Permendagri No. 37 Tahun 2010 dan RK BMD dan RKP BMD
Sebagaimana diketahui bahwa, Permendagri No. 37 Tahun 2010 tentang Pedoman Penyusunan APBD TA 2011 menjadi acuan bagi Pemerintah daerah dalam menyusun APBD TA 2011. Pertanyaan adalah : Apakah Pemerintah Daerah dalam menyusun APBD selama ini sudah melaksanakan amanah PP No. 6 Tahun 2006 dan Permendagri No. 17 Tahun 2007 terkait penysunan Rencana Kebutuhan Barang Milik Daerah (RK BMD) dan Rencana Kebutuhan Pemeliharaan Barang Milik Daerah (RKP BMD) sebagai dasar penyusunan RKA-SKPD? Kalau belum, “Apakah Permendagri No. 37 Tahun 2010 telah mengakomodir atau memberikan penegasan supaya Pemda menyusun RK BMD dan RKP BMD dan menjadikan dasar dalam penyusunan RKA-SKPD ?â€
Sebagaimana diketahui, bahwa Menteri Dalam Negeri dalam 4 tahun terakhir telah menerbitkan Permendagri tentang Pedoman Penyusunan APBD. Adakah Permendagri tentang Pedoman Penyusunan APBD tersebut telah menegaskan agar pemerintah daerah menyusun RK BMD dan RKP BMD sebagai dasar dalam penyusunan RKA-SKPD?
Permendagri 26/2006 menyatakan :
Belanja Barang dan Jasa :
Penyediaan anggaran untuk belanja barang pakai habis agar disesuaikan dengan kebutuhan nyata dalam rangka melaksanakan tugas dan fungsi Satuan Kerja Perangkat Daerah, dengan mempertimbangkan jumlah pegawai dan volume pekerjaan. Oleh karena itu, perencanaan pengadaan barang agar didahului dengan evaluasi persediaan barang serta barang dalam pemakaian;
Belanja Modal :
a) Belanja modal merupakan pengeluaran yang dianggarkan untuk pembelian/pengadaan aset tetap dan aset lainnya untuk digunakan dalam kegiatan pemerintahan yang memiliki kriteria sebagai berikut :
(1) Masa manfaatnya lebih dari 12 (dua belas) bulan;
(2) Merupakan objek pemeliharaan;
(3) Jumlah nilai rupiahnya material sesuai dengan kebijakan akuntansi.
b) Pengadaan software dalam rangka pengembangan sistem informasi manajemen dianggarkan pada belanja modal.
Permendagri 30/2007 menyatakan :
Belanja Barang dan Jasa
Penyediaan anggaran untuk belanja barang pakai habis agar disesuaikan dengan kebutuhan nyata dalam rangka melaksanakan tugas dan fungsi Satuan Kerja Perangkat Daerah, dengan mempertimbangkan jumlah pegawai dan volume pekerjaan. Oleh karena itu, perencanaan pengadaan barang agar didahului dengan evaluasi persediaan barang serta barang dalam pemakaian;
Belanja Modal
Belanja modal digunakan untuk pengeluaran yang dilakukan dalam rangka pembelian/pengadaan atau pembangunan aset tetap yang digunakan dalam kegiatan pemerintahan seperti dalam bentuk tanah, peralatan dan mesin, gedung dan bangunan, jalan, irigasi dan jaringan aset tetap lainnya, yang memiliki kriteria sebagai berikut: (1) masa manfaatnya lebih dari 12 (dua belas) bulan;
(2) merupakan objek pemeliharaan;
(3) jumlah nilai rupiahnya material sesuai dengan kebijakan akuntansi.
Pengadaan software dalam rangka pengembangan sistem informasi manajemen dianggarkan pada belanja modal. Permendagri 32/2008
Belanja Barang dan Jasa
Dalam menetapkan jumlah anggaran untuk belanja barang pakai habis agar disesuaikan dengan kebutuhan riil dan dikurangi dengan sisa barang persediaan Tahun Anggaran 2008. Untuk menghitung kebutuhan riil disesuaikan dengan pelaksanaan tugas dan fungsi SKPD, dengan mempertimbangkan jumlah pegawai dan volume pekerjaan;
Belanja Modal
Dengan ditetapkannya Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 59 Tahun 2007, maka untuk penganggaran belanja modal tidak hanya sebesar harga beli/bangun aset tetapi harus ditambah seluruh belanja yang terkait dengan pengadaan/pembangunan aset sampai aset tersebut siap digunakan.
Permendagri 25/2009
Belanja Barang dan Jasa
Dalam menetapkan jumlah anggaran untuk belanja barang pakai habis agar disesuaikan dengan kebutuhan riil dan dikurangi dengan persediaan Tahun Anggaran 2009. Untuk menghitung kebutuhan riil disesuaikan dengan pelaksanaan tugas dan fungsi SKPD, dengan mempertimbangkan jumlah pegawai dan volume pekerjaan.
Belanja Modal
Dalam menetapkan anggaran untuk pengadaan barang inventaris agar dilakukan secara efektif sesuai kebutuhan masing-masing SKPD. Oleh karena itu sebelum merencanakan anggaran terlebih dahulu dilakukan evaluasi dan pengkajian terhadap barang-barang inventaris yangtersedia baik dari segi kondisi maupun umur ekonomisnya.
Jika dicermati, untuk setiap tahun anggaran, tidak banyak perubahan yang mendasar terkait penetapan belanja barang pakai habis dan barang inventaris. Hal yang sama juga pada Permendagri No. 37/2010.
Selanjutnya, lampiran Permendagri No. 37/2010 terkait dengan RK BMD dan RKP BMD sebagai dasar penyusunan APBD menyatakan bahwa :
Dalam menetapkan jumlah anggaran untuk belanja barang pakai habis agar disesuaikan dengan kebutuhan riil dengan memperhitungkan sisa persediaan barang Tahun Anggaran 2010. Untuk menghitung kebutuhan riil disesuaikan dengan pelaksanaan tugas dan fungsi SKPD, dengan mempertimbangkan jumlah pegawai dan volume pekerjaan. Dalam menetapkan anggaran untuk pengadaan barang inventaris agar dilakukan secara selektif sesuai kebutuhan masing-masing SKPD. Oleh karena itu sebelum merencanakan anggaran terlebih dahulu dilakukan evaluasi dan pengkajian terhadap barang-barang inventaris yang tersedia baik dari segi kondisi maupun umur ekonomisnya. Apakah pihak-pihak terkait dalam penyusunan APBD menerjemahkan dan / atau memahami Lampiran Permendagri Penyusunan APBD terkait penetapan belanja barang pakai habis dan barang inventaris tersebut sama dengan yang dimaksudkan dengan RK BMD dan RKP BMD pada PP 6/2006 dan Permendagri 17/2007 ?
Kalau tidak sama, apakah Pemerintah daerah akan melakukan sebagaimana yang diamanahkan Permendagri Penyusunan APBD tersebut? Disisi lain juga harus menyusun RK BMD dan RKP BMD sebagai amanah pada PP 6/2006 dan Permendagri 17/2007?.
Bilamana BPK dalam melakukan audit kepada Pemerintah Daerah menemukan :
Tidak menyusun RK BMD dan RKP BMD Menyusun RK BMD dan RKP BMD tetapi tidak digunakan sebagai dasar dalam Penyusunan RKA-SKPD Menyusun RK BMD dan RKP BMD tetapi tidak digunakan â€sepenuhnya†sebagai dasar dalam Penyusunan RKA-SKPD Bagaimana sikap BPK terhadap ketiga keadaan hal tersebut diatas?
Dapatkah ketiga point a), b), c) diatas menjadi salah satu indikasi bagian dari korupsi yang telah direncanakan, jika dikemudian hari muncul belanja barang/jasa atau belanja modal yang sebelumnya tidak pernah dianggarkan dalam RK BMD tetapi dalam pelaksanaan lelang pengadaan barang/jasa atau pelaksanaan anggaran tersebut terjadi â€dugaan†korupsi?
Terkait dengan Perda Bermasalah, 14 Perda dilarang berlaku di Sulut
Kurangnya pengkajian dalam pembentukan Peraturan Daerah (Perda) membuat Kementrian Dalam Negeri (Kemendagri) melarang penerapan 14 Perda di Sulut. Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR Sulut Victor Mailangkay mengatakan, alasan tidak bisa diterapkan Perda tersebut karena tak ada kajian matang saat dibentuk.
