BEKERJA DAN BERBAKTI UNTUK KEMAJUAN KTI

Ada Ketimpangan Dibalik Pekerja Udang Perempuan

Oleh: Bintang W. Putra

Sekilas pekerjaan di tambak udang terlihat seperti pekerjaan laki-laki karena didominasi oleh kerja fisik seperti menghidupkan kincir, perawatan, panen hingga mengangkutnya ke pengepul. Akan tetapi, sektor ini bukan berarti tidak melibatkan tenaga perempuan di dalamnya.

Dalam melakukan pekerjaan di tambak udang pekerja perempuan justru kerap mengalami beban kerja ganda. Seperti yang dialami petambak perempuan di Dipasena dan Bratasena, selain mengurusi tambak mereka juga harus mengurus anak-anak, mencari pinjaman modal, hingga melakukan pekerjaan tambahan. Di urusan domestik pekerja tambak perempuan sudah disibukkan dengan membersihkan rumah, menyiapkan sarapan, mengantar anak sekolah baru kemudian bekerja di tambak.

Di Indonesia, peran perempuan di lokasi tambak berbeda-beda. Di Sulawesi, tambak udang masih didominasi oleh laki-laki. Mulai dari pengelolaan tambak, perawatan, pembersihan hingga pemerilahaan. Perempuan biasanya hanya bertugas membawa hasil panen udang ke pengepul untuk dijual.

Sedangkan di Jawa Timur, peran petambak perempuan lebih banyak di posisi pengelolaan keuangan. Perempuan jarang bekerja di lokasi tambak, tapi lebih banyak di ruang pengolahan udang seperti di ruang penyimpanan dan pendinginan (cold storage).

Meski begitu, dalam rantai pasok industri udang peran perempuan sebenarnya sangat sentral. Tidak jarang perempuan berperan dalam pengelolaan tambak, membantu dalam memastikan pembenihan, aliran air, dan kelola tambak lainnya. Perempuan menempati hampir setiap titik rantai pasok. Jika ditotal petambak perempuan bekerja hingga 17 jam per hari. Jika petambak laki-laki tidak hadir, maka posisinya juga diganti oleh perempuan. Tambak udang harus selalu diawasi karena ketika terjadi masalah harus segera ditangani, jika tidak akan berpengaruh pada hasil panen.

Peran sentral yang dimiliki petambak perempuan tidak membuat mereka punya posisi strategis dalam hal penentuan harga jual dan pengambilan keputusan. Di Bratasena hak perempuan dalam proses pengambilan keputusan masih sangat minim, bahkan di Dipasena perempuan tidak dilibatkan dalam penentuan harga.

Hak Petambak Perempuan yang Direnggut
Selain soal peran dan posisi perempuan yang tidak seimbang, ada aspek lain yang tidak kalah penting untuk diperhatikan mengenai hak petambak perempuan. Hal tersebut diantaranya kebersihan tempat kerja, faktor fisik, pengaruh bahan kimia dan biologi yang berpotensi mengganggu kesehatan pekerja perempuan.

Faktor lain yang menjadi kendala di lingkungan kerja adalah proses lantai ruang produksi udang yang licin karena penggunaan air yang banyak. Kondisi ini bisa berbahaya dan mengganggu keselamatan kerja. Di dalam ruang produksi udang biasanya terdiri dari beberapa unit atau posisi, seperti bagian pencucian udang, pemilahan atau penyortiran, pengupasan, pengukusan udang, pengemasan udang segar, pengolahan pastel udang hingga penyimpanan di gudang.

Dari tahap pencucian sampai ke gudang penyimpanan, pekerja akan melewati kolam air dangkal yang mengandung klorin. Ruang kerja dibuat kedap udara karena ruangan menggunakan pendingin ruangan. Penggunaan klorin yang tinggi bisa menimbulkan masalah kesehatan berupa pusing, sakit kepala, mual bahkan lelah dan batuk.

Seorang pekerja udang harus mengupas setidaknya 950 udang/jam nonstop untuk mendapatkan upah minimum. Hal ini tentu sangat memprihatinkan dan tidak mencerminkan pengelolaan bisnis yang etis dan berkelanjutan. Fenomena seperti ini yang kini membuat beberapa negara importir seperti Jepang dan negara-negara Uni Eropa hanya mengizinkan produsen udang yang etis dan bebas pelanggaran HAM untuk memasuki pasar pangan mereka.

