BEKERJA DAN BERBAKTI UNTUK KEMAJUAN KTI

BOJONEGORO BERBAGI PENGALAMAN PENYELENGGARAAN LAYANAN DASAR

 

“Tidak ada kabupaten miskin. Yang ada
daerah yang salah urus. Mari kita penuhi kebutuhan
saat ini dan siapkan generasi
Bojonegoro masa depan”
Kang Yoto

 

Perbaikan layanan dasar di Indonesia, terutama untuk kelompok miskin dan rentan, masih menjadi pekerjaan rumah yang tersisa bagi pemerintah Indonesia. Ditengah laju pertumbuhan ekonomi yang relatif stabil sejak awal dekade 2000-an, yang membawa Indonesia menjadi anggota kelompok G-20 yang merupakan 20 negara dengan perekonomian terbesar di dunia, beberapa indikator penyelenggaraan layanan dasar kita, seperti angka kematian ibu melahirkan, dan angka balita pendek (stunting), masih berada dibawah tingkatan yang seharusnya dapat dicapai Indonesia, terutama jika dibandingkan dengan negara lain pada tingkat pendapatan yang sama.

Pemerintah Kabupaten/Kota menjadi salah satu kunci upaya perbaikan layanan dasar itu, karena setelah dilaksanakannya desentralisasi merekalah yang menjadi penyelenggara utama layanan dasar di tingkat daerah. Menyadari hal tersebut, semenjak bulan Oktober 2017 yang lalu, Bank Dunia bersama Yayasan BaKTI menggandeng 3 Kabupaten yang memiliki komitmen tinggi untuk perbaikan layanan dasar, yaitu: Bojonegoro, Kubu Raya, dan Belu, untuk melakukan inisiatif bersama untuk menguraikan permasalahan dalam perbaikan layanan dasar di daerah-daerah tersebut, untuk singkatnya inisiatif ini disebut dengan MELAYANI. Diharapkan dari inisiatif bersama tersebut akan dapat dipelajari model-model penguraian masalah perbaikan layanan dasar di Indonesia.

Setelah 4 bulan inisiatif ini berjalan, 3 Kabupaten partisipan sepakat untuk melakukan tukar pengalaman dan menarik pelajaran dari penyelenggaraan layanan dasar di masing-masing daerah. Sebagai tuan rumah pertama proses tukar pengalaman ini adalah Kabupaten Bojonegoro. Dalam pertemuan “tukar pengalaman” yang diselenggarakan tanggal 12-13 Februari 2018 yang lalu, dipimpin langsung oleh Bupati Bojonegoro Dr. Suyoto atau biasa dipanggil Kang Yoto. Sementara delegasi dari Kabupaten Belu NTT dipimpin langsung oleh Bupati Willy Lay, didampingi Kepala Dinas Pendidikan, Marsianus. Sedangkan dari Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat dipimpin oleh Kepala Dinas Kesehatan, dr. H. Berli, didampingi oleh Kepala Bidang Sosial Budaya BAPPEDA, Faisal Hadi Djaya. Selain itu hadir pula perwakilan dari Bank Dunia selaku mitra internasional dalam pelaksanaan program MELAYANI serta para pendamping (Coach) program MELAYANI di tiap kabupaten wilayah kerja MELAYANI.

Bojonegoro terpilih sebagai tuan rumah “tukar pengalaman” mengingat pengalaman Bojonegoro dalam melakukan beberapa program inovasi perbaikan pelayanan dasar.

Kabupaten Bojonegoro terpilih mewakili Indonesia dan Asia sebagai daerah percontohan pada Open Government Partnership (OGP) Subnational Government Pilot Program atau Percontohan Pemerintah Daerah Terbuka di tahun 2016. Bojonegoro bersama kota Seoul, Korea Selatan, dan Tbilisi di Georgia. Keterbukaan pemerintah di Bojonegoro tercermin antara lain dari publikasi informasi keuangan daerah yang sangat transparan di website pemerintah daerah, bahkan masyarakat bisa menjumpai nama-nama penerima pembayaran dari anggaran pemerintah daerah.

Salah satu terobosan penting yang dilakukan adalah, membuka Dialog Publik, sebuah forum transparansi kinerja pejabat yang dilaksanakan tiap hari Jumat untuk belajar mencari solusi bersama. Selama 10 tahun masa pemerintahannya, Kang Yoto nyaris tidak pernah absen dalam pertemuan jumat siang ini. Selain itu, teknologi informasi dan media sosial dimaksimalkan untuk mendorong pemerintah yang terbuka (open government partnership).

Proses panjang telah dilalui, untuk mewujudkan pemerintahan terbuka, secara tepat, cepat dan bermanfaat. Hal yang paling sederhana dalam proses keterbukaan telah dilakukan di tahun 2008 dengan “Dialog Publik”, membuka akses informasi yang bisa menyampaikan uneg-unegnya langsung kepada Bupati, dan pejabat daerah lainnya. Pemanfaatan teknologi informasi, merupakan bagian untuk menguatkan akses informasi, memahami dan memberikan solusi berbagai persoalan di masyarakat.