ÂSeharusnya dalam menerbitkan Perda harus ada kajian komprehensif dan mendasar agar produk Perda berkualitas,tukasnya. Meskipun tak membeberkan Perda apa saja yang dilarang, politisi dari Partai Golkar ini menjelaskan Perda akan bertahan lama dan tidak dilarang penerapannya jika melalui tahapan Program Legislasi Daerah (Prolegda). Semua perda terutama Perda non APBD akan dikaji komprehensif melalui naskah akademis, jelasnya. Dikatakan Mailangkay, pengkajian yang cermat dengan menggunakan aspek filosofis, sosiologis, yuridis dan ekonomis, maka akan menghasilkan Perda yang benar-benar bisa diterapkan. â€ÂJika Ranperda sudah dibentuk, harus lakukan uji publik sebelum disampaikan ke legislatif untuk dibahas sesuai dengan tahapan dan mekanisme pembahasan yang diatur dalam tatib dewan, tandasnya. (gel/lee)
Mengikuti berita mengenai 407 Perda Bermasalah, menarik sekali melihat garis merah betapa perda-perda bermasalah mempengaruhi potensi keuangan daerah. Ikuti rangkaian berita mengenai Perda Bermasalah.
Bagaimana perda-perda bermasalah ini, mempengaruhi potensi keuangan provinsi, di satu sisi, sedang di sisi lain para pihak yang secara langsung terlibat dengan pembuatan kebijakan, memiliki prioritas yang berbeda.
Manajemen Kuangan Publik memiliki beberapa dimensi: salah satunya framework regulasi.
Framework regulasi ini, memetakan saling keterkaitan antara fungsi elemen eksekutif maupun legislatif pemerintahan.Juga bagaimana keputusan-keputusan manajerial mengalami proses-prose politisasi.
Untuk memenuhi amanat Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 58 Tahun 2005 dalam pasal 34 ayat (2), maka Menteri Dalam Negeri setiap tahun menerbitkan Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) tentang Pedoman Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Untuk tahun anggaran 2010, telah diterbitkan Permendagri Nomor 25 Tahun 2009. Selanjutnya untuk pedoman penyusunan APBD Tahun Angaran 2011 juga telah diterbitkan Permendagri, yaitu Permendagri Nomor 37 Tahun 2010 tanggal 22 Juni 2010 tentang Pedoman Penyusunan APBD Tahun Anggaran 2011.
Permendagri Nomor 37 Tahun 2010 tersebut seperti pada Permendagri tentang pedoman penyusunan APBD pada tahun-tahun anggaran sebelumnya isinya mencakup tantangan dan kebijakan pembangunan, pokok-pokok kebijakan penyusunan APBD, teknis penyusunan APBD, dan hal-hal khusus.
Lalu apa yang baru dengan Permendagri Nomor 37 tahun 2010 tersebut? Setelah dicermati ada beberapa catatan yang menurut Pakde perlu mendapat perhatian dalam penyusunan dan pelaksanaan APBD, yaitu:
Pemerintah Daerah dilarang melakukan pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah apabila peraturan daerahnya telah dibatalkan dan/atau jenis pajak daerah dan retribusi daerah tersebut tidak diamanatkan dalam UU Nomor 28 tahun 2009. Dalam hal jenis pajak daerah dan retribusi daerah yang sudah diamanatkan dalam UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan retribusi Daerah, penetapan target pendapatannya pada tahun anggaran 2011 sesuai dengan ketentuan pada Pasal 180 UU dimaksud, masih mengacu pada Peraturan Daerah yang ada.
Belanja Hibah dari Pemda kepada Instansi Vertikal, mekanisme panganggaran dan pemberiannya mengacu pada ketentuan pengelolaan keuangan daerah, dan bagi instansi penerima dalam pelaksanaan dan pertanggungjawabannya memperhatikan Peraturan Menteri Keuangan terkait hibah daerah.
Penganggaran belanja barang modal yang akan diserahkan kepemilikannya kepada pihak ketiga/masyarakat pada tahun anggaran berkenaan, dialokasikan pada belanja barang dan jasa.
Penerimaan kembali pokok pinjaman dana bergulir setelah selesai masa perguliran dana, dianggarkan dalam APBD pada akun pembiayaan, kelompok penerimaan pembiayaan daerah, jenis penerimaan kembali pinjaman daerah, sesuai dengan obyek dan rincian obyek berkenaan.
Dalam rangka pelaksanaan perjalanan dinas untuk kegiatan yang mengikutsertakan personil non PNSD (seperti staf khusus, Kepala Desa, kelompok tani, murid teladan), dapat menugaskan personil yang bersangkutan dengan menggunakan belanja perjalanan dinas. Tata cara penganggaran dan pelaksanaan perjalanan dinas mengacu pada ketentuan perjalanan dinas yang ditetapkan dengan Peraturan Kepala Daerah.
Dalam rangka evaluasi terhadap konsistensi perencanaan dan penganggaran, maka pemerintah Provinsi, Kabupaten/Kota pada saat menyampaikan rancangan APBD untuk dievaluasi agar melampirkan RKPD tahun 2011.
Dalam rangka pemetaan dan evaluasi efektifitas pelaksanaan sinkronisasi prioritas kebijakan dan program daerah, pemerintah daerah diharapkan menyampaikan laporan sinkronisasi prioritas nasional dengan prioritas pemerintah daerah.
Sehubungan dengan angka 2 di atas, setelah Pakde cermati Peraturan Menteri Keuangan Nomor 168/PMK.07/2008 tanggal 6 November 2008 tentang Hibah Daerah, khususnya pasal 26 ayat (2) disebutkan bahwa penyaluran hibah berupa uang dari Pemerintah Daerah kepada Pemerintah (maksudnya instansi vertikal) dilakukan dengan pemindahbukuan dari Rekaning Kas Umum Daerah (RKUD) ke Rekening Kas Umum Negara (RKUN). Dari maksud peraturan tersebut jelas bahwa Pemda tidak diperkenankan memberikan uang tunai langsung kepada Instansi vertikal (Polda, Kejaksaan, Polres, Kodim, Kantor Pertanahan, Kantor Kementrian Agama dll).
Lalu bagaimana Pemerintah Daerah harus bersikap terhadap ketentuan ini? Karena dalam prakteknya Instansi Vertikal di daerah kadang kala (kalau tidak boleh disebut sering) mengajukan permohonan untuk membiayai pelaksanaan tugas-tugasnya di daerah, dan dana tersebut maunya diterima langsung berbentuk tunai kepada Instansi vertikal tersebut. Seharusnya dalam hal ini menjadi perhatian pemerintah pusat bahwa segala bentuk biaya dalam pelaksanaan tupoksi instansi vertikal di daerah dibebankan ke dalam APBN dan tidak "minta-minta" kepada Pemerintah Daerah.
Selanjutnya untuk catatan nomor 5, menurut Pakde ketentuan tentang pembebanan perjalanan kelompok tani dan murid teladan dengan menggunakan belanja perjalanan dinas, adalah kurang tepat. Kalau staf khusus, Kepala Desa dan pegawai Non PNSD bisa dimaklumi biaya perjalanannya dibebankan kepada belanja perjalanan dinas, karena mereka adalah pegawai. Sedangkan kelompok tani dan murid teladan bukan pegawai, baik sebagai pegawai Non PNSD maupun (apalagi) PNSD. Menurut hemat Pakde untuk kelompok tani dan murid teladan lebih tepat dibuat kode rekening baru dan dibebankan pada belanja transportasi dan akomodasi. Pembuatan kode rekening baru dimungkinkan sesuai dengan maksud pasal 77 ayat (12) Permendagri Nomor 59 Tahun 2007.
Demikian beberapa catatan yang Pakde buat terhadap Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 37 Tahun 2010 tentang Pedoman Penyusunan APBD Tahun Anggaran 2011. Semoga bermanfaat. Jika ada yang ingin mendownload Permendagri tersebut, silahkan klik di sini.
Pemerintah mengumumkan kebijakan Moratorium untuk PNS. Apa itu Moratorium?
