BEKERJA DAN BERBAKTI UNTUK KEMAJUAN KTI

Karena Dia Seorang Perempuan : Catatan tentang Susi Pudjiastuti

Ketika mendengar namanya disebut Presiden Jokowi (Joko Widodo) untuk menduduki jabatan sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan, penulis memerhatikan dengan seksama, dan benar adanya dia adalah Susi Pudjiastusti. Penulis mengenal sosok ini karena membaca beberapa artikel tentangnya. Dia membangun usaha dalam bisnis perikanan mulai dari nol hingga mempunyai maskapai penerbangan Susi Air.

Perempuan hebat dan luar biasa. Tentu dia seorang yang cerdas, bahkan genius sebenarnya. Jika kecerdasan yang digunakan untuk mengelompokkan orang-orang cerdas dan genius itu merujuk pada kategori Howard Gardner, maha guru pendidikan Amerika Serikat yang terkenal. Kecerdasannya dibuktikan selama sekitar 33 tahun membangun bisnis perikanan dan maskapai penerbangan.

Jangan salah! Hanya orang-orang cerdas yang bisa mengembangkan bisnis dari nol dan mempunyai kemampuan menggerakkan (memanejemeni) sumber daya manusia beraneka latar belakang untuk bekerjasama.

Pendidikan dan Sekolah

Kalau Susi tidak menginjakkan kaki sampai di Perguruan Tinggi (PT), itu benar! Tapi bukan berarti Susi tidak berpendidikan atau tidak terdidik. Orang menjadi terdidik tidak harus menempuh semua strata pendidikan formal, dari PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini) hingga PT. Demikian juga, untuk mempunyai pengetahuan, ketrampilan, dan sangat profesional tidak harus memiliki ijazah dari seluruh jenjang pendidikan itu.

Sejarah membuktikan bagaimana ilmuwan dan cendekiawan besar di dunia, menjadi pribadi yang sangat terdidik, tanpa perlu menginjakkan kaki di bangku sekolah. Mereka belajar sendiri (otodidak) atau belajar dari satu guru ke guru lainnya secara informal. Di Indonesia juga, banyak sekali orang-orang hebat dalam berbagai bidang, dan diakui secara internasional, namun pendidikan formal mereka tidak pernah beres.

Di masyarakat Bugis-Makassar, nama Colliq Pujié Arung Pancana Toa adalah perempuan bangsawan bugis, terdidik, dan ilmuwan yang diakui secara internasional, juga tidak pernah kuliah, karena belum adalah PT di tanah Sulawesi saat itu. Tapi dia seorang pembelajar—meminjam istilah Andreas Harefa—dan terdidik.

Karya agung La Galigo yang merupakan salah satu karya sastra terpanjang di dunia dikumpulkan dan ditulis oleh Colliq Pujié Arung Pancana Toa, atas permintaan wakil Nederlands Bijbelgenootsschap (NBG) B.F. Matthes sekitar tahun 1852. Colliq Pujié Arung Pancana Toa berpengetahuan bahasa dan sastra yang sangat luas sehingga berhasil mengumpulkan La Galigo dan menyusun serta merangkainnya sebagai suatu alur cerita dari awal hingga akhir yang terdiri dari 12 jilid dengan tebal sekitar 2.851 halaman folio (Toa, 2000; Nur, 2003). Sampai saat ini belum ada satu pun laki-laki dan perempuan Bugis-Makassar yang bisa menandingi Colliq Pujié Arung Pancana Toa dalam bidang sastra maupun akademik.

Pertanyaannya kemudian adalah, apakah sekolah tidak penting? Sekolah tetap penting, karena orang-orang cerdas dan genius itu hanya sedikit sekali. Sekolah menjadi sangat penting karena orang-orang yang sudah lulus S3 (doktor) dan bergelar professor pun masih belum bisa apa-apa juga! Hanya mengandalkan gelar, tidak berkontribusi pada ilmu, teknologi, budaya, dan kemanusiaan.

Seorang Profesional

Tapi kita harus mengakui bahwa pengetahuan, ketrampilan, dan profesionalisme tidak melulu diperoleh di bangku sekolah. Orang-orang profesional seperti Susi Pudjiastusti harus diakui, didukung, dan diapresiasi. Jika hendak berkomentar, maka haruslah hal-hal yang positif yang dapat berkontribusi pada kinerja Susi Pudjiastusti, atau kementerian kelautan dan perikanan.

Perempuan, merokok, dan tatto tidak ada hubungannya dengan profesionalisme dia sebagai seorang pengusaha dan seorang manajer. Jika merokok dianggap sebagai suatu masalah—tentu masalah kesehatan—maka semua perokok, baik laki-laki, perempuan, apalagi anak-anak, semuanya bermasalah.

Demikian juga tatto. Tatto atau tradisi merajah bagian tubuh ada di berbagai budaya dan sejarah dunia. Bahkan suku dan bangsa tertentu tidak hanya membuat tattoo, tetapi juga  melubangi bagian tubuh mereka untuk memasang perhiasaan.

Kalau tattoo dianggap sebagai identitas penjahat, itu karena banyak sekali kelompok penjahat yang menggunakan tattoo sebagai identitas kelompok.  

Karena Dia Perempuan

Ketika diangkat menjadi menteri, komentar miring mengikuti langkah Susi Pudjiastusti. Dan parahnya komentar miring, terutama di media sosial itu didominasi oleh laki-laki. Penulis menghitung orang-orang yang berkomentar pada dua posting di fecebook milik penulis. Sedikit sekali laki-laki yang berkomentar positif tentang Susi Pudjiastusti. Di antara yang berkomentar negatif tersebut adalah dosen laki-laki.

Ironisnya, komentar negatif terhadap Susi Pudjiastusti berputar di seputar tattoo dan merokok, yang dianggap “tidak pantas” dilakukan oleh seorang perempuan yang menjadi figur publik. Komentar miring lainnya terkait dengan pendidikan Susi Pudjiastusti, namun tidak sebanyak yang mengomentari tatto dan merokok.

Penulis melihat, mereka yang berpendidikan tinggi, tidak terlalu berani mnempersoalkan tingkat pendidikan Susi Pudjiastusti yang tidak tamat SMA. Mungkin mereka sadar, sekalipun berpendidikan tinggi, mereka hanya pekerja atau buruh yang menunggu gaji bulanan. Atau pun dengan gelar doktor sekalipun, mereka belum berkontribusi dalam bidangnya.

Persoalan sebenarnya adalah karena Susi Pudjiastusti adalah seorang perempuan. Banyak sekali laki-laki tidak rela melihat seorang perempuan, tidak pernah kuliah, merokok, dan bertato, menjabat sebagai menteri. Mereka tidak sadar bahwa, Susi Pudjiastusti adalah seorang pebisnis professional yang mempunyai pengalaman lebih 30 tahun. Dia dipilih Presiden Jokowi karena kemampuan dan pengalamannya.

Sekolah menjadi tidak penting bagi seorang Susi Pudjiastusti yang sudah sangat professional. Justru sekolah membutuhkan orang-orang seperti Susi Pudjiastusti untuk mentransfer pengalamannya. Bukankah orang perlu sekolah, salah satu diantaranya dan paling utama adalah, untuk bisa makan, dan bisa bertahan hidup. Setelah bisa makan dan bertahan hidup, baru professional.(M. GHUFRAN H. KORDI K.)