Oleh: Said Mala
Prolog
Selama dasawarsa 1970-an, pembangunan ekonomi mengalami redefinisi. Pembangunan ekonomi tidak lagi memuja GNP sebagai sasaran pembangunan, namun lebih memusatkan perhatian pada kualitas dari proses pembangunan. Sejarah mencatat munculnya paradigma baru dalam pembangunan seperti pertumbuhan dengan distribusi, kebutuhan pokok (basic needs), pembangunan mandiri (self-reliant development), pembangunan berkelanjutan dengan perhatian terhadap alam (ecodevelopment), pembangunan yang memperhatikan ketimpangan pendapatan menurut etnis (ethnodevelopment), pembangunan antar-wilayah secara berimbang dan beberapa paradigma lainnya.
Secara normatif, pembangunan harus dipandang sebagai suatu proses multidimensional yang mencakup berbagai perubahan mendasar atas struktur sosial, sikap-sikap masyarakat, dan institusi-institusi nasional, disamping tetap mengejar akselerasi pertumbuhan ekonomi, penanganan ketimpangan pendapatan, serta pengentasan kemiskinan. Dengan demikian, kegiatan pembangunan harus mencerminkan perubahan total suatu masyarakat atau penyesuaian system social secara keseluruhan, tanpa mengabaikan keragaman kebutuhan dasar dan keinginan individual maupun kelompok-kelompok sosial yang ada didalamnya untuk bergerak maju menuju suatu kondisi kehidupan yang serba “lebih baik”, secara material maupun spiritual.
Di tengah beragamnya perspektif dan dinamisnya (pergeseran) paradigma pembangunan, tulisan ini mendasarkan bahasannya dalam perspektif (terminologi) ilmu-ilmu perencanaan wilayah. Pengamatan umum mengenai dinamika (perkembangan) perekonomian daerah Maluku Utara dan sejauh mana implikasi pemekaran wilayah terhadap perubahan struktur ekonomi wilayah menjadi topik utamanya. Selanjutnya, struktur hubungan antar-wilayah kabupaten/kota perlu dibahas sebagai informasi perkembangan interaksi antar-wilayah dalam proses pembangunan daerah. Berdasarkan realitas tersebut, perlu dirumuskan beberapa strategi penting yang diperlukan guna meningkatkan proses pembangunan wilayah Provinsi Maluku Utara.
F Disparitas Pembangunan
Menurut Pribadi (2008), sebelum otonomi daerah, paradigma pembangunan wilayah dilaksanakan berbasis pada keunggulan komparatif (sektoral) yang diyakini sebagai pijakan awal untuk mendorong perkembangan perekonomian wilayah. Namun dalam perspektif jangka panjang, paradigma kemajuan ekonomi wilayah berbasis keunggulan komparatif yang demikian harus ditransformasikan menjadi keunggulan kompetitif wilayah. Sejarah membuktikan bahwa kemajuan informasi dan teknologi yang mendorong integrasi ekonomi, perkembangan perekonomian semakin diwarnai oleh kompetisi yang semakin meningkat, sehingga kebutuhan akan keunggulan kompetitif menjadi prasyarat untuk mencapai kemajuan. Untuk menciptakan kemajuan kompetitif, maka harus terjadi interkoneksi diantara keunggulan-keungulan komparatif yang dimiliki oleh masing-masing wilayah.
Disparitas regional merupakan fenomena universal. Di semua negara tanpa memandang ukuran dan tingkat pembangunannya, disparitas pembangunan merupakan masalah pembangunan antar-wilayah yang tidak merata. Pada banyak negara, pembagian ekonomi yang tidak merata telah melahirkan masalah-masalah sosial politik. Hampir di semua negara, baik pada sistem perekonomian pasar maupun ekonomi terencana secara terpusat, kebijakan- kebijakan pembangunan diarahkan untuk mengurangi disparitas antar-wilayah.