Dalam suatu bidang hukum, moratorium (dari Latin, morari yang berarti penundaan) adalah otorisasi legal untuk menunda pembayaran utang atau kewajiban tertentu selama batas waktu yang ditentukan. Istilah ini juga sering digunakan untuk mengacu ke waktu penundaan pembayaran itu sendiri, sementara otorisasinya disebut sebagai undang-undang moratorium. Undang-undang moratorium umumnya ditetapkan pada saat terjadinya tekanan berat secara politik atau komersial, misalnya,, pemerintah Perancis mengundangkan undang-undang moratorium.
Dengan difinisi dan kebijakan moratorium PNS yang diambil pemerintah, maka moratorium PNS yang akan berlaku 1 September 2011 nanti,maka Indonesia ada dalam tekanan berat secara komersil. Apakah keputusan ini terkait dengan alokasi belanja modal dan belanja pegawai? atau kebijakan ini terkait dengan strategi pembayaran utang..?
Tanggapan terhadap pidato kenegaraan Presiden Susilo Bambang Yudono, apakah berkaitan dengan keputusan moratorium iini?
Jakarta, Kompas – Dewan Perwakilan Daerah akan menyampaikan draf perubahan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang telah selesai disusun dalam rapat konsultasi dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Selasa (26/7). Salah satu masalah penting yang diusulkan dalam draf revisi UU Pemda itu adalah perlakuan khusus untuk daerah kepulauan.
Ketentuan mengenai daerah kepulauan tersebut diatur dalam Pasal 175 draf Rancangan Undang-Undang perubahan atas UU Pemda yang disusun Dewan Perwakilan Daerah (DPD). â€Pasal itu mengatur bahwa daerah kepulauan mendapatkan insentif khusus dalam hak dana Alokasi Umum (DAU),†kata Ketua Tim Kerja Penyusunan RUU perubahan UU Pemda DPD Emanuel B Eha, Senin (25/7).
Kriteria daerah kepulauan, sebagaimana disebutkan dalam pasal itu, adalah provinsi yang memiliki wilayah lautan lebih luas dari daratan, yang di dalamnya terdapat pulau-pulau atau bagian pulau yang membentuk satu gugusan pulau.
Penetapan DAU untuk daerah kepulauan tidak lagi menggunakan pertimbangan luas wilayah daratan dan jumlah penduduk saja, tetapi juga luas wilayah laut. Perlakuan khusus itu diusulkan mengingat kebutuhan daerah kepulauan berbeda dengan daerah daratan. Biaya operasional yang dibutuhkan untuk menjalankan pemerintahan dan pembangunan pun lebih tinggi dibanding daerah daratan.
Emanuel mengatakan, ada tujuh daerah kepulauan yang harus mendapatkan perlakuan khusus, yaitu Provinsi Kepulauan Riau, Maluku, Maluku Utara, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Utara, Bangka Belitung, dan Nusa Tenggara Barat.
â€Ada satu lagi tambahan, yakni DKI Jakarta. Pemprov DKI Jakarta minta dimasukkan jadi daerah kepulauan karena punya Kepulauan Seribu,†ujarnya.
Secara terpisah, peneliti senior Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Siti Zuhro, sependapat jika daerah kepulauan diberikan perlakuan khusus. Pasalnya, daerah kepulauan memiliki tantangan berbeda dengan daerah daratan, terutama dalam masalah infrastruktur serta transportasi.
Perlakuan khusus itu, lanjut Siti, bukan hanya dalam penetapan anggaran. Akan lebih baik apabila daerah kepulauan juga diberi kewenangan khusus, misalnya dalam pengelolaan potensi maritim. (nta)
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PELAKSANAAN TUGAS DAN WEWENANG SERTA KEDUDUKAN KEUANGAN GUBERNUR
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PELAKSANAAN TUGAS DAN WEWENANG SERTA KEDUDUKAN KEUANGAN GUBERNUR SEBAGAI WAKIL PEMERINTAH DI WILAYAH PROVINSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 38 ayat (3) dan ayat (4) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Tata Cara Pelaksanaan Tugas dan Wewenang serta Kedudukan Keuangan Gubernur sebagai Wakil Pemerintah di Wilayah Provinsi.
Mengingat :
Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4286); Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4400); Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844); Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4438); Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2008 tentang Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 20, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4816);
MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG TATA CARA PELAKSANAAN TUGAS DAN WEWENANG SERTA KEDUDUKAN KEUANGAN GUBERNUR SEBAGAI WAKIL PEMERINTAH DI WILAYAH PROVINSI. BAB I KETENTUAN UMUM
Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Pemerintah Pusat, selanjutnya disebut Pemerintah, adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 2. Pemerintahan daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 3. Pemerintah daerah adalah gubernur, bupati, atau walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah. 4. Wilayah provinsi adalah wilayah administrasi yang menjadi wilayah kerja gubernur. 5. Koordinasi adalah upaya yang dilaksanakan oleh gubernur sebagai wakil Pemerintah guna mencapai keterpaduan baik perencanaan maupun pelaksanaan tugas serta kegiatan semua instansi vertikal tingkat provinsi, antara instansi vertikal dengan satuan kerja perangkat daerah tingkat provinsi, antarkabupaten/kota dalam provinsi yang bersangkutan, serta antara provinsi dan kabupaten/kota agar tercapai efektifitas dan efisiensi penyelenggaraan pemerintahan. 6. Pembinaan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah adalah upaya yang dilakukan oleh gubernur selaku wakil Pemerintah untuk mewujudkan tercapainya tujuan penyelenggaraan otonomi daerah. 7. Pengawasan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah adalah upaya yang dilakukan oleh gubernur selaku wakil Pemerintah untuk menjamin agar pemerintahan daerah berjalan secara efisien, efektif, berkesinambungan serta sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
BAB II KEDUDUKAN, TUGAS, DAN WEWENANG
Pasal 2 (1) Gubernur yang karena jabatannya berkedudukan juga sebagai wakil Pemerintah di wilayah provinsi. (2) Dalam kedudukannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) gubernur bertanggung jawab kepada Presiden. (3) Gubernur dilantik oleh Presiden. (4) Dalam hal Presiden berhalangan melantik gubernur, (5) Menteri Dalam Negeri atas nama Presiden melantik gubernur. Pasal 3 (1) Gubernur sebagai wakil Pemerintah memiliki tugas melaksanakan urusan pemerintahan meliputi: a. koordinasi penyelenggaraan pemerintahan antara pemerintah daerah provinsi dengan instansi vertikal, dan antarinstansi vertikal di wilayah provinsi yang bersangkutan; b. koordinasi penyelenggaraan pemerintahan antara pemerintah daerah provinsi dengan pemerintah daerah kabupaten/kota di wilayah provinsi yang bersangkutan; c. koordinasi penyelenggaraan pemerintahan antarpemerintahan daerah kabupaten/kota di wilayah provinsi yang bersangkutan; d. pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan pemerintahan daerah kabupaten/kota; e. menjaga kehidupan berbangsa dan bernegara serta memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia; f. menjaga dan mengamalkan ideologi Pancasila dan kehidupan demokrasi; g. memelihara stabilitas politik; h. menjaga etika dan norma penyelenggaraan pemerintahan di daerah; dan; i. koordinasi pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan tugas pembantuan di daerah provinsi dan kabupaten/kota.
(2) Selain melaksanakan urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), gubernur sebagai wakil Pemerintah juga melaksanakan urusan pemerintahan di wilayah provinsi yang menjadi kewenangan Pemerintah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 4 Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1), gubernur sebagai wakil Pemerintah memiliki wewenang meliputi: a. mengundang rapat bupati/walikota beserta perangkat daerah dan pimpinan instansi vertikal; b. meminta kepada bupati/walikota beserta perangkat daerah dan pimpinan instansi vertikal untuk segera menangani permasalahan penting dan/atau mendesak yang memerlukan penyelesaian cepat; c. memberikan penghargaan atau sanksi kepada bupati/walikota terkait dengan kinerja, pelaksanaan kewajiban, dan pelanggaran sumpah/janji; d. menetapkan sekretaris daerah kabupaten/kota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; e. mengevaluasi rancangan peraturan daerah tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, pajak daerah, retribusi daerah, dan tata ruang wilayah kabupaten/kota; f. memberikan persetujuan tertulis terhadap penyidikan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kabupaten/kota; g. menyelesaikan perselisihan dalam penyelenggaraaan fungsi pemerintahan antarkabupaten/kota dalam satu provinsi; dan h. melantik kepala instansi vertikal dari kementerian dan lembaga pemerintah nonkementerian yang ditugaskan di wilayah provinsi yang bersangkutan.
