BEKERJA DAN BERBAKTI UNTUK KEMAJUAN KTI

PERENCANAAN PARTISIPATIF PENGELOLAAN IRIGASI PADA DAERAH IRIGASI SALOBUNNE KABUPATEN SOPPENG

Irigasi merupakan sarana utama dalam menunjang produktifitas pertanian. Ketersediaan kecukupan air irigasi merupakan faktor kunci yang menentukan tingkat produktivitas hasil pertanian dan kesejahtetaan petani, yang terkadang menimbulkan konflik di tingkat petani. Untuk menyelesaikan permasalahan pengelolaan irigasi di tingkat petani maka diperlukan pengelolaan irigasi yang berkelanjutan dengan melibatkan partisipasi seluruh stakeholder yang terkait dengan pengelolaan irigasi. Perencanaan partisipasi pengeloaan Daerah Irigasi Salobunne Kabupaten Sopeng dilaksanakan dengan metode Forum Grup Discution (FGD) yang melibatkan unsur perkumpulan petani pemakai air (P3A), Unsur Pemerintah Desa, Tokoh Masyarakat, tenaga pendamping masyarakat,  serta stakeholders lainnya.  Dalam proses pelaksanaan FGD telah disepakati identifikasi permasalahan yang dihadapi, Urutan peringkingan permaslahan, dan alternatif kebijakan dalam menjawab permasalahan utama. Identifikasi permalahan dikelompokkan menjadi 6 aspek , yaitu  (1) aspek kondisi umum Daerah Irigasi, (2) Aspek Sosial Ekonomi, (3) Aspek Tehnis Irigasi, (4) Aspek Kelembagaan, (5) Aspek Usaha tani, dan (6) Aspek Potensi Sumber Daya Lokal. Peringkingan prioritas permasalahan ditentukan berdasarkan kriteria mendesak, masalah utama, kepentingan umum, ketersediaan potensi, dan menambah penghasilan dengan pemberiaan bobot dari masing-masing kriteria adalah : nilai 3 untuk kategori tinggi, nilai 2 untuk kategori sedang dan nilai 1 untuk kategori kurang. Sedangkan alternative kebijakan untuk penjawab permasalahan  tersebut dilakukan berdasarkan keseoakatan antara tim Teknis (UPT Irigasi) dan Stakeholder yang difasilitasi oleh Tim Pendamping Masyarakat.  Terdapat 5 permasalah utama yang sifatnya mendesak dan berpengaruh penting terhadap aktivitas pertanian bagi masyarakat pengguna air irigasi pada DI Salobunne, yakni  Kehilangan air pada Bendung & saluran irigasi tinggi;        Lantai saluran Sekunder Lompo masih konstruksi tanah  (BB5-BL1); Saluran sekunder  (BB8 – BB9) dan ( BK2 – BT2) masih konstruksi tanah; Sebagian besar saluran tersier masih berupa saluran tanah kondisi tanah; dan Kurangnya pengetahuan petani tentang pengolahan hasil panen. Alternatif kebijakan dalam menanggulangi permaslahan utama tersebut adalah Rehabilitasi Bendung dan saluran irigasi ; Rehabilitasi Lantai saluran Sekunder Lompo masih konstruksi tanah  (BB5-BL1); Rehabiltasi Saluran sekunder  (BB8 – BB9) dan ( BK2 – BT2); Pembuatan saluran tersier permanen; dan Pendampingan dan pelatihan petani dalam pengolahan hasil panen. Alaternatif kebijakan ini diharapkan dapat meningkatkan produktifitas hasil pertanian dan berdampaka pada peningkatan kesejahteraan masyarakat di Kabupaten Soppeng.

