BEKERJA DAN BERBAKTI UNTUK KEMAJUAN KTI

PEMILUKADA DAN WAKAF POLITIK

Oleh : Sahrony A Hirto

          Dosen Ilmu Administrasi Negara Fisip UMMU

 

Saat ini wacana masyarakat Maluku Utara mulai terfokus pada dua hal. Pertama terkait dengan nomor togel, kedua terkait strategi kemenangan para kandidat dalam pemilukada. Kedua hal tersebut menjadi trend topik dikarenakan telah mewabah dalam masyarakat, hanya saja dampak dari kedua wabah di atas berbeda-beda. Seperti halnya togel yang sudah jelas-jelas memiliki dampak negatif baik jangka pendek maupun panjang, sehingga tidak ada alasan untuk menghentikannya, hanya saja langkah offensif dari pemerintah belum juga terlihat. Namun persoalan togel bukanlah menjadi inti tulisan ini, akan tetapi lebih pada persoalan pemilukada dalam kerangka wakaf politik. Wabah pemilukada yang selalu hadir lima tahunan ini adalah ajang di mana masyarakat menentukan arah kehidupannya kedepan. Sehingga wabah ini memiliki dampak yang positif. Hanya saja jika konteks pemilukada ini di maknai secara sempit dan memberikan pemaknaan yang negatif. Oleh karena itu, penulis bermaksud untuk memaparkan beberapa hal menarik dari pemilukada yang dapat memberikan dampak positif terhadap pemilukada tersebut.  

Mengawali tulisan ini penulis mencoba memberikan beberapa gagasan yang ditujukan kepada masyarakat dan terlebihnya kepada mereka yang mempersiapkan dirinya untuk tampil dalam kontestasi yang tinggal menghitung hari. Gagasan yang dimaksudkan terinspirasi dari kepemimpinan seorang walikota yang mendedikasikan dirinya kepada kekuasaan yang diamanatkan rakyat sehingga kekuasaan baginya adalah sebuah “wakaf politik”. Inilah sosok yang memimpin Yogyakarta selama dua periode bahkan dalam masyarakat beliau merupakan sosok ideal dalam memimpin Kota Yogyakarta. Dialah Herry Zudianto yang menjalankan kekuasaannya sebagai bentuk pengabdian sehingga mewakafkan dirinya dalam melayani masyarakat.  

Wakaf dari segi bahasa berarti menahan. Sedangkan menurut istilah syarak, ialah menahan sesuatu benda yang kekal zatnya, agar diambil manfaatnya untuk kebaikan dan kemajuan. Menahan suatu benda yang kekal zatnya, artinya tidak dijual dan tidak diberikan serta tidak pula diwariskan, tetapi hanya disedekahkan untuk diambil manfaatnya saja (Bustamam). Dari istilah inilah wakaf kemudian dilekatkan dengan kata politik yang bagi penulis diartikan sebagai bentuk kekuasaan sehingga definisi wakaf politik adalah menahan diri dari keinginan pribadi maupun kelompok, tanpa mengambil apapun karena bentuknya seperti bersedekah agar masyarakat dapat mengambil manfaatnya.

Mengapa penulis menghadirkan sosok Herry Zudianto, di saat perbincangan masyarakat lebih terfokus kepada siapa yang layak memimpin Maluku Utara untuk kontestasi 2013. Dengan maksud sederhana agar menjadi rujukan, baik bagi masyarakat umum maupun individu yang merasa dirinya terpanggil untuk maju bertarung pada kontestasi 2013 nanti. Tidak bermaksud mengembalikan memori lama terkait sejarah pemilukada kemarin yang merupakan konflik pemilukada terlama di seluruh Indonesia, yang menguras waktu kurang lebih satu tahun dan sampai memakan korban jiwa. Bagi penulis kurangnya kesadaran elit politik akan hakikat dari kekuasaan itu sendiri, yang mengakibatkan kekuasaan diartikan sebagai sebuah jalan untuk memuluskan libido menguasai, ada juga yang mendefinisikan kontestasi ini sebagai bagian dari mempertahankan hegemoni etnis dan/atau bagi etnis lainnya merupakan ekspansi atas legalitas history. Namun ini bukan menjadi tujuan dari penulisan ini sehingga penulis tidak begitu jauh mengembangkannya.