BAB III TATA CARA PELAKSANAAN TUGAS DAN WEWENANG
Pasal 5 (1) Gubernur dalam melaksanakan koordinasi penyelenggaraan pemerintahan antara pemerintah daerah provinsi dengan instansi vertikal dan antarinstansi vertikal di wilayah provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf a melalui: a. musyawarah perencanaan pembangunan provinsi; dan b. rapat kerja pelaksanaan program/kegiatan, monitoring dan evaluasi, serta penyelesaian berbagai permasalahan. (2) Musyawarah perencanaan pembangunan provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (3) Rapat kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan paling sedikit 3 (tiga) kali dalam 1 (satu) tahun.
Pasal 6 (1) Untuk menunjang kelancaran pelaksanaan tugas gubernur dalam mewujudkan ketenteraman dan ketertiban masyarakat serta stabilitas daerah bagi kelancaran pembangunan daerah dibentuk forum koordinasi pimpinan daerah. (2) Forum koordinasi pimpinan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas gubernur, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah provinsi, panglima daerah militer, kepala kepolisian daerah, dan kepala kejaksaan tinggi. (3) Forum koordinasi pimpinan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam terdiri atas Gubernur, Wali Nanggroe, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA), panglima daerah militer, kepala kepolisian daerah, dan kepala kejaksaan tinggi. (4) Forum koordinasi pimpinan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) di Provinsi Papua terdiri atas Gubernur, Ketua Majelis Rakyat Papua, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP), panglima daerah militer, kepala kepolisian daerah, dan kepala kejaksaan tinggi. (5) Forum koordinasi pimpinan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) di Provinsi Papua Barat terdiri atas Gubernur, Ketua Majelis Rakyat Papua, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Papua Barat, panglima daerah militer, kepala kepolisian daerah, dan kepala kejaksaan tinggi. (6) Forum koordinasi pimpinan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) diketuai oleh gubernur.
Pasal 7 (1) Gubernur dalam melaksanakan koordinasi penyelenggaraan pemerintahan antara pemerintah daerah provinsi dengan pemerintah daerah kabupaten/kota di wilayah provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf b melalui: a. musyawarah perencanaan pembangunan provinsi; dan b. rapat kerja pelaksanaan program/kegiatan, monitoring dan evaluasi serta penyelesaian berbagai permasalahan. (2) Musyawarah perencanaan pembangunan provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundanganundangan. (3) Rapat kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan paling sedikit 3 (tiga) kali dalam 1 (satu) tahun. (4) Pemerintah kabupaten/kota yang dengan sengaja tidak ikut serta dalam pelaksanaan koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 8 (1) Gubernur dalam melaksanakan koordinasi penyelenggaraan pemerintahan antarpemerintahan daerah kabupaten/kota di wilayah provinsi sebagaimana dimaksud dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf c melalui rapat kerja yang mencakup: a. penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan kabupaten/kota; b. pelaksanaan kerja sama antarkabupaten/kota dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan; dan c. penyelesaian perselisihan antarkabupaten/kota dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan. (2) Rapat kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai kebutuhan.
Pasal 9 (1) Gubernur dalam melaksanakan pembinaan penyelenggaraan pemerintahan daerah kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf d melalui: a. pemberian fasilitasi dan konsultasi penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan kabupaten/kota di wilayah provinsi yang bersangkutan; b. pemberian fasilitasi dan konsultasi pengelolaan kepegawaian kabupaten/kota di wilayah provinsi yang bersangkutan; c. penyelesaian perselisihan yang timbul dalam penyelenggaraan fungsi pemerintahan antarkabupaten/kota di wilayah provinsi yang bersangkutan; dan d. upaya penyetaraan kualitas pelayanan publik antarkabupaten/kota di wilayah provinsi yang bersangkutan. (2) Gubernur dalam melaksanakan pengawasan penyelenggaraan pemerintahan daerah kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf d melalui: a. pengawasan pelaksanaan urusan pemerintahan yang dilaksanakan oleh pemerintah daerah kabupaten/kota; b. pengawasan peraturan daerah dan peraturan kepala daerah kabupaten/kota; c. usul pembatalan peraturan daerah kabupaten/kota kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri; dan d. pengawasan kinerja pemerintah daerah kabupaten/kota.
Pasal 10 (1) Dalam menyelesaikan perselisihan antarkabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf c gubernur melakukan langkah antara lain: a. persuasi dan negosiasi; dan b. membangun kerja sama antardaerah. (2) Perselisihan antarkabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup antara lain: a. perbatasan antarkabupaten/kota; b. sumber daya alam antarkabupaten/kota; c. aset; d. transportasi; e. persampahan; dan f. tata ruang.
Pasal 11 Dalam menjaga kehidupan berbangsa dan bernegara serta memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf e, gubernur melakukan: a. penetapan kriteria ancaman, tantangan, hambatan, dan gangguan sesuai dengan situasi dan kondisi daerah; b. pemantauan situasi dan kondisi daerah dengan kriteria ancaman, tantangan, hambatan, dan gangguan; c. evaluasi situasi dan kondisi daerah dengan kriteria ancaman, tantangan, hambatan, dan gangguan; d. koordinasi dengan aparat keamanan yang terkait untuk mengatasi ancaman, tantangan, hambatan, dan gangguan; dan e. pelaporan kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri mengenai situasi dan kondisi daerah dengan kriteria ancaman, tantangan, hambatan, dan gangguan. Pasal 12 Dalam menjaga dan mengamalkan ideologi Pancasila dan membangun kehidupan demokrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf f, gubernur melakukan upaya:
a. memelihara dan mempertahankan ideologi Pancasila; b. pengembangan demokrasi; c. menjaga kerukunan antarumat beragama; dan d. melestarikan nilai sosial budaya.
Pasal 13 Dalam memelihara stabilitas politik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf g, gubernur melakukan: a. penetapan kriteria stabilitas politik sesuai dengan situasi dan kondisi daerah; pemantauan situasi dan kondisi daerah sesuai dengan kriteria stabilitas politik; b. evaluasi situasi dan kondisi daerah sesuai dengan kriteria stabilitas politik; c. koordinasi dengan aparat keamanan yang terkait untuk memelihara stabilitas politik; dan d. pelaporan kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri mengenai situasi dan kondisi daerah sesuai dengan kriteria stabilitas politik.
Pasal 14 Dalam menjaga etika dan norma penyelenggaraan pemerintahan di daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf h, gubernur melakukan: a. identifikasi identifikasi etika dan norma yang hidup, berkembang, dan perlu dipertahankan di wilayah provinsi yang bersangkutan; dan b. membangun etos kerja penyelenggaraan pemerintahan sesuai dengan etika dan norma sebagaimana dimaksud dalam huruf a.
Pasal 15 Dalam melaksanakan koordinasi pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan tugas pembantuan di daerah provinsi dan kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf i, gubernur melakukan: a. pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan tugas pembantuan dari kementerian dan lembaga pemerintah nonkementerian yang ditugaskan kepada pemerintah daerah provinsi; b. pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan tugas pembantuan dari Pemerintah kepada pemerintah daerah kabupaten/kota yang ada di wilayahnya; dan c. pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan tugas pembantuan dari pemerintah daerah provinsi kepada pemerintah daerah kabupaten/kota yang ada di wilayahnya.
Pasal 16 Gubernur sebagai wakil Pemerintah memberikan informasi tentang kebijakan Pemerintah dan instansi vertikal di provinsi kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah provinsi.
Pasal 17 (1) Dalam melaksanakan tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dan ayat (2), secara operasional gubernur dibantu oleh sekretaris gubernur. (2) Sekretaris gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) secara ex officio dijabat oleh sekretaris daerah provinsi. (3) Sekretaris gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibantu oleh sekretariat dan tenaga ahli.
Pasal 18 (1) Sekretariat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (3) dipimpin oleh kepala sekretariat. (2) Susunan organisasi dan tata kerja sekretariat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (3) diatur dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri setelah mendapat persetujuan menteri yang menangani urusan pemerintahan di bidang pendayagunaan aparatur negara.
BAB IV KEDUDUKAN KEUANGAN Pasal 19 (1) Pendanaan tugas dan wewenang gubernur sebagai wakil Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) ibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara melalui mekanisme dana dekonsentrasi. (2) Pendanaan tugas dan wewenang gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan dalam rencana kerja dan anggaran Kementerian Dalam Negeri. (3) Pendanaan tugas dan wewenang gubernur sebagai wakil Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) yang dilimpahkan, dibebankan pada anggaran kementerian/lembaga pemerintah nonkementerian yang bersangkutan melalui mekanisme dana dekonsentrasi. (4) Pendanaan tugas dan wewenang gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dituangkan dalam rencana kerja dan anggaran kementerian/lembaga pemerintah nonkementerian. (5) Pengelolaan dana dekonsentrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan tentang dekonsentrasi dan tugas pembantuan.
BAB V PERTANGGUNGJAWABAN Pasal 20 (1) Dalam kedudukannya sebagai wakil Pemerintah, gubernur bertanggung jawab kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri. (2) Pertanggungjawaban gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan paling lambat 3 (tiga) bulan setelah tahun anggaran berakhir dalam bentuk laporan pelaksanaan tugas gubernur sebagai wakil Pemerintah. (3) Pedoman laporan pelaksanaan tugas gubernur sebagai wakil Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri. (4) Evaluasi mengenai laporan gubernur sebagai wakil Pemerintah dilaksanakan oleh Menteri Dalam Negeri atas nama Presiden setiap tahun dengan melibatkan kementerian dan lembaga pemerintah nonkementerian terkait.
BAB VI KETENTUAN PENUTUP Pasal 21 Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 28 Januari 2010
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, ttd. DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta pada tanggal 28 Januari 2010 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd. PATRIALIS AKBAR
Permendagri No. 37 Tahun 2010 dan RK BMD dan RKP BMD
Sebagaimana diketahui bahwa, Permendagri No. 37 Tahun 2010 tentang Pedoman Penyusunan APBD TA 2011 menjadi acuan bagi Pemerintah daerah dalam menyusun APBD TA 2011. Pertanyaan adalah : Apakah Pemerintah Daerah dalam menyusun APBD selama ini sudah melaksanakan amanah PP No. 6 Tahun 2006 dan Permendagri No. 17 Tahun 2007 terkait penysunan Rencana Kebutuhan Barang Milik Daerah (RK BMD) dan Rencana Kebutuhan Pemeliharaan Barang Milik Daerah (RKP BMD) sebagai dasar penyusunan RKA-SKPD? Kalau belum, “Apakah Permendagri No. 37 Tahun 2010 telah mengakomodir atau memberikan penegasan supaya Pemda menyusun RK BMD dan RKP BMD dan menjadikan dasar dalam penyusunan RKA-SKPD ?â€
Sebagaimana diketahui, bahwa Menteri Dalam Negeri dalam 4 tahun terakhir telah menerbitkan Permendagri tentang Pedoman Penyusunan APBD. Adakah Permendagri tentang Pedoman Penyusunan APBD tersebut telah menegaskan agar pemerintah daerah menyusun RK BMD dan RKP BMD sebagai dasar dalam penyusunan RKA-SKPD?
Permendagri 26/2006 menyatakan :
Belanja Barang dan Jasa :
Penyediaan anggaran untuk belanja barang pakai habis agar disesuaikan dengan kebutuhan nyata dalam rangka melaksanakan tugas dan fungsi Satuan Kerja Perangkat Daerah, dengan mempertimbangkan jumlah pegawai dan volume pekerjaan. Oleh karena itu, perencanaan pengadaan barang agar didahului dengan evaluasi persediaan barang serta barang dalam pemakaian;
Belanja Modal :
a) Belanja modal merupakan pengeluaran yang dianggarkan untuk pembelian/pengadaan aset tetap dan aset lainnya untuk digunakan dalam kegiatan pemerintahan yang memiliki kriteria sebagai berikut :
(1) Masa manfaatnya lebih dari 12 (dua belas) bulan;
(2) Merupakan objek pemeliharaan;
(3) Jumlah nilai rupiahnya material sesuai dengan kebijakan akuntansi.
b) Pengadaan software dalam rangka pengembangan sistem informasi manajemen dianggarkan pada belanja modal.
Permendagri 30/2007 menyatakan :
Belanja Barang dan Jasa
Penyediaan anggaran untuk belanja barang pakai habis agar disesuaikan dengan kebutuhan nyata dalam rangka melaksanakan tugas dan fungsi Satuan Kerja Perangkat Daerah, dengan mempertimbangkan jumlah pegawai dan volume pekerjaan. Oleh karena itu, perencanaan pengadaan barang agar didahului dengan evaluasi persediaan barang serta barang dalam pemakaian;
Belanja Modal
Belanja modal digunakan untuk pengeluaran yang dilakukan dalam rangka pembelian/pengadaan atau pembangunan aset tetap yang digunakan dalam kegiatan pemerintahan seperti dalam bentuk tanah, peralatan dan mesin, gedung dan bangunan, jalan, irigasi dan jaringan aset tetap lainnya, yang memiliki kriteria sebagai berikut:
(1) masa manfaatnya lebih dari 12 (dua belas) bulan;
(2) merupakan objek pemeliharaan;
(3) jumlah nilai rupiahnya material sesuai dengan kebijakan akuntansi.
Pengadaan software dalam rangka pengembangan sistem informasi manajemen dianggarkan pada belanja modal.
Permendagri 32/2008
Belanja Barang dan Jasa
Dalam menetapkan jumlah anggaran untuk belanja barang pakai habis agar disesuaikan dengan kebutuhan riil dan dikurangi dengan sisa barang persediaan Tahun Anggaran 2008. Untuk menghitung kebutuhan riil disesuaikan dengan pelaksanaan tugas dan fungsi SKPD, dengan mempertimbangkan jumlah pegawai dan volume pekerjaan;
Belanja Modal
Dengan ditetapkannya Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 59 Tahun 2007, maka untuk penganggaran belanja modal tidak hanya sebesar harga beli/bangun aset tetapi harus ditambah seluruh belanja yang terkait dengan pengadaan/pembangunan aset sampai aset tersebut siap digunakan.
Permendagri 25/2009
Belanja Barang dan Jasa
Dalam menetapkan jumlah anggaran untuk belanja barang pakai habis agar disesuaikan dengan kebutuhan riil dan dikurangi dengan persediaan Tahun Anggaran 2009. Untuk menghitung kebutuhan riil disesuaikan dengan pelaksanaan tugas dan fungsi SKPD, dengan mempertimbangkan jumlah pegawai dan volume pekerjaan.
Belanja Modal
Dalam menetapkan anggaran untuk pengadaan barang inventaris agar dilakukan secara efektif sesuai kebutuhan masing-masing SKPD. Oleh karena itu sebelum merencanakan anggaran terlebih dahulu dilakukan evaluasi dan pengkajian terhadap barang-barang inventaris yangtersedia baik dari segi kondisi maupun umur ekonomisnya.
Jika dicermati, untuk setiap tahun anggaran, tidak banyak perubahan yang mendasar terkait penetapan belanja barang pakai habis dan barang inventaris. Hal yang sama juga pada Permendagri No. 37/2010.
Selanjutnya, lampiran Permendagri No. 37/2010 terkait dengan RK BMD dan RKP BMD sebagai dasar penyusunan APBD menyatakan bahwa :
Dalam menetapkan jumlah anggaran untuk belanja barang pakai habis agar disesuaikan dengan kebutuhan riil dengan memperhitungkan sisa persediaan barang Tahun Anggaran 2010. Untuk menghitung kebutuhan riil disesuaikan dengan pelaksanaan tugas dan fungsi SKPD, dengan mempertimbangkan jumlah pegawai dan volume pekerjaan.
Dalam menetapkan anggaran untuk pengadaan barang inventaris agar dilakukan secara selektif sesuai kebutuhan masing-masing SKPD. Oleh karena itu sebelum merencanakan anggaran terlebih dahulu dilakukan evaluasi dan pengkajian terhadap barang-barang inventaris yang tersedia baik dari segi kondisi maupun umur ekonomisnya.
Apakah pihak-pihak terkait dalam penyusunan APBD menerjemahkan dan / atau memahami Lampiran Permendagri Penyusunan APBD terkait penetapan belanja barang pakai habis dan barang inventaris tersebut sama dengan yang dimaksudkan dengan RK BMD dan RKP BMD pada PP 6/2006 dan Permendagri 17/2007 ?
Kalau tidak sama, apakah Pemerintah daerah akan melakukan sebagaimana yang diamanahkan Permendagri Penyusunan APBD tersebut? Disisi lain juga harus menyusun RK BMD dan RKP BMD sebagai amanah pada PP 6/2006 dan Permendagri 17/2007?.
Bilamana BPK dalam melakukan audit kepada Pemerintah Daerah menemukan :
Tidak menyusun RK BMD dan RKP BMD
Menyusun RK BMD dan RKP BMD tetapi tidak digunakan sebagai dasar dalam Penyusunan RKA-SKPD
Menyusun RK BMD dan RKP BMD tetapi tidak digunakan â€sepenuhnya†sebagai dasar dalam Penyusunan RKA-SKPD
Bagaimana sikap BPK terhadap ketiga keadaan hal tersebut diatas?
Dapatkah ketiga point a), b), c) diatas menjadi salah satu indikasi bagian dari korupsi yang telah direncanakan, jika dikemudian hari muncul belanja barang/jasa atau belanja modal yang sebelumnya tidak pernah dianggarkan dalam RK BMD tetapi dalam pelaksanaan lelang pengadaan barang/jasa atau pelaksanaan anggaran tersebut terjadi â€dugaan†korupsi?
(riris prasetyo, 0811 184 172, http://asetdaerah.wordpress.com)
sumber: http://pekikdaerah.wordpress.com/regulasi/permendagri-no-37-tahun-2010-dan-rk-bmd-dan-rkp-bmd/
Terkait dengan Perda Bermasalah, 14 Perda dilarang berlaku di Sulut
Kurangnya pengkajian dalam pembentukan Peraturan Daerah (Perda) membuat Kementrian Dalam Negeri (Kemendagri) melarang penerapan 14 Perda di Sulut. Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR Sulut Victor Mailangkay mengatakan, alasan tidak bisa diterapkan Perda tersebut karena tak ada kajian matang saat dibentuk.
ÂSeharusnya dalam menerbitkan Perda harus ada kajian komprehensif dan mendasar agar produk Perda berkualitas,tukasnya. Meskipun tak membeberkan Perda apa saja yang dilarang, politisi dari Partai Golkar ini menjelaskan Perda akan bertahan lama dan tidak dilarang penerapannya jika melalui tahapan Program Legislasi Daerah (Prolegda). Semua perda terutama Perda non APBD akan dikaji komprehensif melalui naskah akademis, jelasnya. Dikatakan Mailangkay, pengkajian yang cermat dengan menggunakan aspek filosofis, sosiologis, yuridis dan ekonomis, maka akan menghasilkan Perda yang benar-benar bisa diterapkan. â€ÂJika Ranperda sudah dibentuk, harus lakukan uji publik sebelum disampaikan ke legislatif untuk dibahas sesuai dengan tahapan dan mekanisme pembahasan yang diatur dalam tatib dewan, tandasnya. (gel/lee)
sumber: http://www.batukar.info/news/14-perda-dilarang-berlaku-di-sulut-0
Rangkaian berita mengenai Perda bermasalah
Mengikuti berita mengenai 407 Perda Bermasalah, menarik sekali melihat garis merah betapa perda-perda bermasalah mempengaruhi potensi keuangan daerah. Ikuti rangkaian berita mengenai Perda Bermasalah.
Bagaimana perda-perda bermasalah ini, mempengaruhi potensi keuangan provinsi, di satu sisi, sedang di sisi lain para pihak yang secara langsung terlibat dengan pembuatan kebijakan, memiliki prioritas yang berbeda.
berikut linknya : 407 Perda Bermasalah, 40 Perda di Sulsel Bermasalah, Dewan Fokus Rancangan Perda Aset
*regulatory framework
Manajemen Kuangan Publik memiliki beberapa dimensi: salah satunya framework regulasi.
Framework regulasi ini, memetakan saling keterkaitan antara fungsi elemen eksekutif maupun legislatif pemerintahan.Juga bagaimana keputusan-keputusan manajerial mengalami proses-prose politisasi.
Mendagri terbitkan Permendagri No.37 Tahun 2010 tentang Pedoman Penyusunan APBD Tahun 2011. Apa yang baru?
Untuk memenuhi amanat Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 58 Tahun 2005 dalam pasal 34 ayat (2), maka Menteri Dalam Negeri setiap tahun menerbitkan Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) tentang Pedoman Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Untuk tahun anggaran 2010, telah diterbitkan Permendagri Nomor 25 Tahun 2009. Selanjutnya untuk pedoman penyusunan APBD Tahun Angaran 2011 juga telah diterbitkan Permendagri, yaitu Permendagri Nomor 37 Tahun 2010 tanggal 22 Juni 2010 tentang Pedoman Penyusunan APBD Tahun Anggaran 2011.
Permendagri Nomor 37 Tahun 2010 tersebut seperti pada Permendagri tentang pedoman penyusunan APBD pada tahun-tahun anggaran sebelumnya isinya mencakup tantangan dan kebijakan pembangunan, pokok-pokok kebijakan penyusunan APBD, teknis penyusunan APBD, dan hal-hal khusus.
Lalu apa yang baru dengan Permendagri Nomor 37 tahun 2010 tersebut? Setelah dicermati ada beberapa catatan yang menurut Pakde perlu mendapat perhatian dalam penyusunan dan pelaksanaan APBD, yaitu:
Selanjutnya untuk catatan nomor 5, menurut Pakde ketentuan tentang pembebanan perjalanan kelompok tani dan murid teladan dengan menggunakan belanja perjalanan dinas, adalah kurang tepat. Kalau staf khusus, Kepala Desa dan pegawai Non PNSD bisa dimaklumi biaya perjalanannya dibebankan kepada belanja perjalanan dinas, karena mereka adalah pegawai. Sedangkan kelompok tani dan murid teladan bukan pegawai, baik sebagai pegawai Non PNSD maupun (apalagi) PNSD. Menurut hemat Pakde untuk kelompok tani dan murid teladan lebih tepat dibuat kode rekening baru dan dibebankan pada belanja transportasi dan akomodasi. Pembuatan kode rekening baru dimungkinkan sesuai dengan maksud pasal 77 ayat (12) Permendagri Nomor 59 Tahun 2007.
sumber : http://catatanpakde.blogspot.com/2010/08/permendagri-no37-tahun-2010-tentang.html
Pemerintah mengumumkan kebijakan Moratorium untuk PNS. Apa itu Moratorium?
Dalam suatu bidang hukum, moratorium (dari Latin, morari yang berarti penundaan) adalah otorisasi legal untuk menunda pembayaran utang atau kewajiban tertentu selama batas waktu yang ditentukan. Istilah ini juga sering digunakan untuk mengacu ke waktu penundaan pembayaran itu sendiri, sementara otorisasinya disebut sebagai undang-undang moratorium. Undang-undang moratorium umumnya ditetapkan pada saat terjadinya tekanan berat secara politik atau komersial, misalnya,, pemerintah Perancis mengundangkan undang-undang moratorium.
Dengan difinisi dan kebijakan moratorium PNS yang diambil pemerintah, maka moratorium PNS yang akan berlaku 1 September 2011 nanti,maka Indonesia ada dalam tekanan berat secara komersil. Apakah keputusan ini terkait dengan alokasi belanja modal dan belanja pegawai? atau kebijakan ini terkait dengan strategi pembayaran utang..?
Tanggapan terhadap pidato kenegaraan Presiden Susilo Bambang Yudono, apakah berkaitan dengan keputusan moratorium iini?
beberapa link terkait dengan keputusan pemerintah mengenai kebijakan moratorium PNS: Rekrutmen PNS disetop dua tahun
apa pendapat anda?
Daerah Kepulauan Peroleh Perlakuan Khusus
Jakarta, Kompas – Dewan Perwakilan Daerah akan menyampaikan draf perubahan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang telah selesai disusun dalam rapat konsultasi dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Selasa (26/7). Salah satu masalah penting yang diusulkan dalam draf revisi UU Pemda itu adalah perlakuan khusus untuk daerah kepulauan.
Ketentuan mengenai daerah kepulauan tersebut diatur dalam Pasal 175 draf Rancangan Undang-Undang perubahan atas UU Pemda yang disusun Dewan Perwakilan Daerah (DPD). â€Pasal itu mengatur bahwa daerah kepulauan mendapatkan insentif khusus dalam hak dana Alokasi Umum (DAU),†kata Ketua Tim Kerja Penyusunan RUU perubahan UU Pemda DPD Emanuel B Eha, Senin (25/7).
Kriteria daerah kepulauan, sebagaimana disebutkan dalam pasal itu, adalah provinsi yang memiliki wilayah lautan lebih luas dari daratan, yang di dalamnya terdapat pulau-pulau atau bagian pulau yang membentuk satu gugusan pulau.
Penetapan DAU untuk daerah kepulauan tidak lagi menggunakan pertimbangan luas wilayah daratan dan jumlah penduduk saja, tetapi juga luas wilayah laut. Perlakuan khusus itu diusulkan mengingat kebutuhan daerah kepulauan berbeda dengan daerah daratan. Biaya operasional yang dibutuhkan untuk menjalankan pemerintahan dan pembangunan pun lebih tinggi dibanding daerah daratan.
Emanuel mengatakan, ada tujuh daerah kepulauan yang harus mendapatkan perlakuan khusus, yaitu Provinsi Kepulauan Riau, Maluku, Maluku Utara, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Utara, Bangka Belitung, dan Nusa Tenggara Barat.
â€Ada satu lagi tambahan, yakni DKI Jakarta. Pemprov DKI Jakarta minta dimasukkan jadi daerah kepulauan karena punya Kepulauan Seribu,†ujarnya.
Secara terpisah, peneliti senior Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Siti Zuhro, sependapat jika daerah kepulauan diberikan perlakuan khusus. Pasalnya, daerah kepulauan memiliki tantangan berbeda dengan daerah daratan, terutama dalam masalah infrastruktur serta transportasi.
Perlakuan khusus itu, lanjut Siti, bukan hanya dalam penetapan anggaran. Akan lebih baik apabila daerah kepulauan juga diberi kewenangan khusus, misalnya dalam pengelolaan potensi maritim. (nta)
Sumber: http://cetak.kompas.com/read/2011/07/26/02482884/daerah.kepulauan.peroleh.perlakuan.khusus
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PELAKSANAAN TUGAS DAN WEWENANG SERTA KEDUDUKAN KEUANGAN GUBERNUR
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PELAKSANAAN TUGAS DAN WEWENANG SERTA KEDUDUKAN KEUANGAN GUBERNUR SEBAGAI WAKIL PEMERINTAH DI WILAYAH PROVINSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 38 ayat (3) dan ayat (4) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Tata Cara Pelaksanaan Tugas dan Wewenang serta Kedudukan Keuangan Gubernur sebagai Wakil Pemerintah di Wilayah Provinsi.
Mengingat :
Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4286);
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4400);
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844);
Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4438);
Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2008 tentang Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 20, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4816);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG TATA CARA
PELAKSANAAN TUGAS DAN WEWENANG SERTA KEDUDUKAN
KEUANGAN GUBERNUR SEBAGAI WAKIL PEMERINTAH DI
WILAYAH PROVINSI.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:
1. Pemerintah Pusat, selanjutnya disebut Pemerintah, adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
2. Pemerintahan daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
3. Pemerintah daerah adalah gubernur, bupati, atau walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.
4. Wilayah provinsi adalah wilayah administrasi yang menjadi wilayah kerja gubernur.
5. Koordinasi adalah upaya yang dilaksanakan oleh gubernur sebagai wakil Pemerintah guna mencapai keterpaduan baik perencanaan maupun pelaksanaan tugas serta kegiatan semua instansi vertikal tingkat provinsi, antara instansi vertikal dengan satuan kerja perangkat daerah tingkat provinsi, antarkabupaten/kota dalam provinsi yang bersangkutan, serta antara provinsi dan kabupaten/kota agar tercapai efektifitas dan efisiensi penyelenggaraan pemerintahan.
6. Pembinaan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah adalah upaya yang dilakukan oleh gubernur selaku wakil Pemerintah untuk mewujudkan tercapainya tujuan penyelenggaraan otonomi daerah.
7. Pengawasan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah adalah upaya yang dilakukan oleh gubernur selaku wakil Pemerintah untuk menjamin agar pemerintahan daerah berjalan secara efisien, efektif, berkesinambungan serta sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
BAB II
KEDUDUKAN, TUGAS, DAN WEWENANG
Pasal 2
(1) Gubernur yang karena jabatannya berkedudukan juga sebagai wakil Pemerintah di wilayah provinsi.
(2) Dalam kedudukannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) gubernur bertanggung jawab kepada Presiden.
(3) Gubernur dilantik oleh Presiden.
(4) Dalam hal Presiden berhalangan melantik gubernur,
(5) Menteri Dalam Negeri atas nama Presiden melantik gubernur.
Pasal 3
(1) Gubernur sebagai wakil Pemerintah memiliki tugas melaksanakan urusan pemerintahan meliputi:
a. koordinasi penyelenggaraan pemerintahan antara pemerintah daerah provinsi dengan instansi vertikal, dan antarinstansi vertikal di wilayah provinsi yang bersangkutan;
b. koordinasi penyelenggaraan pemerintahan antara pemerintah daerah provinsi dengan pemerintah daerah kabupaten/kota di wilayah provinsi yang bersangkutan;
c. koordinasi penyelenggaraan pemerintahan antarpemerintahan daerah kabupaten/kota di wilayah provinsi yang bersangkutan;
d. pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan pemerintahan daerah kabupaten/kota;
e. menjaga kehidupan berbangsa dan bernegara serta memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia;
f. menjaga dan mengamalkan ideologi Pancasila dan kehidupan demokrasi;
g. memelihara stabilitas politik;
h. menjaga etika dan norma penyelenggaraan pemerintahan di daerah; dan;
i. koordinasi pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan tugas pembantuan di daerah provinsi dan kabupaten/kota.
(2) Selain melaksanakan urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), gubernur sebagai wakil Pemerintah juga melaksanakan urusan pemerintahan di wilayah provinsi yang menjadi kewenangan Pemerintah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 4
Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1), gubernur sebagai wakil Pemerintah memiliki wewenang meliputi:
a. mengundang rapat bupati/walikota beserta perangkat daerah dan pimpinan instansi vertikal;
b. meminta kepada bupati/walikota beserta perangkat daerah dan pimpinan instansi vertikal untuk segera menangani permasalahan penting dan/atau mendesak yang memerlukan penyelesaian cepat;
c. memberikan penghargaan atau sanksi kepada bupati/walikota terkait dengan kinerja, pelaksanaan kewajiban, dan pelanggaran sumpah/janji;
d. menetapkan sekretaris daerah kabupaten/kota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
e. mengevaluasi rancangan peraturan daerah tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, pajak daerah, retribusi daerah, dan tata ruang wilayah kabupaten/kota;
f. memberikan persetujuan tertulis terhadap penyidikan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kabupaten/kota;
g. menyelesaikan perselisihan dalam penyelenggaraaan fungsi pemerintahan antarkabupaten/kota dalam satu provinsi; dan
h. melantik kepala instansi vertikal dari kementerian dan lembaga pemerintah nonkementerian yang ditugaskan di wilayah provinsi yang bersangkutan.
BAB III
TATA CARA PELAKSANAAN TUGAS DAN WEWENANG
Pasal 5
(1) Gubernur dalam melaksanakan koordinasi penyelenggaraan pemerintahan antara pemerintah daerah provinsi dengan instansi vertikal dan antarinstansi vertikal di wilayah provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf a melalui:
a. musyawarah perencanaan pembangunan provinsi; dan
b. rapat kerja pelaksanaan program/kegiatan, monitoring dan evaluasi, serta penyelesaian berbagai permasalahan.
(2) Musyawarah perencanaan pembangunan provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Rapat kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan paling sedikit 3 (tiga) kali dalam 1 (satu) tahun.
Pasal 6
(1) Untuk menunjang kelancaran pelaksanaan tugas gubernur dalam mewujudkan ketenteraman dan ketertiban masyarakat serta stabilitas daerah bagi kelancaran pembangunan daerah dibentuk forum koordinasi pimpinan daerah.
(2) Forum koordinasi pimpinan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas gubernur, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah provinsi, panglima daerah militer, kepala kepolisian daerah, dan kepala kejaksaan tinggi.