Pendekatan pembangunan yang sangat menekankan pada dimensi pertumbuhan ekonomi makro, relatif mengabaikan terjadinya kesenjangan- kesenjangan pembangunan antar-wilayah yang besar. Hal ini pada akhirnya menimbulkan permasalahan yang dalam konteks makro sangat merugikan proses yang ingin dicapai sebagai bangsa. Ketidakseimbangan pembangunan antar-wilayah di satu sisi terjadi dalam bentuk buruknya distribusi dan alokasi pemanfaatan sumberdaya yang menciptakan inefisiensi dan tidak optimalnya sistem ekonomi. Di sisi lain, potensi konflik laten dan membesar menjadi potensi disintegrasi kontrak sosial yang telah terbangun. Ketidakseimbangan pembangunan menghasilkan struktur hubungan antar-wilayah yang membentuk suatu hirarki yang saling memperlemah yang dapat menghasilkan persoalan berupa: 1). pengurasan sumberdaya (backwash); 2). kemiskinan di wilayah belakang; dan, 3). over-urbanisasi yang berujung pada terbentuknya kawasan kumuh, polusi, kemacetan dan permasalahan sosial lainnya.
F Maluku Utara; Lalu dan Kini
Lima belas tahun lalu tepatnya pada 12 Oktober 1999, wilayah Maluku Utara dimekarkan sebagai provinsi baru dan hingga saat ini (Februari 2015) secara administrtatif memiliki 10 daerah kabupaten dan 2 daerah kota. Provinsi yang beribukota di Sofifi—terletak di Pulau Halmahera—memiliki luas wilayah 145.801,10 km2 dan memiliki 397 pulau dengan sebagian besar wilayahnya adalah laut (mencapai ±76,28 %), sisanya (±23,72 %) merupakan daratan dengan gugusan pulau-pulau yang—satu pulau dengan pulau lainnya—dipisahkan oleh laut. Pulau terbesar di Provinsi Maluku Utara adalah Pulau Halmahera. Pulau Ternate dan Pulau Tidore, meski berwilayah lebih kecil, tetapi merupakan dua pulau yang secara historis memiliki makna politik yang penting.
Kekayaan sumber daya alam yang dimiliki provinsi ini, berupa hasil tambang, hasil hutan, hasil laut, perkebunan. Potensi terbarukan dan tidak terbarukan diantaranya, kelapa, pala dan cengkih (subsektor perkebunan); emas, dan nikel (sektor pertambangan); serta ikan dan hasil laut lainnya (subsektor perikanan). Secara historis, wilayah ini merupakan pusat perdagangan rempah-rempah dengan tanaman pala dan cengkih sebagai komoditi perkebunan utama yang dikelola penduduk yang relatif mahal diperdagangkan di pasar Eropa pada awal masa penjajahan di Nusantara. Kedua komoditi ini (pala dan cengkih sebagai rempah-rempah) merupakan salah satu alasan awal kedatangan bangsa Eropa (Portugis, Spanyol dan Belanda) ke nusantara.
Menurut catatan, khusus untuk komoditas (primer) cengkih memiliki hubungan yang kuat dengan eksistensi Ternate dan Tidore di masa lalu. Cengkih dan Ternate-Tidore adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Kalau sekarang ini di berbagai wilayah di dunia ini menghasilkan cengkeh, maka jenis rempah tersebut dapat dipastikan berasal dari Ternate dan Tidore. Kawasan ini sebenarnya tidaklah seberapa luas jika dibandingkan dengan Pulau Jawa. Kedua pulau yang dipisahkan selat sempit selebar 1 km ini ternyata hanya memiliki ukuran panjang masing-masing sekitar 24 km. Namun jangan ditanya soal hasil cengkehnya. Kawasan Ternate dan Tidore, yang berada di Provinsi Maluku Utara itu memang memiliki pamor penghasil cengkah yang legendaris. Betapa tidak, jauh sebelum Indonesia merdeka, Ternate-Tidore menjadi impian besar bagi para petualang kelas dunia. Sebut saja Christopher Columbus, penemu Benua Amerika. Tokoh pengeliling dunia yang berasal dari Eropa itu sampai harus berlayar ke Ternate dan Tidore hanya ingin berburu cengkeh. Ya Ternate dan Tidore ketika itu menjadi satu-satunya kawasan penghasil cengkeh bertaraf internasional. Soal mutu, jangan ditanya (Anonim, 2010).
