Kesetaraan gender dan kapasitas perempuan
Ada hal menarik, saat saya memberikan arahan dan membuka secara resmi Focus Group Discussion penyusunan Profil Perempuan Gorontalo beberapa waktu lalu di Gorontalo. Peserta dengan latar belakang yang berbeda masing-masing memberikan argumentasi soal bagaimana idealnya sebuah "profil"disusun. Ada yang mempersoalkan bahwa seyogyanya profil menampilkan tokoh perempuan sejak jaman Gorontalo hadir hingga kini menjadi sebuah provinsi baru. Sebagian lainnya menginginkan supaya yang diungkapkan adalah ketokohannya yang bisa diekstrak sebagai bahan pembelajaran bagi kaum ibu masa kini. Sisanya terus mengobarkan semangat anti ketidakadilan dalam persepktif feminisme. Substansi diskusi, sayangnya, kurang mengangkat sisi lain isu gender tentang ke"diri"annya perempuan itu sendiri.
Isu gender pada dasarnya lahir dari kenyataan perasaan tidak adil yang dialami kaum hawa ketimbang yang menimpa pria. Kenyataan ini semakin lama semakin menguat disuarakan terutama oleh kaum perempuan. Ketidakadilan yang dirasakan umumnya berkisar kepada permasalaha klasik seperti akses terhadap sumberdaya yang tidak proporsional, partisipasi yang tidak merata, hingga kepada keyakinan bahwa mereka juga mampu berbuat sama seperti halnya pria.
Kita memang tidak bisa memungkiri keadaan ini lahir akibat nilai-nilai tertentu yang dipahami dalam masyarakat baik yang ada dalam ranah sosial budaya maupun frame agama. Di beberapa daerah, misalnya, perempuan mengalami "peminggiran" karena kebiasaan dan kepercayaan adat setempat yang mengabaikan hak dan peran kaum wanita. Wanita lebih banyak ditempatkan sebagai pelengkap kehidupan pria, melayani sebagai ibu rumah tangga, dan lain-lain. Anak-anak perempuan kadang dilarang bermain permainan anak laki-laki karena dianggap tabu atau berbahaya. Agama juga kadang seperti memberikan batasan peran kaum hawa dalam kehidupan sehari-hari. Anjuran supaya imam janganlah seorang perempuan kadang berimbas kepada kehidupan sosial. Walaupun pemahaman ini semakin berkurang, namun kenyataannya masih banyak kaum adam yang "alergi" dipimpin kaum hawa.
Cukupkah memandang isu gender pada kisi-kisi pemahaman seperti itu?
Ternyata tidak. Sebagian pria yang lebih liberal dan modern memandang isu gender tidak lagi pada peluang dan ruang bagi upaya menunjukan peran-peran perempuan. Mereka meyakini kondisi saat ini berbeda dengan masa sebelumnya. Pengetahuan, sistim, lingkungan dan regulasi telah memberikan ruang seluas-luasnya kepada perempuan untuk ikut berperan dalam berbagai hal. Disini kadang terjadi gejala paradoksal antar kesempatan yang semakin terbuka dengan kapasitas perempuan yang tidak kunjung meningkat. Dalam unit kecil rumah tangga saja, misalnya, semakin banyak suami yang memberi kesempatan isterinya untuk ikut bekerja mencari nafkah, termasuk dalam menentukan arah kehidupan "berumahtangga". Ibu kadang malah mendapat kepercayaan menentukan sekolah sang anak, mengarahkan mereka, dll. Di beberapa cerita, isteri kadang lebih mendominasi peran suami dalam kehidupan rumah tangga. Dalam skala yang lebih luas, telah banyak ditemukan pemimpin wanita, lurah, camat, bupati/walikota bahkan presiden. Artinya tidak ada lagi pembenaran bahwa kesempatan itu lebih didominasi pria.
Kenyataannya tidak berperannya perempuan semakin terlihat akibat kurangnya kapasitas mereka dalam memerankan peran-peran tersebut. Ini terlihat dari minimnya pengetahuan dan skill yang mereka miliki. Perempuan juga kadang lebih mendepankan intuisi keibuannya serta emosi ketimbang rasionalitas. Kenyataan ini terkadang tidak selalu diakibatkan oleh keterbatasan pendidikan karena perempuan yang memiliki pendidkan tinggipun kadang tidak bisa menahan intuisi keibuannya dalam memainkan peran mereka.Akibatnya banyak peran dan tugas yang tidak bisa dikerjakan dengan optimal sehingga menciptakan stigma bahwa perempuan itu tidak mampu tampil kedepan atau melaksanakan peran dan tugas yang sama dengan pria. Kondisi inilah yang sebetulnya menciptakan gap saat memandang isu gender. Perempuan tergiring memandang sempit kesenjangan ini dengan mengartikan tidak adanya kesempatan buat mereka. "Penyuaraan" yang sempit inilah yang melebarkan dan mengotakkan isu gender hanya pada ketidakadilan (gender equity). Alih-alih berupaya meningkatkan kapasitasnya, mereka lebih menyuarakan soal ketimpangan dan ketidakadilan. Akibatnya diskurus isu gender saat ini lebih terkotak pada masalah ketidakadilan ketimbang pada bagaimana meningkatkan kapasitas perempuan supaya dapat memainkan peran yang sama dengan kaum pria.
Kinilah saatnya kita memulai diskursus soal gender dengan memberikan penekanan pada kesiapan kapasitas kaum hawa ketimbangan berpolemik soal kesempatan. Saya meyakini dunia akan selalu memberikan peluang yang sama kepada siapapun dia, perempuan atau pria dalam semua aspek dan sendi kehidupan.
- Aryanto Husain's blog
- Log in to post comments
- 231 reads