Di usianya yang ke-74 tahun, Bapak Gilbert tetap energik memimpin Kelompok Pengguna Layanan (KPL) yang dipercayakan kepadanya oleh masyarakat di Desa yang pernah 3 kali dipimpinnya. Dia tak ragu menerima kesepakatan warga. Meskipun ada yang meragukan usianya yang tak lagi muda, tapi dia percaya bahwa semangat muda jauh lebih penting daripada usia yang menua.
Baginya, inilah kesempatan baik meneruskan perjuangan mewujudkan mimpinya untuk melihat masa depan anak-anak kampungnya memperoleh pendidikan yang lebih baik. Pada masa kepemimpinannyalah di tahun 1980-an, Bapa Gaba-panggilan akrabnya yang menginisiasi terbangunnnya sekolah di desanya. Sebelum ada sekolah, anak-anak desa Rondo Woing harus berjalan jauh ke desa tetangga 2 jam lamanya melewati 3 anak sungai untuk sampai di sekolah.
Pada setiap kesempatan bertemu pejabat di kabupaten, dia tak henti menyuarakan aspirasi warganya agar dapat didirikan sekolah. Dia iri pada tetangga desanya yang bisa memiliki 2-3 sekolah, sementara di desanya tak satupun gedung sekolah berdiri. Setelah memperoleh tanggapan positif dari Kabupaten, mulailah Bapa Gaba mengumpulkan para pemuka adat untuk bermusyawarah membahas pengadaan lahan bagi pendirian sekolah. Tidak mudah meyakinkan warga menyerahkan tanah adatnya, sesuatu yang kemudian menimbulkan masalah di kemudian hari yang hampir merenggut nyawanya.
“Hampir 2 tahun saya berjuang mempertahankan tanah sekolah dari tuntutan ahli waris yang ingin mengambil kembali tanah orang tuanya, hingga berujung pada ancaman bagi nyawa saya. Tapi saya tak gentar. Saya siap menyerahkan nyawa saya, asal gedung sekolah tetap berdiri kokoh,” kisahnya dengan tegang. Kini, warga yang pernah menentang dan menuntut pengembalian tanahnya, telah menikmati perjuangan Pak Gaba. Anak-anak mereka bisa lebih mudah mengakses pendidikan, bukan hanya tingkat SD, bahkan SMP-pun telah berdiri. Beberapa sanak saudara mereka juga ada yang menjadi guru. “Saya selalu terharu bila menceritakan kisah ini,”ungkapnya.
Bapa Gaba berterima kasih atas terpilihnya Desa Rondo Woing, kecamatan Rana Mese, kabupaten Manggarai Timur, provinsi Nusa Tenggara Timur sebagai salah satu lokasi program KIAT Guru. Bapak Gaba menyukai metode pendekatan Program KIAT Guru yang mendorong partisipasi semua pihak. “Ada Pemerintah Desa, ada Masyarakat, dan ada juga pihak sekolah. Jadi kami bisa bekerjasama,” ujarnya.
Menurut Bapa Gaba, Sekolah Dasar merupakan dasar dari pendidikan berikutnya untuk lanjut ke SMP, SMA, hingga Perguruan Tinggi. Sehingga penguatan pendidikan anak-anak seharusnya memang dimulai dari dasar. “Setelah dua kali (dua bulan) penilaian, sudah dapat dilihat langsung perubahan pelayanan di sekolah. Kehadiran guru-guru makin meningkat. Dulu mereka bisa datang sesuka hatinya, tapi sekarang dengan adanya janji layanan, kehadiran mereka rata-rata mencapai 99%, bahkan ada 3 guru dari 11 guru yang mencapai 100 % kehadiran,”.
Kepala Desa Rondo Woing, Inosensius Jemadu mengungkapkan kekagumannya pada Bapa Gaba, betapa terbantunya dia saat memulai kepemimpinan di desa yang dijabatnya pada tahun 2013 lalu. “Saya banyak belajar kepada Bapa Gaba bagaimana memahami kondisi desa, mengerti kebutuhan warganya, dan memperjuangkan aspirasi mereka. Dia bersyukur bahwa pada keanggotaan KPL Desa Rondo Woing ada 2 orang mantan Kepala Desa yang bergabung. Ini bukti bahwa “konfilik” akibat Pilkades tercairkan saat kepentingan masa depan pendidikan anak-anak menjadi isu perjuangan. “Kini KIAT Guru telah menyatukan semua pihak untuk memikirkan bersama kemajuan pendidikan di kampung, namun saya berharap metode ini bukan hanya diterapkan di SD, tapi juga di SMP,” harap Pak Inosius.
Di sisa usianya, Bapa Gaba yang hidup bersama isterinya dan seorang anak angkat, ingin mendarmabaktikan hidupnya buat masyarakat. Sepanjang hidupnya, dia telah menunjukkan dedikasi terbaiknya untuk desa. Berawal sebagai Sekretaris Desa, kemudian naik menjadi Kepala Desa pada tahun 1973, lalu terpilih kembali pada periode berikutnya. Namun untuk periode ketiga terhenti oleh aturan jabatan hanya 2 periode. Setelah itu, pada tahun 1999 maju kembali dan terpilih, dan setelah itu dia menyerahkan kepemimpinan kepada yang lebih muda.
Dengan 3 periode kepemimpinan itu, dia merasa belum maksimal memperjuangkan nasib warganya yang belum semua menikmati aliran listrik. Dari 3 dusun yang ada di Desa Rondo Woing, baru 2 desa yang mendapat aliran listrik dari PLTMH (Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro) itupun hanya terbatas pada jam-jam tertentu. Selain itu, ada 1 dusun terpencil yang letaknya cukup jauh dari sekolah, dan dia masih punya utang untuk membuatkannya RKT (Ruang Kelas Tambahan), agar anak-anak itu tidak perlu berjalan 3 km melewati lembah, sungai dan jalan berbatu menuju sekolah utama di subuh hari.
Melalui Kepala Desa yang baru, Bapa Gaba menitipkan impian besarnya itu. Kiranya tak ada lagi anak-anak yang kesulitan belajar di malam hari karena tidak ada penerangan yang cukup. Anak-anak tidak perlu berjalan jauh saat matahari belum muncul di ufuk barat, meninggalkan rumahnya ke sekolah tanpa sarapan. Selain itu, impian terakhirnya adalah segera dibukanya PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini) di desanya melalui dukungan penganggaran dari APBDes. “Kita boleh tinggal di kampung terpencil, tapi pikiran kita tidak boleh terkucil,”pungkasnya.
Semoga terwujud ya Pak. Sehat senantiasalah selalu. “Benar Pak, usia boleh menua, tapi semangat harus tetap muda!”