Sumberdaya domestik yang beraneka ragam tersebut, sebagian besar terdapat di Pulau Halmahera yang saat ini telah terbagi kedalam 10 daerah kabupaten/kota. Pengelolaan dan pemanfaatannya dapat memberikan kontribusi signifikan bagi struktur perekonomian antar-wilayah baik secara domestik di masing-masing kabupaten/kota, regional di tingkat provinsi Maluku Utara maupun nasional. Peranan beberapa daerah seperti Ternate, Tidore dan Halmahera Bagian Utara dalam membentuk pemusatan pembangunan dan perdagangan (agglomeration) sudah saatnya dipikirkan oleh pemerintah daerah dalam upaya menyebarkan (dispertion) hasil-hasil pembangunan secara merata.
F Maluku Utara setelah Dimekarkan
Sebagai wilayah dengan karakteristik kepulauan, Provinsi Maluku Utara membutuhkan cara tersendiri dalam mendesain arah pengembangan wilayahnya. Keunikan dan kekayaan sumberdaya alam yang besar dengan fisik wilayah yang luas dan dipisahkan oleh pulau-pulau besar dan kecil, menyebabkan pentingnya pemekaran wilayah guna mengoptimalkan pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya yang dimilikinya melalui kegiatan pembangunan daerah. Kebutuhan ini searah dengan pergeseran paradigma pembangunan nasional, mengingat orientasi pembangunan wilayah sebelum dan sesudah diberlakukannya otonomi daerah (OTDA) di Indonesia memiliki perbedaan. Otonomi daerah diberlakukan dengan sejumlah tujuan, diantaranya meningkatkan kinerja ekonomi daerah, penyebaran (dispertion) kegiatan pembangunan, mengintensifkan kegiatan pelayanan pemerintahan, peningkatan kapasitas sumber daya manusia masyarakat lokal, dan mencegah terjadinya kebocoran wilayah.
Sebelum dimekarkan, wilayah Provinsi Maluku Utara terdiri dari dua kabupaten dan satu kota. Daerah-daerah tersebut, diantaranya Kabupaten Maluku Utara, Kabupaten Halmahera Tengah, dan Kota Ternate—dengan Pulau Halmahera (dengan wilayah yang besar dan kaya akan sumberdaya alam) merupakan wilayah kecamatannya. Kinerja ekonomi Kabupaten Maluku Utara (PDRB atas dasar harga konstan) pada tahun 2000 hanya sebesar Rp. 458,7 milyar, sedangkan Kota Ternate pada tahun yang sama PDRB-nya sebesar Rp. 199,6 milyar (BPS, Kota Ternate Dalam Angka, 2001).
Seiring berjalannya waktu, setelah dimekarkan kinerja ekonomi Provinsi Maluku Utara mengalami kecenderungan yang meningkat. Pada tahun ketiga pembentukan Provinsi, PDRB Provinsi Maluku Utara mencapai Rp 1.986 miliar dengan nilai PDRB per kapita Rp 2.501 juta pada tahun 2002. Terdapat kenaikan nilai PDRB sebesar Rp. 1.327 milyar dibandingkan tahun 2000. Selain itu, indikator membaiknya perekonomian daerah didukung oleh produksi masyarakat yang mengalami peningkatan, utamanya pada komoditi-komoditi strategis di bidang pertambangan, perikanan dan kelautan, pertanian, dan pariwisata. Membaiknya makro ekonomi daerah memberikan implikasi yang signifikan bagi peningkatan pendapatan per kapita masyarakat yang mengalami peningkatan dari Rp. 2,75 juta pada tahun 2005 menjadi Rp. 2,89 juta pada tahun 2006 (Bappeda Malut, 2008).
Perekonomian wilayah Provinsi Maluku Utara memiliki struktur dan corak ekonomi yang terbuka (open economy). Terdapat pengaruh timbal-balik antara faktor-faktor eksternal dalam lalu lintas ekonomi nasional (bahkan internasional) dan kekuatan ataupun kelemahan yang terkandung di dalam wilayahnya sendiri. Secara internal, Provinsi Maluku Utara menghasilkan bahan mentah ataupun setengah terolah yang termasuk kategori primer. Dalam hubungan ini, suatu peningkatan ataupun kemunduran dalam perdagangan secara nasional maupun internasional mempengaruhi pendapatan daerah Provinsi Maluku Utara. Dampaknya, akan terasa sekali bagi pendapatan sebagian penduduk yang bermata pencaharian di sektor/subsektor pertanian ekspor.