A.   Pendahuluan

Irigasi merupakan komponen penting dalam menunjang pembangunan pertanian di Indonesia. Ketersediaan air irigasi yang cukup merupakan salah satu faktor yang menentukan tingkat produktivitas hasil pertanian. Di Indonesia, kebutuhan penggunaan air untuk irigasi paling besar dibandingkan dengan kebutuhan konsumsi air lainnya. Kebutuhan air irigasi diperkirakan sekitar  80% dari total konsumsi air. Kebijakan Pengelolaan Irigasi telah dibagi berdasarkan kewenangan antara pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten. Berdasarkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 14/PRT/M/2015 tanggal 21 April 2015, luas potensial daerah irigasi yang menjadi kewenangan Provinsi Sulawesi Selatan secara keseluruhan adalah 105.666 Ha yang terbagi atas 38 Irigasi permukaan, 2 irigasi rawa dan 27 irigasi tambak. BPS tahun 2018 menunjukkan bahwa luas lahan sawah di provinsi Sulawesi Selatan sebesar 649.190 Ha dan 60,19 % diantaranya merupakan lahan sawah beririgasi.

Pengelolaan irigasi menjadi hal yang penting dalam mendukung produktivitas pertanian di Provinsi Sulawesi Selatan. Irigasi memerlukan investasi yang besar untuk membangun sarana dan prasarananya, operasional dan pemeliharaannya, sehingga perlu dilakukan pengelolaan yang baik dan tepat agar penggunaan air irigasi memberikan rasa keadilan bagi masyarakat pengguna air irigasi.  Salah satu lembaga yang sangat berperan ditingkat masyarakat khususnya dalam pengelolaan irigasi adalah P3A/GP3A/IP3A yang memiliki wewenang dan tanggung jawab dalam pengelolaan irigasi di petak tersier dan berpartisipasi pada jaringan sekunder dan primer. Namun kemampuan P3A/GP3A/IP3A diangap masih rendah dalam mendukung pengelolaan irigasi yang berkelanjutan.

Kabupaten Soppeng adalah salah satu daerah penghasil beras terbesar setelah Sidrap dan Pinrang di Provinsi Sulawesi Selatan. Luas lahan pertanian di Kabupaten Soppeng adalah 97.971,99 Ha dan 29,72% merupakan lahan persawahan atau sebesar 29.124,86 Ha. Lahan pertanian sawah berupa lahan sawah irigasi mencapai 24.391,72 hektar dan sawah tadah hujan seluas 4.733,14 hektar.  Salah satu Daerah Irigasi Kewenangan Provinsi yang terdapat di Kabupaten Soppeng adalah adalah daerah Irigasi Salobunne. Daerah irigasi ini telah memiliki kelembangaan ditingkat petani pengguna air, namun  keaktifannya dalam pengelolaan irigasi secara partisipatif belum optimal. Olehnya itu perlu susun strategi perencanaan yang partisipatif dalam mendorong keterlibatan P3A/GP3A/IP3A dalam pengelolaan irigasi pada petak tersier sesuai kewenangan yang dimilikinya.

B.   Permasalahan pengelolaan irigasi pada Daerah Irigasi Salobunne

Untuk menemukan permaslahan pengelolaan irigasi pada Daerah Irigasi Salobunne Kabupaten Soppeng dilaksanakan melalui focus group discussion (FGD) sebagai bentuk implementasi dari perencanan Bottom – Up. Pelaksanaan FGD dilakukan di Desa Tellulimpoe Kelurahan Attang Salo  Kecamatan Marioriawa, Kabupaten Soppeng yang pesertanya berasal dari perkumpulan petani pemakai air (P3A), Unsur Pemerintah Desa, Tokoh Masyarakat, tenaga pendamping masyarakat,  serta stakeholders lainnya.  

Pelaksanaan FGD diawali dengan mengidentifikasi permasalahan yang muncul melalui informasi yang disampaikan oleh peserta FGD. Permasalahan yang teridentifikasi  dikelompokkan menjadi 6 aspek , yaitu  (1) aspek kondisi umum Daerah Irigasi, (2) Aspek Sosial Ekonomi, (3) Aspek Tehnis Irigasi, (4) Aspek Kelembagaan, (5) Aspek Usaha tani, dan (6) Aspek Potensi Sumber Daya Lokal. Adapun rincian permasalahan Pengelolaan Daerah Irigasi (DI) Salobunne di Kabupaten Soppeng yang teridentifikasi dalam FGD disajikan pada  tabel 1.

