BEKERJA DAN BERBAKTI UNTUK KEMAJUAN KTI

Kunci memantik minat anak muda pada bahasa daerah? Yakinkan mereka bahwa identitas multibahasa adalah aset

Kunci memantik minat anak muda pada bahasa daerah? Yakinkan mereka bahwa identitas multibahasa adalah aset

Penulis: 

Rasman
Lecturer at the Department of English Language Education, Universitas Negeri Yogyakarta

Reni Nastiti
Lecturer, Universitas Negeri Yogyakarta

Tatum Derin
Managing Editor of Elsya : Journal of English Language Studies, Universitas Lancang Kuning

Artikel ini terbit dalam rangka perayaan Hari Bahasa Ibu Internasional yang jatuh pada 21 Februari 2023.

Indonesia adalah negara dengan keragaman bahasa terbesar kedua, dengan lebih dari 700 bahasa lokal. Angka ini hanya kalah dari Papua Nugini dengan 840 bahasa.

Meski demikian, UNESCO memetakan lebih dari 130 bahasa di Indonesia kini terancam punah (critically or severely endangered) atau setidaknya rentan (vulnerable) – mayoritasnya ada di Indonesia Timur.

Menurut Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbudristek), ini terjadi akibat turunnya jumlah orang yang mengakui dan menggunakan bahasa daerahnya.

Pemerintah sebenarnya telah berupaya menggencarkan promosi keragaman bahasa di Indonesia, misalnya melalui Program Revitalisasi Bahasa Daerah pada tahun 2022. Program ini menyasar 38 bahasa daerah, 1.491 komunitas, serta pelajar dan anak muda di 15.236 sekolah melalui upaya pewarisan bahasa secara terstruktur hingga festival kreasi seni.

Tentu perjuangan untuk melestarikan bahasa daerah masih panjang, apalagi program-program tersebut merupakan inisiatif yang relatif baru.

Tapi menurut kami, upaya ini tak cukup hanya berfokus pada peningkatan kesadaran agar masyarakat dan anak muda lebih banyak menggunakan bahasa daerah.

Berdasarkan riset di bidang linguistik, termasuk penelitian tim kami sendiri, upaya revitalisasi bahasa daerah – baik oleh pemerintah, komunitas, hingga institusi pendidikan – perlu memperhatikan konsep yang disebut “identitas multilibahasa”.

Ini berarti menekankan pada masyarakat, pelajar, dan anak muda untuk melihat bahasa daerah sebagai “aset” berkomunikasi ketimbang hanya beban warisan. Apalagi, identitas dan kemampuan multibahasa ini menjadi semakin penting mengingat kini hampir tidak ada orang yang menggunakan satu bahasa saja dalam interaksi sosial sehari-hari.

Identitas multibahasa
Identitas multibahasa merujuk pada kesadaran seseorang bahwa dirinya adalah pengguna beberapa macam bahasa untuk berkomunikasi dalam kehidupan sehari-hari.

Bahasa-bahasa tersebut tak hanya mencakup bahasa dalam pengertian umum seperti bahasa Jawa, Indonesia, dan Inggris. Tapi, melampaui itu, ini juga termasuk emotikon, dialek, bahasa isyarat, modalitas, dan lain-lain. Seseorang dapat menganggap dirinya multilingual terlepas dari tingkat kemahiran mereka saat ini dalam menggunakan suatu bahasa tersebut, selama seseorang bisa menggunakannya untuk berkomunikasi.

Di Indonesia, pendekatan identitas multibahasa berguna dalam upaya mempertahankan bahasa daerah, menggunakan bahasa Indonesia, dan mempelajari bahasa Inggris secara bersamaan. Dengan kesadaran akan identitas ini, masyarakat dan pembelajar bahasa tak hanya akan lebih percaya diri, tapi juga menyadari bahwa semua bahasa mempunyai nilai yang tinggi dan tidak saling berkompetisi.

Pendekatan identitas multibahasa ini juga lebih inklusif dan efektif daripada memberi label siswa sebagai generasi muda yang tidak peduli terhadap bahasa daerah – misal karena dianggap terlalu memprioritaskan bahasa Inggris.

Riset telah menunjukkan bahwa stigma semacam ini justru menurunkan motivasi generasi muda dalam mempelajari bahasa-bahasa tersebut.