Hal lain yang menarik dari Bojonegoro adalah bagaimana memanfaatkan kolaborasi 4(empat) sekawan. Keterlibatan danmelibatkan Akademisi, Bussines, Government dan Community (ABGC), dalam perumusan berbagai kebijakan berbasis data/bukti (evidence-based policy). “Kami sangat terbuka untuk melakukan kolaborasi dengan pengusaha, LSM/Masyarakat dan Lembaga Donor, semakin banyak yang memikirkan masalah Bojonegoro,semakin baik” demikian kata Kang Yoto.

Wujud kolaborasi 4 sekawan dapat dilihat dalam berbagai program pembangunan seperti: Bojonegoro berkolaborasi dengan World Bank untuk melakukan review terhadap persoalan penurunan angka kematian ibu dan menaikkan angka partisipasi sekolah, penyiapan data dasar indikator layanan tingkat desa yang dilakukan oleh Ibu-Ibu dasawisma dan konversinya dari manual ke digital bekerja sama dengan Mediatrac, sebuah perusahaan konsultasi swasta, dan didukung oleh Bojonegoro Institute. Pemantapan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB)/SDG’s berbasis keterbukaan pemerintahan atau Open Government Partnership (OGP) didukung oleh INFID dan IDFoS. Persiapan pembentukan dana abadi Migas didukung oleh Bank Dunia dan NRGI. Perbaikan data Basis Data Terpadu (BDT)/Kemiskinan didukung oleh Bojonegoro Institute & PWYP. Untuk persiapan lapangan kerja terkait ekonomi, pertanian dan industri kreatif didukung sepenuhnya oleh beberapa universitas seperti ITB, IPB, UI, Universitas Airlangga dan Pusat Pemberdayaan Komunitas Perkotaan Universitas Surabaya (Pusdakota Ubaya). Inisiatif kabupaten ramah HAM langsung bekerjasama dengan Komnas HAM dan Universitas Bojonegoro.

Di sektor swasta; analisis tanah dan pemupukan bekerjasama dengan Petrokimia Gresik, pengelolaan sayur dan buah yang dibentuk menjadi tempat wisata, bekerjasama dengan PT. Agroguna, serta peningkatan olahan sarang burung menjadi produk minuman sehat yang menjadi komoditi ekspor bekerjasama dengan PT. Realfood.

Pemkab Bojonegoro memanfaatkan berbagai saluran komunikasi dan informasi untuk berkomunikasi dengan masyarakat. Sejak Juli 2014, Pemkab Bojonegoro melalui Dinas Komunikasi dan Informatika (Dinkominfo) mengembangkan sistem komunikasi dengan masyarakat secara digital yang disebut Sistem Integrasi Aspirasi Publik (SIAP) dengan Layanan Aspirasi Online Rakyat (LAPOR!) dengan website https://www.lapor.go.id yang mengadopsi model layanan komunikasi dan aduan yang diterapkan oleh pemerintah pusat namun kemudian dikembangkan agar lebih mudah menjangkau masyarakat secara luas. Kecanggihan aplikasi ini tidak hanya menjadi ornamen saja, tapi ditindaklanjuti, bahkan penyelesaian aduan salah satu indikator kinerja yang dibahas dalam rapat management review setiap hari Jumat pagi.

Hal menarik lainnya adalah koordinasi dalam pemecahan masalah-masalah strategis layanan dasar melalui optimalisasi fungsi Staf Ahli Bupati dalam melakukan analisa sesuai dengan bidangnya masing-masing sampai menyusun konsep akademis untuk melahirkan suatu kebijakan. Selain staf ahli, Bojonegoro juga mengoptimalkan fungsi para asisten sebagai “Menteri Koordinator” yaitu mengkoordinasikan OPD sesuai dengan bidangnya masing-masing, sehingga dalam pelaksanaan koordinasi lebih mudah dan efektif. Sehingga tugas Bupati lebih ringan ketika jabatan-jabatan itu difungsikan sesuai aturan yang berlaku.

Salah satu buah manis dari berbagai terobosan itu adalah keluarnya Bojonegoro dari daftar 10 besar kabupaten/kota termiskin di Jawa Timur. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) Jawa Timur, menurut data terakhir yang tersedia dari BPS (2016) persentase penduduk miskin di Bojonegoro adalah 14,6%, turun dari 15,71% di tahun 2015.

Kunjungan dua hari pemerintah Kubu Raya dan Belu di Kabupaten Bojonegoro diharapkan mampu memberikan banyak informasi dan pengalaman baru yang dapat menginspirasi masing-masing pemerintah daerah dalam melaksanakan pemerintahan khususnya terkait pelayanan dasar.

Terbangunnya keeratan dan kekuatan kepercayaan antara pemerintah dan rakyat dalam berbagai elemen, merupakan pengikatnya. Saling percaya tidak hanya secara individual, harus terdorong sebagai institusional dan terimplementasikan sebagai cultural untuk kepentingan dan kesejahteraan masyarakat.