By Rudy Riwu Kaho *)
Pada 21 Agustus 2009, terjadi pencemaran laut timor oleh operator kilang minyak PTTEP Australasia yang berlokasi di Montara Welhead Platform (WHP), Laut Timor atau 200 km dari Pantai Kimberley, Australia.
Kejadian seperti ini merupakan yang kesekian kalinya terjadi di perairan Indonesia, tercatat sampai tahun 2001, telah terjadi 19 peristiwa tumpahan minyak di perairan Indonesia (Mukhtasor, 2007). Tumpahan minyak tersebut telah memasuki wilayah perairan Nusa Tenggara Timur sejauh 51 mil atau sekitar 80 km tenggara Pulau Rote.
Secara umum dampak langsung yang terjadi adalah sebanyak 400 barel atau 63,6 ribu liter minyak mentah mengalir ke Laut Timor per hari, permukaan laut tertutup 0,0001 mm minyak mentah, minyak mentah masuk ke Zona Eksklusif Ekonomi (ZEE) Indonesia pada 28 Oktober 2009, serta gas hidrokarbon terlepas ke atmosfer.
Sementara tempo.co edisi 15 Februari 2014 merelease keterangan Yayasan Peduli Timor Barat (YPTB) yang mengutip laporan komisi penyelidikan Australia, bahwa sekitar 2.000 barel minyak dan gas serta kondensat beracun lainnya bocor ke Laut Timor per hari dan telah mencemari lebih dari 90.000 kilometer persegi Laut Timor.
Laporan lainnya dari para ahli geologi independen di Australia dan Indonesia menyebutkan sumur Montara itu telah menumpahkan sekitar 5.000 sampai 10.000 barel minyak per hari ke Laut Timor, dan 95 persen wilayah pencemaran tersebut justru berada di wilayah perairan Indonesia.
Pencemaran itu, melanda hampir seluruh perairan NTT, seperti Pulau Timor bagian barat yakni Kabupaten Kupang, Timor Tengah Selatan, Timor Tengah Utara dan Belu, serta Rote, Sabu, Alor, Sumba dan Pulau Flores bagian timur serta Lembata. Daerah-daerah itu dilaporkan sudah tercemar berat.
Akibat dari pencemaran itu, hasil tangkap nelayan mengalami penurunan, dan petani rumput laut berhenti menanam rumput laut, karena sudah rusak akibat tercemar minyak Montara. Belum lagi dampak lainnya seperti rusaknya terumbu karang dan biota laut lain sebagainya.
Menurut laporan Menteri Perhubungan Fredy Numberi dalam rapat kerja dengan Komisi VII DPR RI pada 27 Juli 2010, disebutkan bahwa kerugian akibat pencemaran laut timor mencapai Rp 247.004.104.423,- Kerugian ini masih jauh dari perhitungan Pemerintah Daerah NTT yakni Rp 806.168.200.000,-
Sebuah penelitian independen yang dipimpin Prof Dr. Mukhtasor memperkirakan kerugian tahunan mencapai sekitar US$ 1,7 Miliar.
Kemudian, Menteri Lingkungan Hidup Gusti Muhammad Hatta, sebagaimana dilansir formatnews.com mengatakan bahwa potensi kerugian total dan kerugian langsung dari pencemaran Laut Timor akibat meledaknya sumur minyak Montara pada 21 Agustus 2009 mencapai Rp 290 miliar. Hasil perhitungan nilai potensi kerugian sosial ekonomi tersebut menjadi dasar kebijakan untuk tuntutan ganti rugi kepada pihak Australia.
Hasil perhitungan KLH terhadap nilai potensi kerugian sosial ekonomi sumber daya alam pesisir Pulau Timor dan Pulau Rote akibat kebocoran minyak Montara menunjukkan bahwa potensi kerugian total (total lost value) mencapai Rp 247 miliar dan kerugian langsung (direct lost value) mencapai Rp 42 miliar.
Terlepas dari semua penjelasan diatas, saya melihat ada hal menarik yang perlu mendapat perhatian adalah sebenarnya, berapa kerugian yang diderita petani dan nelayan di Nusa Tenggara Timur, khususnya di Kecamatan Kupang Barat, Kabupaten Kupang, dan siapa yang diuntungkan dan siapa yang dirugikan dari pengajuan klaim ganti rugi kasus pencemaran laut timor tersebut. Pemerintah? ataukah masyarakat!.
Bicara soal berapa kerugian yang dialami nelayan di Kabupaten Kupang khususnya yang bermukim di wilayah Kecamatan Kupang Barat, memang sangat sulit. Masalahnya, sampai dengan saat ini, Pemerintah Kabupaten Kupang belum pernah membuat suatu perhitungan berapa nilai real kerugian yang dialami masyarakat nelayannya.
Bupati Kupang saat berkunjung ke Desa Tabulolong Kecamatan Kupang Barat bersama seorang Senator Australia, mengakui bahwa pihaknya sama sekali tidak memiliki data tentang berapa besar kerugian yang dialami masyarakatnya pasca tercemarnya laut timor.
Jika demikian, maka menjadi pertanyaan disini adalah dari mana Menteri Fredy Numberi memperoleh angka Rp 247.004.104.423,- sebagai total kerugian yang dialami negara ini. Mengapa Kementerian Lingkungan Hidup menetapkan Rp 290 miliar sebagai kerugian langsung yang dialami negara dan dasar perhitungan seperti apa yang dipakai pemerintah provinsi NTT untuk menetapkan Rp 806.168.200.000,- sebagai nilai kerugian yang dialami daerah ini?
Saya juga bertanya-tanya dalam hati, apakah ketika dilakukan perhitungan soal nilai kerugian tersebut, pemerintah pusat dan provinsi sudah bersinergi dengan pemerintah kabupaten dalam menetapkan besaran kerugian yang dialami negara ini? ataukah Pemerintah pusat dan Pemerintah Provinsi berjalan sendirian dan tidak melibatkan pemerintah kabupaten.
Saya coba menghitung-hitung sendiri berapa sebenarnya kerugian yang dialami masyarakat nelayan dan petani rumput laut yang bermukim di Desa Tabulolong. Saya memulainya dari tingkat produksi rumput laut.
Saat tulisan ini dibuat, saya belum berhasil meperoleh informasi dari Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Nusa Tenggara Timur mengenai harga rata-rata rumput laut di pasar nasional, antara tahun 2007-2013.
Pada tahun 2007 sesuai data statistik, produksi rumput laut di Kecamatan Kupang Barat mencapai 1.200 ton. Google.com menyebutkan bahwa harga rumput laut jenis euchema cottonil (jenis yang umum dibudidayakan di Kupang) pada tahun 2007 berada pada kisaran Rp 6.500,- hingga Rp 8.000,- Itu artinya, pendapatan kotor petani rumput laut di Kecamatan Kupang Barat sekitar Rp 7,8 Milyar hingga Rp 9,6 Milyar.
Kemudian pada 2008 jumlah produksinya yang mencapai 63.041,86 ton atau meningkat sebesar 61.841,86 ton, suatu peningkatan produksi yang tergolong sangat fantastis. Jika jumlah produksi itu dikalikan dengan Rp 12 ribu,-/Kg untuk tahun 2008 sesuai informasi harga yang disampaikan Simon, seorang petani rumput laut di Desa Tabulolong, maka diperkirakan jumlah pendapatan kotor yang diraup petani rumput laut mencapai Rp 756.502.320.000,-
Produksi rumput laut masyarakat di Kupang Barat terus mengalami peningkatan pada tahun 2009 jumlah produksi rumput laut mencapai 592.586,00 ton atau mengalami peningkatan yang sangat fantastis sebesar 529.544,14 ton meskipun ketika itu laut timor sudah mulai dicemari tumpahan minyak montara. Sementara pendapatan kotor yang diperoleh petani dengan harga Rp 11 ribu / Kg, maka pendapatan kotor yang diperoleh mencapai Rp 6.518.446.000.000,-
Dampak pencemaran Montara baru mulai terasa di tahun 2011 yang ditandai dengan mulai menurunnya jumlah produksi rumput laut, dimana ketika itu jumlah produksinya mencapai 17.339,11 ton atau mengalami penurunan yang sangat fantastis menjadi 575.246,89 ton. Sementara harga rumput laut ketika itu berada pada kisaran Rp 22 ribu/Kg. Hal ini berdampak pada tingkat pendapatan kotor petani yang turun drastis menjadi Rp 381.460.420.000,-
Dari potensi kerugian yang dialami petani rumput laut, saya coba melihat tingkat pendapatan nelayan di Kupang Barat. Secara statistik, jumlah ikan hasil tangkapan nelayan di Kupang Barat pada tahun 2007 menurut buku Kabupaten Kupang dalam angka tahun 2008, mencapai 4.012,22 ton.
Sayangnya data statistik soal jumlah hasil tangkapan nelayan untuk tahun 2008 tidak terpublish sehingga tidak bisa dipastikan berapa besar peningkatan jumlah tangkapan nelayan di Kupang Barat dalam dua tahun sebelum peristiwa montara terjadi.
Namun pasca terjadinya peristiwa montara pada akhir 2009, jumlah hasil tangkapan nelayan kupang barat tahun 2009 sesuai buku Kabupaten Kupang dalam angka 2010 mencapai 7.986,19 ton atau meningkat sebesar 3.973,97 ton dari hasil tangkapan tahun 2007.
Dampak pencemaran laut timor mulai terasa pada tahun 2010 dengan mulai menurunnya jumlah hasil tangkapan yang dialami nelayan di Kupang Barat, dimana pada tahun 2010 sesuai data statistik, memperlihatkan adanya penurunan hasil tangkapan dengan jumlah yang hanya mencapai 6.098,38 ton atau mengalami penurunan sebanyak 1.887,62 ton.
Dampak pencemaran tersebut kian terasa pada tahun 2011, dimana jumlah hasil tangkapan nelayan turun menjadi 5.341,55 ton atau berkurang sebanyak 756,83 ton dari hasil yang diperoleh pada tahun 2010.
Menurut Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Nusa Tenggara Timur, Aba Maulaka, jika dibuat kalkulasi secara keseluruhan, maka diperkirakan jumlah kerugian yang dialami nelayan di wilayah NTT berada di atas Rp 5 Milyar per semesternya.
Dalam tulisan ini kami tidak bisa menyajikan data soal besaran kerugian yang dialami nelayan karena ketiadaan data harga jenis-jenis ikan pada tahun 2007-2013. Menurut Aba Maulaka, harga ikan sangat fluktuatif setiap bulannya.,
Tetapi berdasarkan hasil peneltian yang dilakukan tahun 2013 oleh Lintin Alfa, mahasiswa jurusan teknik kelautan pada Fakultas Teknik Kelautan Institut Teknologi 10 Nopember Surabaya, disimpulkan besar kerugian yang dialami para nelayan perikanan tangkap akibat tumpahnya minyak dari ledakan kilang minyak Montara adalah sebesar Rp 168 milyar per tahun.
Jumlah kerugian yang dialami petani rumput laut dan nelayan tersebut belum termasuk besarnya nilai ekonomi yang hilang pada sektor pariwisata akibat tumpahnya minyak Montara yang hingga kini belum diketahui besarannya.
Jika perhitungan kasar yang saya lakukan tadi, dimana kerugian yang dialami petani rumput laut sudah mencapai triliunan rupiah ditambah dengan hasil perhitungan yang dilakukan Lintin Afa seperti terlansir dalam hasil penelitiannya, kemudian melihat hasil perhitungan pemerintah hanya berada pada kisaran ratusan miliar rupiah, maka dikepala saya ada suatu pertanyaan, siapa sebenarnya yang dirugikan dari peristiwa Montara.
Bagi saya ini menjadi suatu pertanyaan besar, karena menurunnya jumlah produksi rumput laut dan hasil tangkapan nelayan di wilayah Kupang Barat setidaknya telah mempengaruhi kehidupan perekonomian masyarakat di Kupang Barat khususnya di Desa Tesabela dan Desa Tabulolong.
Hal ini dipertegas Bupati Kupang Ayub Titu Eki yang mengatakan, awalnya para petani rumput laut merasa perekonomian mereka mengalami pertumbuhan yang cukup baik. Namun dalam beberapa tahun belakangan ini, usaha pertanian rumput laut mereka mengalami kemunduran yang cukup significan, dan ini sebagai akibat dari tumpahan minya dari ladang montara yang mengakibatkan laut timor menjadi tercemar.
“Ini yang menyebabkan prospek dari usaha rumput laut menjadi terancam dan nanti anda bisa bertanya langsung ke petani bagaimana susahnya mereka saat ini,” kata Bupati Ayub Titu Eki.
Tapi sayang sekali, Bupati Kupang memang menunjukkan rasa simpatinya tetapi rasa simpati itu tidak didukung suatu kebijakan politik untuk bagaimana dapat menghadirkan suatu program yang bisa merangsang pertumbuhan perekonomian masyarakat di kedua desa tersebut sehingga ada usaha ekonomi alternatif yang dapat mencegah paraa petani dan nelayan menjadi bangkrut.
*) Wartawan Harian KURSOR
- Rudy Riwukaho's blog
- Log in to post comments
- 394 reads