Oleh karena itu, kebutuhan akan transformasi struktur perekonomian Provinsi Maluku Utara menjadi penting; dari pola perekonomian pertanian subsisten tradisional ke perekonomian yang lebih modern, lebih berorientasi kepada sektor industri pengolahan yang lebih bervariasi dan sektor jasa-jasa yang tangguh untuk mengolah hasil-hasil sektor pertanian yang sebagian besar hanya berupa bahan mentah (raw material). Dengan begitu, komoditas pertambangan, perikanan dan perkebunan yang dimilikinyadapat terdiversifikasi menjadi beragam komoditas. Selain itu, pilihan-pilihan lapangan pekerjaan (job preference) menjadi terbuka bagi penduduk setempat maupun menarik tenaga kerja pendatang untuk bekerja di Provinsi Maluku Utara.
Sebagaimana disebutkan di atas, dalam pelaksanaan pembangunannya, Provinsi Maluku Utara juga memiliki sejumlah kendala khas yang biasanya dihadapai oleh wilayah kepulauan. Secara geografis, Provinsi Maluku Utara memiliki fisik wilayah yang luas dengan sebaran kandungan sumber daya alam antar-wilayah yang beragam dan belum tergarap secara optimal. Penduduk dan ketidaktersediaan infrastruktur yang menyebar tidak merata menyebabkan akses antarwilayah menjadi terbatas. Pada gilirannya, terdapat perbedaan pembangunan antarwilayah; beberapa wilayah memiliki perkembangan yang pesat dibandingkan wilayah lainnya. Sebagai bekas ibukota sementara Provinsi Maluku Utara, Kota Ternate memiliki struktur perekonomian yang dominan disumbang oleh sektor hotel, perdagangan dan jasa. Masyarakatnya rnenikmati pendapatan perkapita yang lebih tinggi, angka kemiskinan dan penggangguran yang lebih rendah, kualitas sumber daya manusia yang baik rnenyebabkan indeks pembangunan manusia yang lebih tinggi serta akses terhadap infrastruktur yang lebih mudah dijangkau.
Begitu juga dengan Kabupaten Halmahera Utara dengan Tobelo sebagai ibukota kabupaten dan sebagai kota perdagangan, memiliki perkembangan yang menggembirakan, bahkan sejak kota ini masih berstatus kecamatan sebelum pemekaran Provinsi Maluku Utara. Kota Tobelo sejak lama (sejak masih menjadi salah satu Ibukota Kecamatan di Kabupaten Maluku Utara) dikenal sebagai Kota Dollar. Penyebutan tersebut karena Tobelo sangat kaya dengan potensi yang dikandungnya. Daerah ini diprediksikan menjadi “pintu masuk” ke Halmahera Utara saat era Pasifik nanti.
Sebagaimana Kota Ternate dan Kabupaten Halmahera Utara, perkembangan yang menggembirakan juga terjadi di Kabupaten Halmahera Barat dan Kabupaten Selatan. Kabupaten Halmahera Barat, perkembangannya lebih disebabkan karena wilayah ini merupakan Kabupaten Induk (Kabupaten Maluku Utara) yang dipindahkan ke Pulau Halmahera sebelah barat. Perkembangan di empat kabupaten/kota tersebut, menyebabkan daerah-daerah ini memiliki kepadatan penduduk yang relatif tinggi dibandingkan kabupaten/kota lainnya di Provinsi Maluku Utara.