Dalam menjalankan kekuasaannya (Herry Zudianto) beliau menerapkan tiga prinsip yaitu pertama terkait dengan definisi dan hakikat kekuasaan. Kedua Etika Komunikasi Politik. Dan yang ketiga adalah menyangkut dimensi keadilan. Tiga prinsip inilah yang kemudian membuat beliau mewakafkan dirinya dalam menjalankan kekuasaan sebagai Walikota Yogyakarta. Fenomena menarik yang perlu penulis tampilkan adalah setelah dilantiknya sebagai walikota Herry Zudianto langsung mengundurkan diri dari partai pengusungnya, alasannya sederhana yaitu ingin melakukan pengabdian terhadap masyarakat dan ini bisa dilakukan jika tidak di dompleng oleh partai.

Kondisi di atas jelas berbeda dengan yang terjadi di propinsi Maluku Utara, bagamana tidak dari tiga strategi yang digunakan Herry Zudianto dalam memimpin Kota Yogyakarta tidak nampak ada dalam elit politik Maluku Utara,  sehingga kekuasaan hanya bagian kecil dari bentuk hegemoni. Selain strategi tersebut keberanian elit untuk mendahulukan kepentingan rakyat dari pada partai juga tidak nampak karena elit sendiri masih berada dalam ketiak partai, sehingga kepentingan partai menjadi dasar melaksanakan kekuasaan. Terasa aneh jika kembali mengingat definisi sederhana demokrasi (dari, oleh dan untuk rakyat) akan berganti menjadi dari, oleh, dan untuk partai. Definisi demokrasi sendiri sudah begitu fasih kita ucapkan, tetapi sulit untuk dilaksanakan karena partai politik sendiri memainkan peranan yang penting.

Salah satu cara keluar dari kungkungan politik hanyalah dengan memberikan pemahaman politik kepada masyarakat agar tumbuh pemilih rasional, sedangkan pemilih rasional sendiri tumbuh dari sebagaimana pemahaman dan kesadaran pemilih dalam keterlibatannya, sehingga kepentingan sesaat, etnis, dan golongan dapat terbuang jauh.  Selain pemahaman politik (pemilih rasional), para elit juga seharusnya sadar diri bahwa kontestasi ini (pemilukada) adalah bukan ajang adu ayam jago, tetapi kontestasi demokrasi yang mana menentukan nasib rakyat lima tahunan. 

Fokus penulisan ini hanyalah keinginan untuk menginformasikan kepada masyarakat Maluku Utara serta tanggapan atas makna kekuasaan bagi elit. seyogyanya masyarakat Maluku utara sudah mulai berkaca dari kepemimpinan selama ini baik para wakil rakyat yang berada di legislatif maupun yang berada di eksekutif dikarenakan mereka menjalankan kekuasaan sebagai bagian dari hasrat di puji. Padahal dalam wakaf politik pujian tidaklah berarti karena kemanfaatan yang dirasakan bersama atas yang dipimpin dan juga bagi yang memimpin sehingga pujian bukanlah sesuatu yang diharapkan dari wakaf politik.  

Sudah saatnya masyarakat memilih pemimpin yang memiliki kharateristik yang mampu mendefinisikan kekuasaan sebagai  wakaf atas dirinya untuk mengabdi sepenuhnya kepada masyarakat. Proses wakaf diri ini tidak bermakna dia harus tua maupun muda dalam pengertian umur tetapi bagaimana kedewasaan diri dalam memahami kekuasaan seutuhnya. Hanyalah orang yang mengerti akan pentingnya pendidikan dan pengabdian keagamaan yang mampu memahami kekuasaan sebagai bagian wakaf atas dirinya kepada masyarakat. 

Topik: