BEKERJA DAN BERBAKTI UNTUK KEMAJUAN KTI

Aksi Perundungan Siswa Semakin Mencemaskan

Perundungan atau bullying adalah salah satu masalah sosial yang kerap kali terjadi pada siswa di sekolah-sekolah. Dalam lima tahun terakhir, alih-alih menurun, masalah ini justru kian mencemaskan karena ada indikasi intensitas kasus perundungan cenderung meningkat. Meski telah dilakukan berbagai upaya, baik dari sekolah maupun pemerintah, untuk mencegahnya, kasus perundungan tetap dan terus terjadi di sejumlah sekolah.

Perundungan tidak hanya terjadi di sekolah pinggiran dengan pelaku anak-anak marginal. Perundungan juga terjadi di sekolah mahal yang notabene siswanya adalah anak-anak yang berasal dari keluarga yang secara ekonomi mapan, seperti yang terjadi dan dialami siswa Binus School Serpong, Tangerang Selatan.
 
Seorang siswa SMA di Binus School Serpong dilarikan ke rumah sakit lantaran diduga menjadi korban perundungan. Aksi ini bagian dari proses inisiasi geng yang anggotanya siswa dari sekolah tersebut.

Korban yang merupakan calon anggota geng disebut harus melakukan beberapa hal yang diminta oleh senior, mulai dari membelikan makan hingga harus menerima ketika mendapat kekerasan fisik. Menurut informasi, korban diikat di tiang dan dipukuli menggunakan balok kayu. Beberapa siswa lainnya diduga ikut menertawakan dan merekam aksi tersebut.

Pelaku dan pola kejadian
Di Indonesia, kasus perundungan sudah bertahun-tahun terjadi tanpa ada solusi yang benar-benar efektif untuk menghentikannya. Perundungan bisa terjadi di mana saja. Lingkungan sekolah adalah salah satu tempat yang acap kali menjadi habitus bagi terjadinya perundungan.

Lembaga pendidikan yang semestinya steril dari tindak kekerasan dan perundungan dalam kenyataan justru menjadi habitus yang subur bagi terjadinya perundungan siswa satu ke siswa yang lain. Hanya dipicu persoalan sepele, bukan tidak mungkin seorang siswa akan menjadi korban perundungan.

Motivasi pelaku melakukan perundungan bisa bermacam-macam. Bisa saja karena bersikap iseng atau karena dipicu dendam pribadi seseorang kemudian merundung teman sekelasnya (Dupper, 2013).

Secara psikologis, perundung biasanya memiliki citra diri yang buruk, arogan, dan cenderung ingin mendemonstrasikan pengaruhnya kepada temannya. Pelaku biasanya memiliki peran dan berpengaruh penting terhadap teman-temannya di sekolah (Goldweber, Waasdorp, dan Bradshaw, 2013).

Para pelaku tidak hanya didominasi oleh anak yang bertubuh besar dan kuat. Anak bertubuh kecil dan sedang, yang memiliki dominasi yang besar secara psikologis di kalangan teman-temannya, juga berpotensi menjadi perundung. Artinya, siapa pun sebetulnya bisa menjadi pelaku perundungan—tergantung karakter sosial-psikologis pelaku.

Studi yang dilakukan penulis dan Sugihartati (2021) di sejumlah sekolah di Jawa Timur menemukan, pelaku perundungan sebagian besar adalah siswa yang termasuk nakal di sekolah. Di banyak sekolah yang menjadi lokasi penelitian, biasanya memang selalu ada siswa yang termasuk bandel, nakal, dan sok jagoan. Mereka inilah yang ditengarai sering menjadi perundung teman-teman mereka, mulai dari tindakan mengganggu yang ringan, pemalakan, dan bahkan tindak kekerasan.

Sebanyak 47,5 persen responden mengaku sering mengalami perundungan dari siswa yang nakal tersebut. Sementara itu, pelaku perundungan yang lain, menurut 19 persen responden, yang sering adalah siswa yang populer di sekolah dan juga siswa kakak kelas (16 persen).

