BEKERJA DAN BERBAKTI UNTUK KEMAJUAN KTI

Harta Tak Terbilang dari Kedalaman Biru Papua

Wilayah perairan Papua dilimpahi kekayaan sumber daya hayati yang begitu tinggi. Masa depan perikanan nasional pun bersandar padanya.

Oleh
MOHAMAD FINAL DAENG, FRANSISKUS PATI HERIN, ANTONIUS PONCO ANGGORO, WISNU WARDHANA DANY

Sekelompok lelaki bergegas menaiki sebuah perahu motor di pagi yang sebagian mendung. Angin sepoi-sepoi mengantar mereka membelah perairan Sorong, Papua Barat Daya, yang terhampar di hadapan. Awan hitam di kejauhan tak membuat nyali mereka ciut, ada cuan yang harus dijemput di kedalaman laut.

Emon Mau (30), sang pemimpin kelompok, duduk santai di haluan perahu sepanjang 14 meter dengan lebar 1,8 meter tersebut. Hampir sejam setelah meninggalkan Pulau Doom, tempat para nelayan ini bertolak, Emon mulai berdiri.

Matanya liar, menyapu perairan sekeliling, sambil sesekali mengisap kreteknya. Tujuan mereka sudah dekat, yakni Pulau Matan. Di perairan sekitar pulau kecil tak berpenghuni itulah buruan mereka berkeliaran di kedalaman biru.

Beberapa kali Emon memberi arahan dengan tangannya kepada motoris perahu, Fauzan Kadir (33), sambil matanya tetap fokus ke laut. Setelah puas dengan lokasi yang dipilih, dia berseru, ”Jaring! Jaring!”

Aba-aba itu sontak membuat empat awak perahu buru-buru menurunkan jaring ke laut. Fauzan pun sigap mengarahkan perahu agar bergerak melingkar, membentuk perangkap bagi ikan.

Ketika jaring sudah separuh melingkar, Bobby (30), salah satu awak, melompat ke laut. Dia bertugas mengarahkan ikan agar tidak keluar dari perangkap dengan memukul-mukul air. Setelah kedua ujung jaring bertemu membentuk lingkaran sempurna, Bobby pun menyelam. Tak lama, dia muncul membawa kabar yang ditunggu-tunggu: ”Banyak!”.

Bobby merujuk pada hasil tangkapan mereka, ikan sako (Tylosurus crocodilus). Ikan bermoncong panjang dan tajam itulah yang diburu hari Minggu (11/6/2023) itu. Ikan yang hidup bergerombol ini melimpah di perairan sekitar Kota Sorong.

Ikan sako sebenarnya bukan buruan utama nelayan Pulau Doom, yang sebagian besar adalah nelayan tongkol. Namun, karena tongkol sedang tidak musim, yang biasanya November-April, sako menjadi buruan alternatif.

Ikan melimpah
Meski harganya tidak sebagus tongkol, sako tetap laku di pasaran. Selalu ada pengepul yang mau membeli ikan tersebut. Hari itu, selama sekitar dua jam, kelompok Emon tiga kali tebar jaring dengan total tangkapan 850 ekor. Saat tengah hari, mereka mengarah ke Kota Sorong untuk menjualnya ke pengepul langganan.

Dengan harga Rp 3.000 per ekor, Emon dan kawan-kawan membawa pulang penghasilan kotor Rp 2,5 juta. Setelah dipotong biaya bahan bakar dan operasional, uang sisanya baru dibagi dua, yakni satu bagian untuk pemilik perahu dan satu bagian untuk pemilik jaring serta awak. ”Hasil ini terhitung lumayan,” ucap Emon sambil tersenyum.

Kekayaan laut yang dinikmati para nelayan di Pulau Doom itu hanya sebagian kecil dari potensi perikanan di perairan Papua. Perairan Papua masuk dalam tiga Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP), yakni WPP 717 yang mencakup perairan Teluk Cenderawasih dan Samudra Pasifik, WPP 718 di Laut Aru-Arafura, serta WPP 715 di Laut Maluku.

Berdasarkan data Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) tahun 2022, potensi perikanan tangkap di tiga WPP itu terbilang fantastis. Jenis ikan yang banyak ditemui adalah pelagis kecil, pelagis besar, demersal, karang, dan udang penaeid.

Total estimasi KKP untuk potensi tangkapan lima jenis kelompok ikan tersebut adalah 3,8 juta ton. Angka itu pun belum termasuk tuna dan cakalang, dua jenis ikan kelompok pelagis besar yang banyak hidup di wilayah timur Indonesia.

Di Teluk Arguni, pedalaman Kabupaten Kaimana, Papua Barat, warga juga menikmati berkah perikanan. ”Di sini cari ikan itu mudah. Ibaratnya, istri belum selesai masak, suami sudah pulang bawa ikan,” seloroh Ridwan Furu (45), nelayan di Kampung Seraran, Distrik Arguni Bawah, Kaimana, saat ditemui pertengahan Juni lalu.

Seraran adalah satu di antara sekitar 28 kampung yang tersebar mengelilingi Teluk Arguni. Wilayah teluk yang menjadi pertemuan air tawar dari banyak sungai dan air asin dari Laut Arafura menjadikan kawasan itu kaya sumber daya hayati laut.

Kondisi itu juga ditopang ekosistem lamun dan bakau yang masih sangat lebat bak sabuk tebal mengitari teluk. Ikan gulama dan kepiting bakau atau yang disebut karaka oleh masyarakat setempat menjadi primadona utama tangkapan nelayan selain beragam ikan lain.

Menurut Ridwan, tanpa perlu terlalu jauh bergerak ke tengah teluk, ikan sudah bisa didapat. Ikan gulama, misalnya, bisa ditangkap hingga 200 ekor dengan masing-masing seberat dua kilogram dalam tempo tak sampai setengah hari melaut. Ini terutama saat musim angin timur (Juni-Agustus).

Gulama bernilai tinggi karena organ gelembung renangnya dipakai untuk bahan baku industri kesehatan dan kecantikan. Setiap gelembung gulama bisa dihargai hingga Rp 2 juta, jauh lebih tinggi dari harga dagingnya yang hanya Rp 12.000 per ekor.

Di luar musim timur, ketika ikan gulama sulit dicari, ikan lain seperti tenggiri dan kerapu menjadi incaran nelayan. Adapun karaka tersedia di alam sepanjang tahun. Nelayan cukup memasang perangkap bubu di sela-sela bakau dengan ikan sebagai umpannya.

Kawasan konservasi
Muhajir Wergiri(40), nelayan di Kampung Sumun, masih di pesisir Teluk Arguni, mengatakan bisa memperoleh hingga 50 ekor karaka dalam sehari. Setiap ekornya memiliki berat hingga 500 gram dengan harga bisa mencapai Rp 70.000 per ekor. Dengan kata lain, nelayan bisa memperoleh hingga Rp 3,5 juta sehari.

Dengan semua potensi tersebut, tak salah jika Papua digadang-gadang sebagai masa depan perikanan nasional. Apalagi, wilayah paling timur negeri itu juga memiliki kawasan konservasi perairan terluas di Indonesia.

Berdasarkan data KKP, luas kawasan konservasi perairan di seluruh Papua mencapai 5,47 juta hektar. Angka ini mencakup 19 persen dari total kawasan konservasi perairan di Indonesia.

Pengelola Ekosistem Laut dan Pesisir Ahli Pertama Loka Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Laut (PSPL) Sorong Hendrik Sombo, Juni 2023, mengatakan, wilayah perairan kepala burung Papua punya keanekaragaman hayati tinggi. Hal itu karena adanya ekosistem terumbu karang yang luas, salah satunya di Raja Ampat.

Selain itu, kesuburan perairan juga ditunjang keberadaan ekosistem mangrove dan padang lamun. ”Ketiga ekosistem itu menjadi penyumbang nutrien, tempat berlindung, dan daerah pengasuhan ikan. Hampir semua spesies ikan bergantung pada ekosistem tersebut,” ucap Hendrik.

Potensi di sini belum banyak dikelola.

Potensi kekayaan perikanan di Papua pun menarik minat pelaku usaha perikanan, salah satunya adalah PT Indo Numfor Pacific (INP) yang membuka operasi di Biak, Papua, sejak 2022. Perusahaan itu menangkap tuna di wilayah Teluk Cenderawasih dan mengekspornya dalam bentuk segar ke Jepang.

Stanley Pontoh, Head Operational PT INP, saat ditemui di Biak, Rabu (23/8/2023), menyatakan, potensi perikanan di Teluk Cenderawasih masih bagus. ”Potensi di sini belum banyak dikelola,” ujarnya.

Stanley menyebut, pihaknya bisa mengekspor minimal 4 kali dalam sebulan. Namun, jika tangkapan sedang banyak, ekspor bisa dilakukan 2-3 kali seminggu. ”Sekali kirim 37 boks atau total sekitar 3,8 ton tuna segar,” ucapnya.

Namun, dia mengungkapkan, ekspor ke Jepang tak bisa langsung dilakukan melalui Biak, tetapi harus memutar lewat Makassar atau Jakarta. Akibatnya, ongkos logistik pun jadi lebih besar dan ikan rawan menurun kesegarannya. ”Padahal, posisi Biak lebih dekat ke Jepang daripada Makassar dan Jakarta,” ucap Stanley.

Karena itu, pihaknya pun berharap ekspor bisa dilakukan langsung dari bandara di Biak. Dengan begitu, ongkos logistik dapat ditekan paling tidak hingga 50 persen. ”Bahkan, bisa hanya seperempat dari ongkos saat ini,” katanya.

Dosen Manajemen Sumber Daya Perairan Universitas Muhammadiyah Sorong, Ilham Marasabessy, optimistis Papua bisa menjadi masa depan perikanan nasional. Namun, dia memberi catatan soal pentingnya menumbuhkan kesadaran masyarakat untuk menjaga keberlanjutan sumber daya perikanan.

Praktik-praktik yang merusak ekosistem perairan, seperti penggunaan bom ikan dan pembabatan mangrove, harus dihentikan dan dicegah. Pengawasan dari aparat berwenang pun menjadi kunci. ”Harus ada pendampingan kepada masyarakat,” kata Ilham.

Sumber: https://www.kompas.id/baca/nusantara/2023/11/06/harta-tak-terbilang-dari-kedalaman-biru-papua?open_from=Tagar_Page