BEKERJA DAN BERBAKTI UNTUK KEMAJUAN KTI

PARODI 1 MILYAR BANGUN DESA

Oleh Siti Barora Sinay

Email: sitibarora@yahoo.com

 

Sang Kades di tengah pulau Halmahera tersenyum lebar membayangkan abstraksi 1,4 Milyar dalam benak akan mengucur ke Desa yang berpenduduk kurang dari 300 KK. Banyak hal bermunculan silih berganti, gedung kantor desa, jalan setapak, talud, perbaikan pagar rumah penduduk – tak lupa tambahan honorarium Staf Desa. Langkah pasti mengantar Kades usai mendengar kampanye politik saat Pilpres 2014 silam.

Medio Januari 2015, mimpi itu menjadi nyata. Pemerintah mengundangkan UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa yang dalam siaran resmi disebut sebagai titik perwujudan komitmen Pemerintah membangun desa. Tak lama berselang, peraturan pelaksanaanya segera diterbitkan yakni PP No. 43 Tahun 2014 dan PP Nomor 60 Tahun 2014. Regulasi ini menjadi landasan dikucurkannya alokasi Dana Desa sebesar 1 Milyar/Desa .

Senyum lebar Sang Kades mendadak sirna tatkala koran memberitakan Menteri DPDTT berkata bahwa alokasi dana tidak mencapai angka Rp 1,4 miliar karena minimnya dana yang dianggarkan. Pemerintah mengalokasikan Rp 9,01 Triliun untuk alokasi dana ke desa-desa, atau masing-masing desa hanya mendapatkan Rp 120 Juta – sungguh jauh panggang dari api. Masih juga Pemerintah berjanji akan melakukan revisi, dinaikkan menjadi Rp 29 Triliun. Dana PMD tersebut akan disalurkan ke 74.000 desa.

Kunjungan Komite I Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI pada Februari 2015 di Maluku Utara semakin memperjelas adanya pergulatan alokasi Dana Desa. Bahkan Ketua Komite I menuding Pemerintah Pusat telah melakukan pembohongan terhadap masyarakat Indonesia termasuk Maluku Utara, Pempus hanya membuat surga telinga, namun tidak bisa dibuktikan secara ril. “Dana  hanya Rp20 triliun. Jika di bagi rata ke-74 ribu desa, maka rata-rata per desa hanya Rp270 juta. Jadi tidak usah bermimpi desa bisa mendapat Rp 1 Miliar”. Demikian kutipan pernyataan Benny Ramdani sebagaimana dilansir media lokal.

Parodi pun berakhir, postur APBN yang tidak lagi bisa direkonsiliasi untuk mewujudkan janji politik saat kampanye dijustifikasi sebagai penghambat karena warisan rencana anggaran Pemerintahan sebelumnya. karena terencana pada Pemerintahan sebelumnya, meskipun demikian usaha keras telah dilakukan melalui revisi menjadikan alokasi dana untuk 74 ribu desa di Indonesia pada tahun anggaran 2015  yang hanya Rp9 Triliun bertambah di APBN Perubahan Rp11 Triliun sehingga total anggaran menjadi Rp20 Triliun.

Salah satu alasan pengalokasian Dana Desa dimaksudkan untuk mencapai output UU No. 6 Tahun 2014 yakni memajukan perekonomian masyarakat Desa serta mengatasi kesenjangan pembangunan nasional. Dana Desa tersebut bersumber dari belanja Pemerintah untuk mengefektifkan program yang berbasis desa secara merata dan berkeadilan yang dihitung berdasarkan jumlah desa dan dialokasikan dnegan memperhatikan jumlah penduduk, angka kemiskinan, luas wilayah, dan tingkat kesulitan geografis.

Penyaluran dana desa sudah dipastikan bulan April, hal ini sesuai dengan ketentuan PP No. 60 Tahun 2014. Proses ini dilakukan secara bertahap yakni I sebesar 40%, ke-II pada Agustus sebesar 40%, dan ke-III pada November sebesar 20% tepatnya paling lambat minggu kedua setiap tahapan. Dana Desa dimaksudkan untuk membiayai pembangunan dan pemberdayaan masyarakat. 

