Oleh Wahyu Chandra
Pagi itu, di halaman gedung berlantai empat, puluhan anak bersemangat memperagakan gerakan silat. Seorang guru memandu mereka. Setiap gerakan diikuti para murid.
Begitulah salah satu aktivitas rutin di Rumah Sekolah Cendekia, terletak di Kelurahan Bontotangnga, Kecamatan Somba Opu, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan. Ia sekolah alternatif, murid-murid tak wajib berseragam.
Murid leluasa berinteraksi dengan guru dan bisa menanyakan apapun secara terbuka. “Di sekolah ini silat pelajaran wajib,” kata Ratna Juita, pembina sekaligus pendiri Cendekia kepada Mongabay, Jumat (6/2/15).
Di sekolah yang terdiri dari playgroup, TK dan SD ini, para murid mendapatkan pelajaran agar dekat dengan alam. Sebagian besar kegiatan belajar di luar ruang, bermain sambil belajar. Mereka bebas bermain tanah ataupun air. Sekolah khusus menyiapkan fasilitas itu.
“Bagi kami anak-anak tidak boleh lepas dari lingkungan sekitar, harus lebih dini diajarkan hidup harmonis dengan alam. Mereka harus mengenal becek-becek. Ada banyak permainan berkaitan dengan alam sekitar. Ada kebun tempat belajar bercocok tanam. Mereka bertani, memasak, membuat film hingga menjadi jurnalis,” katanya.
Sebagai wadah kreativitas murid, dibentuk berbagai klub antara lain Botanical Club, Movie Club, Cooking Club dan Journalist Club. Setiap murid bebas memilih bidang dan bisa pindah tahun selanjutnya.
Sekolah ini, mengajarkan murid peduli lingkungan di setiap proses pembelajaran, misal, mematikan lampu ketika tak dipakai atau memanfaatkan kembali sisa-sisa kertas tak berguna.
“Kertas bekas selama masih memiliki halaman kosong tetap digunakan. Kadang didaur ulang untuk produk-produk kerajinan tangan.”
Kebiasaan pemanfaatan kertas limbah ini, ternyata dibawa murid ke rumah. Tak jarang orangtua membawa sisa kertas dari kantor buat sekolah. “Para anak-anak ini ketika ke rumah mengajarkan orang tua pola hidup ramah lingkungan. Tak jarang mereka menegur orangtua kalau dianggap menyia-nyiakan kertas.”
Semua kertas buat administrasi sekolah pun dari kertas sisa, misal, absen murid ataupun undangan ke orangtua.“Awalnya mereka heran dan menganggap tak lazim, undangan kok pakai kertas bekas. Akhirnya paham setelah dijelaskan anak-anak mereka.”
Para muris juga dibiasakan mengkonsumsi makanan-makanan sehat organik. Setiap hari, mereka makan sayur-sayuran dan ubi jalar, sebagian dibeli dan hasil kebun sekolah.
Di sekitar sekolah ada kebun kecil berisi berbagai macam tanaman. Setiap hari murid belajar di sana.
Para murid di Cendekia diajarkan senantiasa hemat dalam penggunaan air. Air sisa wudhu ditampung di ember lalu disimpan di tempat penampungan lebih besar. Sisa air ini untuk menyiram tanaman dan membersihkan lantai. Foto: Wahyu Chandra
Para murid di Cendekia diajarkan senantiasa hemat dalam penggunaan air. Air sisa wudhu ditampung di ember lalu disimpan di tempat penampungan lebih besar. Sisa air ini untuk menyiram tanaman dan membersihkan lantai. Foto: Wahyu Chandra
“Konsep mengajarkan berkebun dengan media tanah. Kami mau coba bertani hidroponik. Di kebun biasa ditanam tomat, cabai, papaya, kacang tanah dan ubi. Sekarang lebih banyak kacang tanah. Kemarin sempat cabai tetapi karena hujan, terendam.”
Di kebun, anak-anak belajar persemaian dan memelihara tanaman. Dalam pemakaian air, murid biasa berhemat. Sisa-sisa air wudhu ditampung di ember kecil, lalu disimpan.
Mereka juga dikenalkan dengan dunia luar. Mereka mengunjungi kebun-kebun belajar bertanam dan banyak terlibat aksi-aksi sosial dan lingkungan.
“Baru-baru ini mereka terlibat gerakan bersih di Pantai Losari. Hanya, besoknya mereka mengeluh, kok pantai dibersihkan kotor lagi. Ini harus bisa kami jelaskan dengan baik.”
Mereka juga mengunjungi banyak tempat lain untuk belajar. Baru-baru ini, mereka mengunjungi rumah produksi hasil-hasil laut dekat kawasan pelelangan ikan Paotere Makassar.
Sekolah ini didirikan 2006. Awalnya, menggunakan rumah pinjaman disulap menjadi sekolah. Kali pertama murid hanya tiga orang dengan tujuh guru. Pelahan terus bertambah.
Kini mereka memiliki sekitar 150 murid dengan 40 guru dan staf. Masing-masing 30 murid untuk kelas playgroup, 18 murid untuk TK Junior, 22 murid untuk TK senior dan 81 murid SD dari kelas I-VI.
Ide pendirian sekolah, kata Ratna, terinspirasi kisah Novel Totto-Chan karangan Tetsuko Kuroyanagi. Meja belajar para murid didesain mirip novel terkenal Jepang ini.
Ketika masih menempuh pendidikan di ITB, dia memiliki kelompok diskusi yang banyak menyoroti masalah pendidikan. Mereka prihatin model pendidikan saat ini hanya menekankan capaian intelektual.
“Kami berpikir pendidikan awal sangat penting membangun karakter. Kalau fondasi tidak kuat, semua akan sia-sia.”
Mereka pun memikirkan model pendidikan tidak hanya kemampuan intelektual, juga keseimbangan dengan kemampuan emosional dan spiritual.
Awalnya sekolah ini di Bandung, bernama Leadership School Cendekia dan cukup sukses serta mendapat apresiasi besar dari masyarakat. Menyusul di Pekanbaru, bernama Bintang Cendekia. “Saya turut membantu di kedua sekolah itu sebelum membangun di Makassar.”
Agar melek teknologi, kelas IV–VI diajarkan teknologi informasi dan multimedia. Disiapkan laptop dan gadget berupa tablet untuk murid belajar internet sehat. Mereka belajar membuat film sendiri. “Baru-baru ini bikin film. Bisa dilihat di Youtube loh.”
- Log in to post comments
- 616 reads