Kota Ternate dengan luas wilayah yang kecil, yakni 5.795,40 km2 atau sebesar 3,97 persen dari total luas wilayah Provinsi Maluku Utara, memiliki kepadatan penduduk sebanyak 663,77 jiwa/km2. Selanjutnya Kabupaten Halmahera Barat dengan luas wilayah 14.235,66 km2 atau sebesar 9,76 persen dari total luas wilayah Provinsi Maluku Utara, memiliki kepadatan penduduk sebanyak 37,03 jiwa/km2. Selanjutnya diikuti dua kabupaten lainnya dengan luas wilayah relatif besar yakni, Kabupaten Halmahera Utara dan Kabupaten Halmahera Selatan. Kabupaten Halmahera Utara dengan luas wilayah 24.983,32 km2 atau sebesar 17,14 persen dari total luas wilayah Provinsi Maluku Utara, memiliki kepadatan penduduk sebanyak 34,40 jiwa/km2, sedangkan Kabupaten Halmahera Selatan dengan luas wilayah terluas 40.283,72 km2, atau sebesar 27,63 persen dari total luas wilayah Provinsi Maluku Utara memiliki kepadatan penduduk sebanyak 21,06 jiwa/km2.
Kabupaten/kota lainnya, seperti Kabupaten Halmahera Tengah, Kabupaten Kepulauan Sula, Kabupaten Halmahera Timur, dan Kota Tidore Kepulauan memiliki kepadatan penduduk yang rendah dibandingkan empat wilayah yang disebutkan sebelumnya. Kabupaten Halmahera Tengah dengan luas wilayah 8.381,48 km2, atau sebesar 5,75 persen dari total luas wilayah Provinsi Maluku Utara memiliki kepadatan penduduk sebanyak 14,67 jiwa/km2. Selanjutnya, Kabupaten Kepulauan Sula dengan luas wilayah 24.082,30 km2, atau sebesar 16,52 persen dari total luas wilayah Provinsi Maluku Utara memiliki kepadatan penduduk sebanyak 13,40 jiwa/km2. Sedangkan dua wilayah terakhir adalah Kabupaten Halmahera Timur dan Kota Tidore Kepulauan, masing-masing memiliki luas wilayah 13.857,20 km2 (9,74 persen dari luas total Provinsi Maluku Utara) dan 14.202,02 km2 (9,74 persen dari luas total Provinsi Maluku Utara), memiliki kepadatan penduduk yang relatif rendah, yakni di Kabupaten Halmahera Utara sebanyak 9,98 jiwa/km2 dan Kota Tidore Kepulauan sebanyak 8,51 jiwa/km2.
Kondisi tersebut mengindikasikan arus migrasi penduduk dari daerah yang tingkat perekonomiannya lebih rendah menuju ke daerah yang tingkat perekonomiannya lebih tinggi. Kenyataan tersebut dapatlah dimaklumi, mengingat wilayah-wilayah tersebut secara historis merupakan wilayah empat kesultanan di masa lalu (Kesultanan Ternate, Kesultanan Tidore, Kesultanan Bacan dan Kesultanan Jailolo) dan bekas ibukota keresidenan Portugis maupun Belanda. Dengan demikian, kondisi infrasruktur sosial ekonomi dan sumberdaya manusianya relatif baik, sehingga hambatan-hambatan utama dalam kegiatan pembangunan daerahnya masing-masing relatif kurang dibandingkan kabupaten/kota lainnya.
Keadaan ini berbanding terbalik dengan wilayah-wilayah kabupaten/kota lainnya yang mekar setelah dibentuknya Provinsi Maluku Utara dan daerah induk tertentu yang (cenderung) menjadi daerah belakang (hinterland) dari Kota Ternate dan Kota Tobelo. Kabupaten Halmahera Timur dan Halmahera Tengah misalnya, sebagai kabupaten baru dengan kekayaan sumber daya alam yang berlimpah di sektor pertambangan, perkembangannya belum menggembirakan akibat sarana dan prasarana (terutama infrastruktur jalan) yang belum memadai. Begitu juga dengan Kabupaten Halmahera Barat dan Kota Tidore Kepulauan yang merupakan Daerah Induk yang dulunya merupakan ibukota Kabupaten Maluku Utara dan Kabupaten Halmahera Tengah mengalami perkembangan yang lambat.