Siswa yang populer, seperti siswa yang terampil pada cabang olahraga tertentu, pengurus OSIS, atau siswa yang menonjol secara fisik, termasuk siswa yang acap kali menjadi pelaku perundungan. Untuk siswa dari keluarga kaya dan anak pejabat, hampir semua dinilai responden bukan pelaku perundungan. Artinya, tindak perundungan terjadi bukan karena pelaku dan korban memiliki rentang status ekonomi, tetapi lebih dipicu karena penyebab lain.

Dari segi jenis kelamin, siswa yang kerap menjadi perundung sebagian besar adalah siswa laki-laki (37 persen). Meskipun demikian, bukan berarti tidak ada siswa perempuan yang menjadi perundung. Dari 200 responden, 32,5 persen responden mengaku pelaku perundungan kerap kali juga perempuan. Sebanyak 30,5 persen responden mengaku pelaku perundungan tidak mengenal jenis kelamin. Baik siswa laki-laki maupun perempuan berpotensi menjadi perundung.

Dari segi psikologis, alasan utama seseorang menjadi pelaku perundungan adalah karena merasakan kepuasan tersendiri apabila bisa mendemonstrasikan bahwa ia ”berkuasa” di kalangan teman sebayanya. Dari hasil wawancara mendalam dengan sejumlah siswa, mereka menyatakan pelaku perundungan di sekolahnya biasanya memang orangnya itu-itu saja.

Di sejumlah sekolah, menurut sejumlah responden, ciri-ciri yang menandai pelaku perundungan, antara lain hidup berkelompok dan menguasai kehidupan sosial siswa di sekolah; siswa yang dikategorikan populer di sekolahnya; umumnya ditandai dengan sering berjalan di jajaran depan, sengaja menabrak siswa lain untuk memperlihatkan kekuasaannya, sering berkata kasar, menyepelekan atau bahkan melecehkan.

Bentuk perundungan yang sering dialami siswa di sekolah bermacam-macam. Secara garis besar, perundungan yang dialami siswa bisa dikategorikan dalam dua jenis. Pertama, perundungan fisik, mulai dari melakukan kekerasan hingga merusak kepemilikan korban. Kedua, perundungan nonfisik, yang terbagi menjadi perundungan verbal dan nonverbal.

Perundungan verbal, contohnya, ialah memalak, memeras, mengancam, menghasut, berkata jorok, berkata menekan, dan menyebarluaskan kejelekan korban. Sementara itu, yang nonverbal adalah memanipulasi pertemanan, mengasingkan, tidak mengikutsertakan, mengirim pesan menghasut dan curang; atau bisa juga dalam bentuk gerakan tangan, kaki, atau anggota badan lainnya dengan cara kasar, menatap dengan tajam, menggeram, mengentak, mengancam, atau menakuti.

Bagi korban, perundungan yang dialaminya tentu akan menimbulkan rasa malu, marah, bahkan mungkin depresi. Namun, untuk menghindari atau melawan ancaman perundungan, bukanlah hal yang mudah.

Sebanyak 40 persen responden mengaku biasanya hanya diam atau pasrah ketika menjadi korban perundungan. Sebanyak 28,5 persen mengaku biasanya menghindar. Namun, ada 31,5 persen responden yang mengaku melawan ketika menjadi korban perundungan.

Setelah menjadi korban perundungan, sebagian besar siswa merasa kurang nyaman (52,5 persen). Sebanyak 30,5 persen responden mengaku biasa saja. Namun, ada 10,5 persen responden yang merasa minder, dan bahkan 6,5 persen responden mengaku depresi setelah mengalami perundungan dari teman sekolahnya.

Siswa yang terbiasa bersikap cuek menganggap perundungan yang dialami hanya sebagai bagian dari bentuk guyonan di kalangan teman. Namun, bagi siswa yang secara psikologis rapuh, mereka bisa menjadi minder.

Perlakuan perundungan yang hanya sekali-dua kali mungkin tidak terlalu menimbulkan luka psikologis. Namun, ketika perundungan yang dialami terjadi berkali-kali atau terus-menerus, bisa dipahami jika ada sebagian siswa yang kemudian menjadi minder, bahkan depresi.

