping, pengadaan benih, pupuk, dan kompensasi kepada petani selama tanaman belum berbuah. ”Kami target produksi meningkat tiga kali lipat hingga mencapai 300.000 ton per tahun jika program ini dilanjutkan. Kami yakin bisa asal lebih fokus dan petani ikut bekerja sama,” kata Anwar.
Peningkatan taraf hidup
Kini kakao perlahan kembali ke masa kejayaan. Produksi yang terus meningkat diikuti kualitas dan harga yang bagus setidaknya menjadi tumpuan harapan petani untuk meningkatkan taraf hidup mereka.
Wahab, misalnya, setelah produksi tanaman kakao meningkat, dia menambah penghasilan dengan beternak sapi.
Adapun Syamsiah, selain bisa menyekolahkan anak-anaknya hingga ke perguruan tinggi, juga bisa memperbaiki rumah dan membangun kios yang menjual kebutuhan pokok.
Adapun Hasanuddin (50), petani di Kecamatan Campalagian, berkat kakao bisa menunaikan ibadah haji yang menjadi cita-citanya sejak kecil.
Wajah-wajah semringah penuh syukur kini mudah dijumpai di sentra-sentra kakao Sulawesi Barat. Rasa syukur tak putus dipanjatkan petani karena berkat ketekunan mengurus kakao dan tabah menghadapi berbagai hambatan kini petani menikmati hasilnya. Rumah bagus, anak bisa kuliah adalah buktinya.
Sumber: http://print.kompas.com/baca/2016/07/22/Petani-Menikmati-Buah-Ketekunan
- Log in to post comments
- 1708 reads