Sangat disayangkan bahwa masih banyak produsen atau pabrik pengolahan udang yang belum memikirkan kondisi ruang kerja yang nyaman dan layak bagi pekerja udang perempuan. Toilet yang tidak memadai bagi pekerja perempuan, pekerja yang dilarang untuk buang air atau bahkan larangan hamil bagi perempuan untuk bisa bekerja tentu tidak sesuai dengan prinsip etis bisnis dan hak asasi manusia.

Saat ini Indonesia merupakan peringkat ke 4 eksportir terbesar udang di dunia. Kalau para pelaku bisnis udang di negara kita bisa lebih paham dan sadar akan pentingnya menjaga bisnis yang etis dan berkelanjutan, menurut kamu mungkin nggak sih kita raih peringkat satu dalam liga ekspor udang ini?

Industri Udang Masih Belum Aman bagi Perempuan
Peran antara pekerja laki-laki dan perempuan di industri udang sebenarnya sama-sama signifikan, tapi yang dominan tetaplah pekerja laki-laki. Padahal, menurut hasil riset Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) pada 2014, jumlah pekerja perempuan di sektor perikanan mencapai 3,9 juta orang. Pekerja perempuan berperan dalam kegiatan menangkap atau memanen ikan hingga terlibat dalam pascapanen

Kegiatan pasca panen mencakup pengolahan hingga pemasaran hasil tambak. Di kegiatan pascapanen peran perempuan justru lebih banyak dilibatkan. Berdasarkan data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) tahun 2016 menyebutkan petambak perempuan lebih banyak dibanding laki-laki. Dari total 6 juta pekerja dalam kegiatan pascapanen, 61 persen atau sekitar 3,6 juta adalah perempuan.

Akan tetapi, besarnya peran perempuan tersebut tidak sebanding dengan upah dan perlindungan yang layak. Menurut survey yang dilakukan oleh INFID (2022) menunjukkan bahwa meskipun peran perempuan dalam industri tambak udang dua kali lebih tinggi dari laki-laki, tapi penghasilannya masih 36 persen lebih rendah. Hal ini menjadi bukti bahwa peran perempuan belum diapresiasi dengan layak.

Perlunya Keadilan Gender di Sektor Perikanan

Prinsip keadilan gender penting dimasukkan dalam pengelolaan perikanan karena perempuan menjadi salah satu pelaku utama di sektor perikanan dan tambak udang. Kiprah perempuan dapat memberikan kontribusi ekonomi yang tinggi.

Pendekatan keadilan gender bisa jadi solusi dalam pengelolaan perikanan yang berkelanjutan. UNESCO dalam Gender Mainstreaming Implementation Framework (2003) menyebutkan keadilan gender sebagai proses bersikap adil terhadap laki-laki dan perempuan. Untuk memastikan keadilan harus diambil langkah-langkah tertentu untuk mengimbangi kerugian historis dan sosial yang selama ini ada untuk memastikan laki-laki dan perempuan setara.

Untuk mengatasi ketimpangan laki-laki dan perempuan di sektor perikanan, perlu dorongan dan dukungan ekstra untuk meningkatkan apresiasi kepada perempuan. Selain itu, diperlukan juga cara khusus dan inovatif yang mengedepankan perspektif gender dan mengutamakan kepentingan perempuan didalamnya. Dengan begitu, kesetaraan dan pemenuhan hak perempuan di sektor perikanan dapat terwujud.

Referensi:

● Eva Medianti. 2022. Menghapus Bias Gender di Pesisir Indonesia. Mongabay.com. https://www.mongabay.co.id/2022/03/06/menghapus-bias-gender-di-pesisir-indonesia/

● INFID. 2022. Laporan Akhir Bisnis dan HAM di Sektor Perikanan: Dukungan dan Peran Pemangku Kepentingan Terhadap Sektor Budidaya Udang. INFID, Jakarta.

● KIARA. 2014. Nasib Perempuan Nelayan.

● UNESCO. 2003. Gender Mainstreaming Implementation Framework. http://www.kiara.or.id/2014/05/28/nasib-perempuan-nelayan/

● Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2021.

● Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. 2016.

Sumber: https://www.infid.org/publication/read/ada-ketimpangan-dibalik-pekerja-udang-perempuan