“Saya mau jadi ketua KPL karena anak saya. Anak saya yang telah duduk di kelas 2 SMP belum bisa membaca dengan lancar dan ini baru saya ketahui ketika anak saya ditugaskan di gereja untuk membaca injil-saat ibadah hari minggu,” demikian Pak Rabu (46 tahun) bercerita tentang anaknya.
Dia sedih karena anaknya membaca injil dengan terbata-bata, sehingga mengganggu umat yang ingin mendengarkan bacaan injil dengan jelas. Sebagai seorang pemimpin umat/ masyarakat yang beragama Khatolik di desanya dan sebagai seorang ayah, Pak Rabu merasa malu.
Dengan adanya Program Rintisan KIAT Guru di desanya, dia merasa senang dan melihat ini sebagai sebuah kesempatan untuk berpartisipasi dalam meningkatkan kualitas pendidikan di desanya termasuk anaknya sehingga kemampuan anak-anak dalam bidang pendidikan berkembang sesuai jenjangnya.
Kualitas Pendidikan Anak (juga) Tanggungjawab Kami
Bapak dua anak ini bercerita bahwa dengan adanya Program RIntisan KIAT Guru, masyarakat di desanya menyadari bahwa pendidikan sangat penting. Di desanya ada perusahaan sawit, tetapi untuk bisa diterima sebagai pekerja, minimal mereka harus dapat membaca dan menulis, bahkan untuk berpartisipasi dalam hal atau kegiatan terkecil dalam desa pun minimal mereka harus bisa membaca dan menulis. Hal ini turut memancing anggota masyarakat yang sudah lanjut usia bahkan ada yang sudah memiliki cucu terpacu ingin sekolah lagi dengan mengikuti Program Kejar Paket A dan B. Untuk saat ini mereka masih harus ke kabupaten Sekadau yang cukup jauh dari desa pak Rabu.
Pak Rabu adalah panggilan akrab Pak Antonius Nanu. Belia adalah Ketua Kelompok Pengguna Layanan (KPL) di SDN Sinar Kasih di Desa Sinar Pekayau Kecamatan Sepauk Kabupaten Sintang Kalimantan Barat. Pekerjaan sehari-harinya sebagai petani karet, di mana sebelumnya pernah bekerja di perkebunan sawit.
Di usianya yang paruh baya, Bapak dua anak ini bercita-cita agar Dinas Pendidikan dapat membuka Program Kelompok Belajar (Kejar) Paket A, B, dan C di desanya untuk membantu para pemuda dan orang tua yang ingin melanjutkan pendidikannya. Apalagi di desanya ada perkebunan sawit yang memberi peluang warga lokal untuk bekerja di sana, sayangnya banyak yang tidak bisa diterima karena tidak memiliki ijazah setingkat SMA, SMP bahkan SD, akhirnya warga luar yang lebih banyak diterima.
Harapan lainnya, kiranya lembaga sekolah SMP dan SMA di Sekadau dapat meniru pembelajaran dari KIAT Guru. “Bukan hanya di SD banyak guru mangkir, di SMP dan SMA juga sering terjadi,” harapnya.