Apabila diamati dari struktur PDRB masing-masing kabupaten/kota selama periode tahun 2005-2007, terlihat perbedaan yang cukup signifikan nilai PDRB diantara masing-masing kabupaten/kota di Provinsi Maluku Utara. Hal ini setidaknya menggambarkan tingkat pencapaian pembangunan ekonomi masing-masing daerah tersebut. Kabupaten dan kota tertentu (Kabupaten Halmahera Selatan, Kota Ternate, Halmahera Utara dan Kabupaten Kepulauan Sula) memiliki nilai PDRB lebih tinggi dibandingkan wilayah kabupaten/kota lainnya (Kota Tidore Kepulauan, Kabupaten Halmahera Tengah, Kabupaten Halmahera Timur dan Kabupaten Halmahera Barat). Perbedaan tingkat PDRB ini dapat saja merupakan salah satu indikasi awal terjadinya tingkat ketimpangan pembangunan antar wilayah di Provinsi Maluku Utara.
Pada tahap awal pembangunan, perbedaan laju pertumbuhan ekonomi regional yang cukup besar antardaerah dapat saja terjadi. Namun dalam jangka panjang, ketika faktor-faktor produksi di masing-masing daerah semakin dioptimalkan dalam pembangunan maka, diharapkan perbedaan laju pertumbuhan output antardaerah akan cenderung menurun. Dalam kerangka pemikiran dan pola pendekatan pembangunan yang lazim dianggap sebagai alur utama (main stream), masalah pembangunan ekonomi daerah dapat dilihat sebagai suatu proses peralihan (transisi) dari suatu tingkat ekonomi tertentu yang masih bercorak sederhana dan dalam keadaan terkekang menuju ke tingkat ekonomi yang lebih maju mencakup kegiatan yang beraneka ragam (diversifikasi). Dalam transisi tersebut, harus terlaksana suatu transformasi dalam arti perubahan pada perimbangan-perimbangan keadaan yang berkisar pada landasan kegiatan ekonomi dan melekat pada tata susunan ekonomi dalam kehidupan masyarakat. Dengan kata lain, pembangunan ekonomi sebagai transisi yang ditandai oleh suatu transformasi mengandung perubahan yang mendasar pada struktur ekonomi daerah (Djojohadikusumo, 1994).
Jika dilihat perkembangannya, tingkat pembangunan yang dicapai Provinsi Maluku Utara hingga saat ini dapat dikatakan relatif lambat. Beberapa persoalan yang dihadapi, diantaranya, Pertama. Proporsi sektor industri pengolahan dalam pembentukan struktur ekonomi Provinsi Maluku Utara masih sangatlah kecil dengan laju perkembangan yang fluktuatif dan memiliki rata-rata laju pertumbuhan paling rendah selama 10 tahun setelah dimekarkan. Produk yang dihasilkan dalam sektor ini masih berbentuk bahan mentah/komoditi primer (raw materrial). Sebaliknya sektor pertanian merupakan sektor yang memiliki peranan yang besar dalam pembentukan struktur ekonomi di wilayah ini.
Struktur pertumbuhan ekonomi wilayah kabupaten/kota dominan bersumber dari sektor tersier yaitu sektor konstruksi, sektor perdagangan, hotel dan restoran, sektor pengangkutan dan komunikasi, serta sektor keuangan, real estat dan jasa perusahaan. Secara rata-rata, perkembangan nilai tambah sektoral yang dihasilkan daerah kabupaten/kota masih rendah. Tingginya perkembangan output sektoral masih terjadi pada sektor-sektor yang berkaitan dengan kegiatan penyiapan penyelenggaraan pemerintahan daerah sebagai Daerah Otonom Baru (DOB). Dengan kata lain, sepuluh tahun setelah dimekarkan, pertumbuhan ekonomi di Provinsi Maluku Utara masih relatif stagnan, bersumber dari pengeluaran pemerintah daerah maupun konsumsi masyarakat.