 

ADD dalam APBD Kabupaten: rencana & implementasi

Untuk mendukung pembangunan di desa, Pemerintah Kabupaten Halmahera Timur, tahun 2015 mengalokasikan Alokasi Dana Desa (ADD) pada APBD sebesar Rp.35 Miliar untuk menambah porsi Dana Desa yang bersumber dari APBN sebesar Rp.6,98 Miliar untuk membiayai 102 desa yang rata-rata menerima Rp. 411 Juta. Hal ini dilakukan karena alokasi dana dalam APBN dipandang tidak cukup membiayai penyelesaian problem infrastruktur di desa. Lain lagi, Pemerintah Kabupaten Pulau Morotai pada tahun 2014 mengalokasikan Rp. 88 Milyar dalam APBD melalui program satu desa satu milyar (SDSM) untuk 88 Desa di Kabupaten ini, ini berarti 1 Desa mendapatkan porsi 1 Milyar. Fakta ini menunjukan komitmen Pemerintah Daerah untuk mengatasi disparitas kota-desa, dimana pengalokasian ADD telah diisyaratkan dalam UU paling sedikit 10% dari dana perimbangan yang diterima Kabupaten/Kota dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah setelah dikurangi Dana Alokasi Khusus.

Kebijakan ini direspon positif oleh Kepala Desa di Kab. Haltim dan Kab. Pulau Morotai yang dinilai sebagai terobosan baru, kesempatan untuk membangun desa, namun nampak juga wajah bingung bercampur was-was bagaimana mengelola dana sebesar itu yang konon diawasi langsung oleh KPK. Perencanaan yang matang menjadi kunci utama keberhasilan desa dalam memanfaatkan kesempatan keuangan yang tersedia. Di Haltim, saat ini telah disiapkan peraturan Bupati terkait penyaluran Dana Desa, sosialisasi dan pendampingan aparatur desa oleh BPMD termasuk mendukung APBDes dan RKADes sementara di Pulau Morotai, telah disiapkan Perbup tentang keuangan desa, sosialisasi, pendampingan penyusunan APBDes dan RKADes serta pelatihan terkait pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan desa.

Tantangan ini menjadi catatan identifikasi problem di desa. Bagaimana aparatur desa mempersiapkan diri mengelola dana tersebut, serta model pendampingan efektif yang memastikan prioritas program berjalan dan bermanfaat bagi desa. Kesiapan aparatur desa sangat bergantung pada pemahaman yang diperoleh melalui pendidikan dan pelatihan sebagai bagian dari pola pembinaan Pemerintah Daerah, tak kalah pentingnya monitoring dan evaluasi yang dilakukan untuk memastikan program berjalan on the track dan mencapai output. Sejalan dengan kultur partisipatif, metode perencanaan hingga monev seyogianya dilakukan secara partisipatif berbasis kesukarelaan oleh masyarakat – contoh lain kelompok pemantau berbasis masyarakat (PBM) pada program PNPM terdahulu mendorong kemandirian masyarakat untuk peduli memantau pelaksanaan program desa.

Penerapan pola partisipatif berbasis PRA yang sering dipraktikkan oleh kelompok dapat menjadi praktik cerdas disamping model-model lainnya yang selama ini dilakukan oleh SKPD. Kesadaran dan kemauan untuk meningkatkan kemampuan menjadi kunci sukses mengelola program dan anggaran, betapapun besarnya nilai anggaran.

Menurut Saya, 270 Juta Dana Desa dan persentase alokasi ADD dalam APBD dipandang cukup untuk membiayai kebutuhan desa, setidaknya 2 (dua) program fisik prioritas di Desa dimungkinkan untuk terbiayai. Selain itu, kewajiban Pemerintah Daerah untuk mengembangkan sistim informasi Desa dan pembangunan Kawasan Perdesaan menjadi tantangan tersendiri mulai dari penyediaan fasilitas perangkat keras, lunak, jaringan dan SDM. Dukungan penyediaan sistim informasi desa ini akan mendorong akses masyarakat desa untuk terlibat dalam program pembangunan desa.

Akhirnya, pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan pemerintahan desa oleh Pemerintah Daerah seharusnya bermuara pada percepatan pembangunan kawasan perdesaan melalui bantuan keuangan, bantuan pendampingan, dan bantuan teknis yang tidak hanya kepada Pemerintah Desa, tetapi juga Badan Permusyawaratan Desa, lembaga kemasyarakatan, lembaga adat, dan BUM Desa. Sudahkah Pemerintah Daerah dan Kita melakukannya?

field_vote: 
Your rating: None Average: 2 (2 votes)