Oleh : Chairullah Amin
(Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Khairun, Ternate)
Situasi ekonomi Indonesia saat ini di hadapkan pada tantangan yang cukup berat. Ancaman inflasi yang tinggi serta tidak stabilnya nilai tukar rupiah terhadap dolar bisa menjadi pemicu bom waktu ekonomi yang lebih dahsyat. Inflasi yang tidak terkendali akan dapat mengurangi daya beli masyarakat sehingga berdampak pada penurunan tingkat konsumsi, jika konsumsi menurun maka dipastikan akan berdampak pada berkurangnya jumlah pendapatan dan keuntungan perusahaan sehingga akan dikhawatirkan terjadi pemutusan hubungan kerja, kegiatan produksi berhenti selanjutnya jumlah pengangguran dapat bertambah dan tingkat kemiskinan akan meningkat.
Hal tersebut dapat terlihat dari indikator ekonomi Indonesia saat ini. Target pertumbuhan ekonomi tahun 2013 yang awalnya sebesar 6,3 persen harus di revisi kembali oleh pemerintah. Bank Dunia menmperoyeksikan pertumbuhan ekonomi 2013 hanya mencapai 5,9 persen dari sebelumnya 6,2 persen. IMF juga menurunkan target pertumbuhan ekonomi sebesar 5,25 persen dari sebelumnya 6,3 persen. Bank Indonesia pun menurunkan target pertumbuhan ekonomi tahun 2013 sebesar 5,8 persen dari sebelumnya 6,3 persen.
Menurunya angka pertumbuhan ekonomi ini merupakan akibat dari melemahnya aktivitas ekonomi baik secara makro maupun mikro. Pada tingkat makro, gejala kenaikan harga barang imbas dari kenaikan BBM masih sangat terasa. Apalagi ditambah nilai tukar rupiah yang masih “keok” dipastikan ikut mendongkrak kenaikan inflasi khususnya harga barang-barang yang berbasis impor seperti kebutuhan migas, komoditas pangan, dan barang-barang elektronik. Bank Dunia memproyeksikan inflasi tahun 2013 akan mencapai angka di atas 9 persen, IMF menghitung inflasi tahunan tahun 2013 mencapai 9,5 persen sedangkan Bank Indonesia memperkirakan inflasi tahun 2013 bisa menembus angka 7,69 sampai 8 persen.
Jika dilihat dari asumsi makro lainnya yaitu neraca perdagangan, maka defisit transaksi perdagangan dari bulan Januari sampai bulan Juli 2013 sudah mencapai US$5,65 miliar atau sebesar 4,4 persen dari PDB. Badan Pusat Statistik mencatat ekspor Indonesia periode Januari-Juli 2013 sebesar US$ 106,18 miliar atau turun 6,07 persen dibanding periode yang sama tahun lalu. Dari sisi impor, nilai impor pada periode Januari hingga Juli 2013 mencapai US$ 111,83 miliar. Dari jumlah itu, impor non migas lah yang terbesar yaitu sebesar US$ 85,58 miliar atau sebesar 76 persen. Besarya angka impor ini menunjukkan bahwa hampir sebagian besar kebutuhan konsumsi kita berasal dari luar. Sangat sedih rasanya jika bangsa ini harus hidup dengan tingkat ketergantungan yang tinggi dari bangsa lain.
Bagaimana dengan Daya Saing Ekonomi Indonesia ?
Baru-baru ini World Economic Forum (WEF) melansir Indeks Daya Saing Global (Global Competitiveness Index) Indonesia tahun 2013 menempati peringkat 38 dari 148 negara yang di survey atau naik dari sebelumnya pada posisi peringkat 50 tahun 2012. Walaupun indeks daya saing mengalami kenaikan yang cukup significant, namun hal tersebut belum mengindikasikan apakah produk dan komoditas ekonomi nasional kita membaik. Ternyata kita masih jauh tertinggal dengan negara tetangga seperti Malaysia yang menempati urutan ke 24, Brunei yang menempati posisi 26, atau Singapura yang berada jauh diatas yaitu pada posisi peringkat 2 dunia.
Untuk produk dan jenis komoditas, Indonesia sampai saat ini masih mengandalkan ekspor komoditas atau produk dalam bentuk bahan mentah atau bahan baku produksi untuk diolah menjadi barang jadi oleh negara lain. Indonesia belum mampu mengolah sumberdaya alam yang dimilikinya menjadi bahan jadi. Akibatnya semua kebutuhan konsumsi barang jadi terutama yang berbasis high tech harus didatangkan dari luar. Besarnya ketergantungan ekonomi Indonesia dari sisi impor menunjukkan bahwa kemampuan produksi dalam negeri sangat rendah. Dengan kata lain daya saing produk dan jenis komoditas dalam negeri masih cukup tertinggal dari produk asing.