Jika ditelisik lebih jauh pola dan struktur pertumbuhan ekonomi dan tingkat pendapatan perkapita antarwilayah kabupaten/kota diketahui tingkat pertumbuhan ekonomi dan pendapatan perkapita pada daerah kabupaten/kota tertentu di wilayah ini, masih dominan bersumber dari output di sektor pertambangan dan penggalian. Kabupaten Halmahera Tengah dan Kabupaten Halmahera Timur, merupakan dua daerah dengan output pertambangan yang besar namun memiliki jumlah penduduk yang kecil. Selain itu, terdapat empat daerah yang relatif tertinggal dengan tingkat pendapatan dan pertumbuhan ekonomi rendah dibanding capaian pertumbuhan rata-rata tingkat provinsi, diantaranya, Kabupaten Kepulauan Sula, Kabupaten Halmahera Selatan, Kota Tidore Kepulauan, dan Kabupaten Halmahera Barat. Daerah-daerah ini adalah daerah pemekaran yang cenderung tersubordinasi (hinterland) akibat kedekatannya secara geografis dengan kabupaten/kota yang—secara historis memiliki pemusatan pembangunan dan penyelenggaraan pemerintahan yang relatif tinggi, seperti Kota Ternate dan Kabupaten Halmahera Utara.
Fakta mengenai proporsi sektor industri pertambangan yang relatif kecil dalam pembentukan output regional cukup menggambarkan terjadinya perubahan struktur ekonomi wilayah di daerah ini. Namun demikian, masih tingginya sumbangan sektor pertanian mengindikasikan bahwa perubahan struktur ekonomi tersebut belum diikuti oleh perubahan struktur ketenagakerjaan. Artinya, sektor pertanian masih merupakan sektor utama yang menampung tenaga kerja yang relatif banyak.
Kedua. Kesenjangan (pembangunan) antar-wilayah kabupaten/kota di Provinsi Maluku Utara sejak dimekarkan hingga tahun 2010 (kurun waktu tahun 2003-2010) mengalami penurunan signifikan. Rendahnya tingkat kesenjangan tersebut lebih dikarenakan oleh rendahnya perbandingan jumlah penduduk dengan nilai PDRB nominal antardaerah kabupaten/kota di Provinsi Maluku Utara. Tingginya jumlah dan kepadatan penduduk di daerah kabupaten/kota induk dan rendahnya jumlah dan kepadatan penduduk pada kabupaten/kota hasil pemekaran menjadi penyebabnya. Hal ini berimplikasi pada perbandingan distribusi pendapatan antardaerah kabupaten/kota di Provinsi Maluku Utara relatif rendah. Tingkat perkembangan kecamatan-kecamatan di Provinsi Maluku Utara pada umumnya relatif berkembang. Hampir seluruh kecamatan di Provinsi Maluku Utara telah memiliki infrastruktur sosial ekonomi yang memadai, dengan aksesibilitas sosial ekonomi maing-masing kecamatan tersebut terhadap pusat penyelenggaraan pemerintahan dan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi masih relatif baik.
Dalam pendekatan pengembangan wilayah, strategi utama yang mendesak dilakukan, diantaranya, Pertama. Pembukaan akses jalan darat dan peningkatan jumlah serta kualitas transportasi antarwilayah merupakan prasyarat utama percepatan pembangunan dan tingkat keterhubungan antardaerah; Kedua. Komitmen aparatur Pemda yang kuat untuk melaksanakan kerja-kerja pemerintahan di wilayah ibukota provinsi (Sofifi) dan wilayah pedesaan, serta peningkatan koordinasi program perencanaan pembangunan antar kabupaten/kota; Ketiga. Penegasan komitmen beberapa perusahaan pertambangan untuk mengurangi dampak kerusakan lingkungan akibat proses produksi; Keempat. peningkatan produktivitas industri pengolahan komoditi pertambangan emas/nikel agar komoditi yang dihasilkan memiliki nilai tambah yang tinggi; Kelima. penguatan koordinasi antar-wilayah kabupaten/kota dalam pengembangan potensi keunggulan masing-masing wilayah (comparative advantage).
[1] Tulisan ini disampaikan pada Workshop Blogging untuk Peneliti JIKTI—Mendekatkan Peneliti Muda KTI pada Penyusunan Tulisan/Artikel Ilmiah untuk Media Populer—JIKTI Regional Maluku yang dilaksanakan di Hotel Swissbell, Ambon. Kamis-Sabtu, 5 s/d 7 Maret 2015.
[2] Peserta Workshop dari Kota Ternate- Provinsi Maluku Utara.
- Said Mala's blog
- Log in to post comments
- 2270 reads