Faktor yang menjadi pemicu perundungan yang dialami responden sebagian besar karena guyonan (bercandaan) yang kelewat batas (40 persen). Di kalangan anak dan remaja sudah lazim terjadi mereka ketika bermain umumnya disertai dengan guyonan yang mungkin tidak terasa kelewat batas.

Melakukan perundungan kepada siswa tertentu sepintas mungkin dinilai hanya untuk membuat suasana menjadi semarak. Namun, yang tidak disadari, guyonan yang kelewat batas kemudian memicu terjadinya perundungan. Sebagian yang lain, pemicu perundungan adalah karena terjadi kontestasi, baik di bidang pendidikan (15 persen), di bidang olahraga (2,5 persen), maupun karena kontestasi rebutan pacar di antara teman sekolah (9,5 persen).

Hal yang memprihatinkan, perundungan sebagian ternyata dipicu karena sikap intoleransi (6 persen). Meski angkanya relatif kecil, sikap siswa yang intoleran kepada perbedaan ini dirisaukan dapat menjadi benih yang membangkitkan sikap permusuhan yang lebih mendalam. Dari 200 responden yang diteliti, sebanyak 27 persen responden mengaku tidak ada pemicu khusus yang mendasari terjadinya perundungan.

Upaya penanganan
Di Indonesia belum ada angka pasti berapa banyak kasus perundungan di sekolah. Namun, ada indikasi kasusnya meningkat dari waktu ke waktu. Ke depan, beberapa hal bisa dilakukan untuk mencegah agar perundungan terhadap siswa dapat dieliminasi.

Pertama, bagaimana membangun kepedulian berbagai pihak terhadap upaya pencegahan dan penanganan kasus perundungan. Artinya, perundungan seyogianya tidak dikonstruksi hanya sebagai bagian dari perilaku kenakalan siswa yang sifatnya tertutup dan tidak penting.

Perundungan harus dikonstruki sebagai sesuatu yang menjadi wacana dan perbincangan publik. Kenapa hal ini perlu dilakukan, sebab dengan menarik keluar isu tentang perundungan menjadi isu publik, pihak yang menjadi watchdog pencegahan kasus ini akan dapat dikembangkan dalam skala yang lebih luas.

Kedua, untuk mengikis terjadinya segregasi sosial yang berpotensi menjadi habitus bagi terjadinya perundungan, ada baiknya jika di sekolah siswa diajak membiasakan diri menjalin kerja sama dengan siswa lain dalam berbagai kegiatan yang sengaja memang didesain untuk itu. Alih-alih mendorong kompetisi atau kontestasi dalam semua hal, dalam kesempatan tertentu guru ada baiknya membiasakan siswa untuk tergabung dalam sebuah proyek kolaborasi.

Kebersamaan untuk membuat sebuah karya bisa memupuk kerja sama satu sama lain. Interaksi dalam satu kelompok ini perlu didesain bagaimana mereka perlu berkompromi satu dengan yang lain, sekaligus bersikap tegas jika ada siswa yang melanggar kesepakatan itu.

Ketiga, mengingat pelaku perundungan sering kali didorong oleh subkultur sok jagoan dan semangat untuk mencari perhatian, upaya penanganan kasus ini harus ekstra hati-hati. Menghadapi pelaku perundungan secara konfrontatif, niscaya malah akan membuat pelaku bangga dengan apa yang mereka lakukan.

Menantang dan menghukum pelaku di depan umum, apalagi di depan siswa lain, justru akan berisiko membuat pelaku besar kepala, dan bahkan bukan tak mungkin malah berpotensi mengarah ke perundungan lanjutan. Teguran kepada pelaku perlu dilakukan secara proporsional dan lebih kepada sanksi sosial yang mendidik daripada sanksi yang sifatnya menghukum.

 

Sumber: https://www.kompas.id/baca/opini/2024/02/21/aksi-perundungan-siswa-semakin-mencemaskan?open_from=Opini_Page%3Fstatus%3Dsukses_login%3Fstatus_login%3Dl...