Tabel 1.  Identifikasi Permasalahan  Pengelolaan DI Salobunne Kabupaten Soppeng

Berdasarkan hasil identifikasi permaslahan pengelolaan irigasi, selanjutnya dilakukan perangkingan untuk menentukan prioritas permasalahan berdasarkan kriteria mendesak, masalah utama, kepentingan umum, ketersediaan potensi, menambah penghasilan.  Pemberiaan bobot dari masing-masing kriteria adalah : nilai 3 untuk kategori tinggi, nilai 2 untuk kategori sedang dan nilai 1 untuk kategori kurang. Adapun urutan prioritas permasalahan yang disepakati dalam pengelolaan irigasi pada Daerah Irigasi Salobunne disajikan pada tabel 2.

Tabel 2.  Rangking prioritas masalah Pengelolaan DI Salobunne Kabupaten Soppeng

 

C Alternatif Kebijakan Pengelolaan Irigasi Daerah Irigasi Salobunne 

Berdasarkan rumusan idenfikasi masalah dan perengkingan permasalahan yang telah disepakati dalam FGD, selajutnya dikakukan perumusan alternative kebijakan untuk penjawab permasalahan   tersebut. Alternatif kebijakan pengelolaan Daerah irigasi Salobunne disajian pada tabel 3.

Tabel 3. Alternatif Kebijakan Pengelolaan Daerah Irigasi  Salobunne  Kabupaten Soppeng

A.   Kesimpulan dan Rekomendasi

D.1. Kesimpulan

Perencanaan partisipatif pengelolaan Daerah Irigasi Salobunne telah dilaksanakan dengan metode FGD dengan kesimpulan sebagai berikut :

a.    Terdapat 5 permasalah utama yang sifatnya mendesak dan berpengaruh penting terhadap aktivitas pertanian bagi masyarakat pengguna air irigasi pada DI Salobunne, yakni:

  • Kehilangan air pada Bendung & saluran irigasi tinggi
  • Lantai saluran Sekunder Lompo masih konstruksi tanah  (BB5-BL1)
  • Saluran sekunder  (BB8 – BB9) dan ( BK2 – BT2) masih konstruksi tanah
  • Sebagian besar saluran tersier masih berupa saluran tanah kondisi tanah
  • Kurangnya pengetahuan petani tentang pengolahan hasil panen

b.    Partisipasi masyarakat dalam menentukan prioritas permasalahan dapat memberikan rumusan permasalahan sesuai kondisi real yang dihadapi dalam pengelolaan irigasi;

c.   Alternatif kebijakan dalam menanggulangi permaslahan utama dalam pengelolaan DI Salobunne adalah  Rehabilitasi Bendung dan saluran irigasi ; Rehabilitasi Lantai saluran Sekunder Lompo masih konstruksi tanah  (BB5-BL1); Rehabiltasi Saluran sekunder  (BB8 – BB9) dan ( BK2 – BT2); Pembuatan saluran tersier permanen; dan Pendampingan dan pelatihan petani dalam pengolahan hasil panen.

d.    Sinergitas masyarakat dengan instansi terkait dalam merumuskan permasalahan dan menentukan alternative kebijakan merupakan implementasi perencanaan dengan pendekatan bottom-up, pendekatan partisipatif dan pendekatan teknokratik

D.2. Rekomendasi

Alternatif kebijakan yang dihasilkan dari proses FGD dalam menyelasaikan permasalahan pengelolaan irigasi pada Daerah Irigasi Salobunne agar dapat didorong untuk menjadi bagian dalam proses perencanaan pembangunan tahapan perencanaan mulai dari musrenbang tinggkat desa hingga musrenbang provinsi, mengingat bahwa daerah Irigasi Salobunne merupakan Daerah Irigasi Kewenangan provinsi.

Oleh
Aryanti Sayadi, SP
Fungsional Perencana Muda
Bappelitbangda Provinsi Sulawesi Selatan