BEKERJA DAN BERBAKTI UNTUK KEMAJUAN KTI

Manusia, Perdamaian, dan Literasi

HARI PERSAUDARAAN INTERNASIONAL
Literasi membuka jalan menuju satu pengetahuan yang sangat penting dalam kehidupan ini. Bahwa menjadi manusia adalah berarti menjadi makhluk yang berakal budi dan berhati nurani, juga berakhlak dan berbudaya.

Oleh
ANINDITA S THAYF

Selama ini, bulan Februari identik dengan tanggal empat belasnya yang teristimewakan berkat Hari Valentine. Hanya sedikit orang yang tahu bahwa sepuluh hari sebelumnya ada satu hari penting yang jauh lebih istimewa daripada Hari Kasih Sayang tersebut, yaitu Hari Persaudaraan Internasional (International Day of Human Fraternity).

Jika perayaan Hari Valentine mesti memicu gesekan dalam masyarakat kita karena sejarahnya yang terkait dengan salah satu agama, lahirnya Hari Persaudaraan Internasional, barangkali, bisa dilihat sebagai ajakan untuk menghentikan konflik tersebut. Inilah hari yang diberi jalan lahir oleh dua agama besar di dunia, Islam dan Kristen, demi membangun kembali jembatan persaudaraan yang selama ini dikacaukan oleh perselisihan yang tiada habis secara global. Lewat deklarasi persaudaraan Abu Dhabi yang disusun oleh Paus Fransiskus dan Imam Besar Al-Azhar, Ahmad Al-Tayeb, pada 4 Februari 2019, penetapan tanggal empat bulan dua sebagai hari penting bagi persaudaraan umat manusia sedunia dikukuhkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa dua tahun kemudian.

Hati manusia
Dengan alasannya sendiri, para jomblo tidak menyukai Hari Valentine. Dengan alasan tertentu pula, sejumlah orang selalu mencari cara untuk memusuhi perdamaian. Perang, sebagaimana yang masih berkobar di Rusia dan Ukraina, hanyalah salah satu wajah dari musuh perdamaian. Wajah lainnya bisa berwujud, antara lain, radikalisme, rasisme, kebencian, pertikaian, hingga teror, entah dalam bentuk bom bunuh diri atau pembakaran kitab suci seperti yang baru-baru saja terjadi.

Namun, musuh perdamaian yang sesungguhnya adalah kekerasan. Kekerasanlah yang mendorong kebencian berubah menjadi radikalisme atau rasisme, yang menyebar hingga memicu pertikaian, lantas menghadirkan teror, yang akhirnya meledak ke dalam perang.

Hati manusia memang sulit ditebak isinya. Untuk itu, dalam bukunya berjudul The Heart of Man, Erich Fromm, psikolog sosial dan psikoanalis asal Jerman, menawarkan gagasan. Menurut Fromm, sesungguhnya manusia mempunyai kehendak, kapasitas, dan kebebasan untuk mengubah dunia, entah menjadi lebih baik atau lebih buruk.

Dengan kehendak dan kapasitasnya tersebut, manusia sanggup menggunakan kekuatannya untuk mencapai tujuan hidupnya apa pun itu. Adapun dengan kebebasannya, manusia mempunyai pilihan, entah untuk menciptakan kehidupan atau menghancurkannya.

Kendati demikian, demi menciptakan kehidupan, seorang manusia membutuhkan sejumlah kualitas dan kapasitas tertentu, seperti berpikir rasional, berempati, berperikemanusiaan, dan mencintai kehidupan. Sebaliknya, seorang manusia yang memilih untuk menghancurkan kehidupan hanya membutuhkan satu kualitas, yaitu kemampuan penggunaan kekerasan. Oleh Erich Fromm, manusia semacam ini disebutnya manusia tunadaya.

Manusia tuna daya adalah dia yang berusaha mempertahankan diri dari ketakutan menjalani kehidupan yang tidak sesuai harapannya dan tidak bisa ditaklukannya dengan baik. Lewat kekerasan, manusia tuna daya merasa lebih kuat dan memegang kendali atas sesama manusia, lingkungannya, hingga seisi dunia.

Karena ketidakmampuannya untuk menalar, berempati, dan mencintai kehidupan inilah manusia tuna daya akan menganggap kekerasan sebagai sesuatu yang lumrah, bahkan kehilangan rasa bersalah.

Kekecewaannya kepada kehidupan juga membuatnya membenci, dan kebencian itu hendak disebarkannya ke mana-mana. Karena ketidakmampuannya untuk menalar, berempati, dan mencintai kehidupan inilah, manusia tuna daya akan menganggap kekerasan sebagai sesuatu yang lumrah, bahkan kehilangan rasa bersalah, hingga berujung pada kehancuran, baik bagi dirinya sendiri maupun orang lain.