Bagaimana membentuk identitas multibahasa?
Menurut penelitian di sekolah-sekolah Inggris, ada tiga hal penting yang menentukan keberhasilan pembentukan identitas multibahasa dalam diri seorang siswa: pengalaman, penilaian, serta emosi dan perasaan siswa terhadap bahasa itu sendiri dan ketika mempelajarinya.

Faktor pertama, yakni pengalaman bahasa, terkait dengan eksposur pelajar dan anak muda dalam menggunakan beberapa bahasa dalam berbagai situasi sosial.

Dengan kata lain, semakin sering seorang siswa terpapar berbagai macam bahasa baik bahasa daerah, Indonesia, maupun asing – serta berkesempatan untuk menggunakannya dalam berbagai konteks seperti di rumah, di lingkungan sosial, di sekolah, maupun secara digital – semakin besar pula kemungkinan ia bisa membentuk identitas multibahasa.

Faktor kedua, penilaian terhadap bahasa berkaitan dengan evaluasi dan persepsi siswa terhadap pandangan orang-orang di sekitarnya.

Seorang siswa akan merefleksikan bagaimana ia menilai dirinya sendiri (seperti tingkat kepercayaan diri dan keyakinan tentang suatu bahasa daerah, bahasa Indonesia, dan bahasa asing) dan juga bagaimana orang lain seperti orang tua, guru, dan teman-teman menilainya dalam menggunakan bahasa-bahasa tersebut.

Misalnya, ketika seorang pelajar lulus SMA dan berkuliah di kota yang berbeda, apakah teman-temannya menghargai atau menertawakannya ketika mencampurkan antara bahasa Indonesia dan bahasa lokal?

Faktor ketiga, yakni emosi, berkaitan dengan perasaan bangga, senang, dan termotivasi saat menggunakan berbagai macam bahasa tersebut.

Emosi siswa yang berkaitan dengan bahasa ini tentunya banyak dipengaruhi oleh lingkungan pembelajaran. Oleh karena itu, penting untuk membuat lingkungan belajar di rumah maupun sekolah yang positif, inklusif, dan merayakan identitas multibahasa seorang siswa.

Mengingat proses pembelajaran bahasa pada usia muda banyak terjadi di lingkungan belajar, para peneliti pun mengusulkan beberapa praktik baik pedagogis (teknik pengajaran) yang bisa mewujudkan ketiga faktor keberhasilan pembentukan identitas multibahasa – baik di sekolah maupun dalam program pendidikan lainnya.

Komunitas peneliti linguistik dan pendidikan bersama dengan Dinas Pendidikan dan Dinas Kebudayaan di level daerah, misalnya, dapat bekerjasama dengan guru, instruktur, dan relawan untuk fokus pada aktivitas pembelajaran yang menurut riset efektif membentuk identitas multibahasa.

Ini termasuk membantu pelajar mengasah wawasan sosiolinguistik mereka (bahasa apa saja yang bisa saya dan orang-orang di sekitar saya gunakan?), menjalankan diskusi interaktif tentang identitas multibahasa dari teman mereka (kapan seseorang bisa dikatakan sebagai penutur bahasa daerah tertentu?), hingga merefleksikan dan meresapi wawasan dan keberadaan berbagai identitas multibahasa yang beragam (bagaimana wujud identitas saya di tengah berbagai identitas kebahasaan orang-orang di lingkungan saya?).

Penelitian-penelitian terbaru menunjukkan intervensi pedagogi terbukti tak hanya meningkatkan usaha siswa untuk belajar bahasa lebih mendalam, tetapi juga meningkatkan pemahaman antarbudaya maupun hasil akademik mereka.

Pada akhirnya, pendekatan identitas multibahasa semacam ini akan bermanfaat untuk meningkatkan efektivitas dan keberlanjutan program revitalisasi bahasa daerah di Indonesia.

Tapi yang lebih penting lagi, dengan fokus pada bahasa-bahasa yang jadi bagian dari identitas mereka secara bersamaan – bukan hanya satu bahasa daerah saja secara terpisah – siswa akan mempunyai kebanggaan besar. Ketimbang “terpaksa” mempertahankan bahasa daerah mereka, justru mereka akan menganggap bahasa daerah sebagai keunggulan dan nilai jual plus dalam perbendaharaan linguistik mereka.


Sumber: https://theconversation.com/kunci-memantik-minat-anak-muda-pada-bahasa-daerah-yakinkan-mereka-bahwa-identitas-multibahasa-adalah-aset-200233?utm_mediu...