Menurut hasil survey IMD (International Management Development), daya saing Indonesia di pengaruhi oleh beberapa hal. Pertama, tingkat kepercayaan investor yang rendah. Formulasinya berasal dari resiko politik, terjadi deskriminasi masyarakat, sistem penegakan hukum yang lemah, penanganan ketenagakerjaan, subsidi yang tinggi dan tingkat korupsi birokrasi yang tinggi. Kedua, kemampuan daya saing bisnis masih rendah. Hal tersebut meliputi kualitas SDM yang masih rendah, hubungan perburuhan yang sarat dengan konflik dan permusuhan, praktik bisnis yang kotor, serta lemahnya corporate governance. Ketiga, Daya saing yang rendah meliputi nilai-nilai lokal di masyarakat kurang mendukung daya saing dan globalisasi, kualitas kewirausahaan dan jiwa entrepreneurship yang masih rendah, serta produktifitas kerja yang rendah. Keempat, Infrastruktur yang masih lemah. Sarana prasarana pendidikan dan kesehatan yang masih minim, perlindungan hak paten dan cipta lemah, penegakkan hukum untuk kelestarian lingkungan hidup lemah, biaya telekomunikasi international yang mahal, kurangnya alih teknologi dan kurangnya ahli teknologi informasi.
Inovasi, Daya Saing Produk dan Pertumbuhan Ekonomi
Selain dari faktor-faktor tersebut, masalah yang paling mendasar dari rendahnya daya saing produk dan komoditas ekonomi Indonesia terletak pada rendahnya proses inovasi produk dan hasil komoditas unggulan yang export oriented. Saat ini, Inovasi merupakan kunci sukses untuk menghadapi globalisasi ekonomi yang semakin terbuka.
Sebagai upaya untuk mampu beradaptasi dalam dinamika persaingan global, suatu negara dituntut untuk mampu meningkatkan daya saing ekonominya dengan berbagai inovasi dalam kegiatan pembangunan. Inovasi harus menjadi mesin utama pembangunan dan pertumbuhan ekonomi suatu daerah atau negara. Sehingga dapat dikatakan kemampuan daya saing dan inovasi yang berbasis pada science dan teknologi merupakan kunci sukses untuk memasuki dinamika perekonomian global yang high competitiveness. Oleh karena itu, kebijakan ekonomi sudah harus bergeser dari ekonomi yang berbasis pada industri menuju ekonomi yang berbasis pada pengetahuan. Ekonomi yang berbasis pada pengetahuan sangat di tentukan oleh sistem inovasi yang efektif, manusia yang terdidik, kreatif, dan terampil; infrastruktur komunikasi yang dinamis, serta pemerintahan dalam bentuk insentif pendanaan dan kelembagaan sosial yang mendukung.
Dalam konteks Indonesia, inovasi telah menjadi sebuah keharusan daerah untuk mengejar ketertinggalan dalam berbagai aspek terutama di bidang ekonomi. Inovasi dibutuhkan untuk mengetahui sejauhmana kemampuan suatu daerah dalam mengelola potensi sumberdaya yang dimiliki mampu menghasilkan produk atau output dengan kualitas yang bernilai tinggi sehingga hasil yang diperoleh dapat menunjang peningkatan pendapatan daerah dan pertumbuhan ekonominya. Sistem inovasi dengan disertai dengan framework innovation untuk pembangunan yang inklusif dapat di definisikan sebagai hubungan antara pengembangan ekonomi daerah atau negara dengan pola intervensi inovasi pada science dan tekhnologi.
Regional Innovation Policy
Untuk itu, kebijakan pengembangan proses inovasi harus didukung oleh semua stakeholder pembangunan, terutama pemerintah dalam bentuk R&D funding yang lebih besar. Pusat-pusat research berupa science park atau technopole harus didirikan di wilayah-wilayah pedesaan yang kaya dengan hasil sumber daya alam. Pengelolaan produk-produk lokal dan komoditas unggulan daerah sudah harus menggunakan pendekatan inovasi yang high-tech sehingga output produk yang dihasilkan dapat lebih competitive di pasar dunia.
Jika bangsa ini mampu memproduksi produk sendiri yang high competitive dan high-tech dalam semua sektor ekonominya, maka dipastikan ekonomi Indonesia tidak lagi bergantung pada barang produk impor, kita sudah mampu memenuhi kebutuhan dalam negeri dengan produk lokal sendiri dengan kualitas dan harga yang sama dari produk luar. Stabilitas dan ketahanan ekonomi nasional dalam jangka panjang akan lebih kokoh dan kuat.
- Chairul Amin's blog
- Log in to post comments
- 640 reads