Literasi dan kemanusiaan
Literasi bukan hanya sebatas perihal keberaksaraan, melainkan juga pengembangan potensi sosial individu, baik kualitas maupun kapasitasnya. Literasi tidak hanya berarti menyodorkan teks atau buku untuk dibaca, tetapi berisi ajakan untuk terus belajar, berpikir kritis, serta mengasah nalar dan kepekaan sosial. Melalui literasi, seseorang akan mendapatkan ilmu pengetahuan yang sejati, yaitu pengetahuan tentang bagaimana dia harus menjalani hidup di muka bumi ini tanpa meninggalkan tugasnya sebagai manusia. Yaitu, sebagaimana ucap Multatuli dalam novel Max Havelaar, adalah menjadi manusia.

Sebagai contoh, lewat literasi berbentuk buku cerita dan dongeng fabel, kita bisa menanamkan etika moral dan nilai-nilai kemanusiaan kepada anak-anak kita. Dengan membagikan dongeng-dongeng rakyat, kita juga bisa memperkenalkan anak-anak pada nilai-nilai kearifan lokal yang ada dalam masyarakat sekaligus mengingatkan mereka pada tradisi dan akar budaya warisan nenek moyang.

Dengan kata lain, literasi membuka jalan menuju satu pengetahuan yang sangat penting dalam kehidupan ini. Bahwa menjadi manusia adalah berarti menjadi makhluk yang berakal budi dan berhati nurani, juga berakhlak dan berbudaya. Maka kelak, generasi penerus yang berjiwa humanis pun bakal tercipta. Orang-orang yang mengabdi pada kemanusiaan dan menyebarkan semangat perdamaian di masa depan.

Literasi bukan hanya sebatas perihal keberaksaraan, melainkan juga pengembangan potensi sosial individu, baik kualitas maupun kapasitasnya.

Adapun sebagai individu, kita bisa berusaha untuk terus memperbaiki diri dengan cara belajar dari hidup dan pengalaman, serta berkontemplasi. Satu-satunya kesempatan untuk mendapatkan semua itu sekaligus adalah dengan banyak membaca. Buku-buku fiksi mengajak kita untuk belajar berempati dengan kisah-kisah kemanusiaan. Umpamanya, membayangkan bagaimana rasanya menjadi korban perang sekaligus minoritas tanpa harus benar-benar mengalaminya seperti yang akan kita temukan apabila membaca novel Lajja karya Taslima Nasrin.

Lewat novel yang berkisah tentang nasib keluarga Hindu, Sudhamoy Dutta, di tengah kerusuhan antaragama yang pecah di Bangladesh pada 1992 ini, kita dapat merasakan betapa tak berdayanya hidup sebagai minoritas, bahkan di tengah negeri yang penuh perbedaan. Sebaliknya, betapa besar arogansi mayoritas atas minoritas sehingga dengan mudah menggunakan kekuatan dan dominasinya untuk melakukan hal-hal yang tidak berperikemanusiaan tanpa rasa malu, apalagi perasaan bersalah.

Sementara itu, teks-teks nonfiksi dapat memandu kita untuk mengenali dan memahami lebih jauh tentang diri kita sendiri dan dunia tempat kita hidup ini. Mencari jawaban di balik pertanyaan, umpamanya, mengapa mayoritas mudah menindas minoritas? Benarkah manusia adalah serigala bagi manusia lain?

Sebagai makhluk sosial, manusia jelas tidak bisa hidup sendiri tanpa orang lain. Pun, manusia tidak akan pernah mampu memberikan kekuatan kepada dirinya sendiri tanpa bantuan orang lain. Sebab, kekuatan terbesar yang membuat manusia sanggup menjalani hidup yang berat ini, sambil terus melangkah maju dengan penuh harapan, adalah cinta. Dan cinta hanya bisa tumbuh subur di tengah perdamaian.

Mengutip pernyataan Imam Besar Ahmad Al-Tayeb dalam pidato perayaan Hari Persaudaraan Internasional tahun lalu, ”... meskipun kami yakin bahwa apa yang kami cari tidak mudah di tengah dunia yang sedang berperang dengan semua masalahnya...., tetapi berjalan di jalan damai adalah takdir orang-orang yang beriman kepada Tuhan dan pesan-pesan-Nya, tidak peduli apa pun tantangan dan rintangan yang mereka hadapi....”

Inilah hari perayaan kemanusiaan bagi semua hamba yang bersaudara.

Anindita S Thayf, Novelis dan Esais

 

Sumber: https://www.kompas.id/baca/opini/2023/02/10/manusia-perdamaian-dan-literasi?utm_source=newsletter&utm_medium=mailchimp_email&utm_content=opini_judul_s...