(3) Forum koordinasi pimpinan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam terdiri atas Gubernur, Wali Nanggroe, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA), panglima daerah militer, kepala kepolisian daerah, dan kepala kejaksaan tinggi.
(4) Forum koordinasi pimpinan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) di Provinsi Papua terdiri atas Gubernur, Ketua Majelis Rakyat Papua, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP), panglima daerah militer, kepala kepolisian daerah, dan kepala kejaksaan tinggi.
(5) Forum koordinasi pimpinan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) di Provinsi Papua Barat terdiri atas Gubernur, Ketua Majelis Rakyat Papua, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Papua Barat, panglima daerah militer, kepala kepolisian daerah, dan kepala kejaksaan tinggi.
(6) Forum koordinasi pimpinan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) diketuai oleh gubernur.
Pasal 7
(1) Gubernur dalam melaksanakan koordinasi penyelenggaraan pemerintahan antara pemerintah daerah provinsi dengan pemerintah daerah kabupaten/kota di wilayah provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf b melalui:
a. musyawarah perencanaan pembangunan provinsi; dan
b. rapat kerja pelaksanaan program/kegiatan, monitoring dan evaluasi serta penyelesaian berbagai permasalahan.
(2) Musyawarah perencanaan pembangunan provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundanganundangan.
(3) Rapat kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan paling sedikit 3 (tiga) kali dalam 1 (satu) tahun.
(4) Pemerintah kabupaten/kota yang dengan sengaja tidak ikut serta dalam pelaksanaan koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 8
(1) Gubernur dalam melaksanakan koordinasi penyelenggaraan pemerintahan antarpemerintahan daerah kabupaten/kota di wilayah provinsi sebagaimana dimaksud dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf c melalui rapat kerja yang mencakup:
a. penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan kabupaten/kota;
b. pelaksanaan kerja sama antarkabupaten/kota dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan; dan
c. penyelesaian perselisihan antarkabupaten/kota dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan.
(2) Rapat kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai kebutuhan.
Pasal 9
(1) Gubernur dalam melaksanakan pembinaan penyelenggaraan pemerintahan daerah kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf d melalui:
a. pemberian fasilitasi dan konsultasi penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan kabupaten/kota di wilayah provinsi yang bersangkutan;
b. pemberian fasilitasi dan konsultasi pengelolaan kepegawaian kabupaten/kota di wilayah provinsi yang bersangkutan;
c. penyelesaian perselisihan yang timbul dalam penyelenggaraan fungsi pemerintahan antarkabupaten/kota di wilayah provinsi yang bersangkutan; dan
d. upaya penyetaraan kualitas pelayanan publik antarkabupaten/kota di wilayah provinsi yang bersangkutan.
(2) Gubernur dalam melaksanakan pengawasan penyelenggaraan pemerintahan daerah kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf d melalui:
a. pengawasan pelaksanaan urusan pemerintahan yang dilaksanakan oleh pemerintah daerah kabupaten/kota;
b. pengawasan peraturan daerah dan peraturan kepala daerah kabupaten/kota;
c. usul pembatalan peraturan daerah kabupaten/kota kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri; dan
d. pengawasan kinerja pemerintah daerah kabupaten/kota.
Pasal 10
(1) Dalam menyelesaikan perselisihan antarkabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf c gubernur melakukan langkah antara lain:
a. persuasi dan negosiasi; dan
b. membangun kerja sama antardaerah.
(2) Perselisihan antarkabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup antara lain:
a. perbatasan antarkabupaten/kota;
b. sumber daya alam antarkabupaten/kota;
c. aset;
d. transportasi;
e. persampahan; dan
f. tata ruang.
Pasal 11
Dalam menjaga kehidupan berbangsa dan bernegara serta memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf e, gubernur melakukan:
a. penetapan kriteria ancaman, tantangan, hambatan, dan gangguan sesuai dengan situasi dan kondisi daerah;
b. pemantauan situasi dan kondisi daerah dengan kriteria ancaman, tantangan, hambatan, dan gangguan;
c. evaluasi situasi dan kondisi daerah dengan kriteria ancaman, tantangan, hambatan, dan gangguan;
d. koordinasi dengan aparat keamanan yang terkait untuk mengatasi ancaman, tantangan, hambatan, dan gangguan; dan
e. pelaporan kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri mengenai situasi dan kondisi daerah dengan kriteria ancaman, tantangan, hambatan, dan gangguan.
Pasal 12
Dalam menjaga dan mengamalkan ideologi Pancasila dan membangun kehidupan demokrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf f, gubernur melakukan upaya:
a. memelihara dan mempertahankan ideologi Pancasila;
b. pengembangan demokrasi;
c. menjaga kerukunan antarumat beragama; dan
d. melestarikan nilai sosial budaya.
Pasal 13
Dalam memelihara stabilitas politik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf g, gubernur melakukan:
a. penetapan kriteria stabilitas politik sesuai dengan situasi dan kondisi daerah; pemantauan situasi dan kondisi daerah sesuai dengan kriteria stabilitas politik;
b. evaluasi situasi dan kondisi daerah sesuai dengan kriteria stabilitas politik;
c. koordinasi dengan aparat keamanan yang terkait untuk memelihara stabilitas politik; dan
d. pelaporan kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri mengenai situasi dan kondisi daerah sesuai dengan kriteria stabilitas politik.
Pasal 14
Dalam menjaga etika dan norma penyelenggaraan pemerintahan di daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf h, gubernur melakukan:
a. identifikasi identifikasi etika dan norma yang hidup, berkembang, dan perlu dipertahankan di wilayah provinsi yang bersangkutan; dan
b. membangun etos kerja penyelenggaraan pemerintahan sesuai dengan etika dan norma sebagaimana dimaksud dalam huruf a.
Pasal 15
Dalam melaksanakan koordinasi pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan tugas pembantuan di daerah provinsi dan kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf i, gubernur melakukan:
a. pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan tugas pembantuan dari kementerian dan lembaga pemerintah nonkementerian yang ditugaskan kepada pemerintah daerah provinsi;
b. pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan tugas pembantuan dari Pemerintah kepada pemerintah daerah kabupaten/kota yang ada di wilayahnya; dan
c. pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan tugas pembantuan dari pemerintah daerah provinsi kepada pemerintah daerah kabupaten/kota yang ada di wilayahnya.
Pasal 16
Gubernur sebagai wakil Pemerintah memberikan informasi tentang kebijakan Pemerintah dan instansi vertikal di provinsi kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah provinsi.
Pasal 17
(1) Dalam melaksanakan tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dan ayat (2), secara operasional gubernur dibantu oleh sekretaris gubernur.
(2) Sekretaris gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) secara ex officio dijabat oleh sekretaris daerah provinsi.
(3) Sekretaris gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibantu oleh sekretariat dan tenaga ahli.
Pasal 18
(1) Sekretariat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (3) dipimpin oleh kepala sekretariat.
(2) Susunan organisasi dan tata kerja sekretariat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (3) diatur dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri setelah mendapat persetujuan menteri yang menangani urusan pemerintahan di bidang pendayagunaan aparatur negara.
BAB IV
KEDUDUKAN KEUANGAN
Pasal 19
(1) Pendanaan tugas dan wewenang gubernur sebagai wakil Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) ibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara melalui mekanisme dana dekonsentrasi.
(2) Pendanaan tugas dan wewenang gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan dalam rencana kerja dan anggaran Kementerian Dalam Negeri.
(3) Pendanaan tugas dan wewenang gubernur sebagai wakil Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) yang dilimpahkan, dibebankan pada anggaran kementerian/lembaga pemerintah nonkementerian yang bersangkutan melalui mekanisme dana dekonsentrasi.
(4) Pendanaan tugas dan wewenang gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dituangkan dalam rencana kerja dan anggaran kementerian/lembaga pemerintah nonkementerian.
(5) Pengelolaan dana dekonsentrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan tentang dekonsentrasi dan tugas pembantuan.
BAB V
PERTANGGUNGJAWABAN
Pasal 20
(1) Dalam kedudukannya sebagai wakil Pemerintah, gubernur bertanggung jawab kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri.
(2) Pertanggungjawaban gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan paling lambat 3 (tiga) bulan setelah tahun anggaran berakhir dalam bentuk laporan pelaksanaan tugas gubernur sebagai wakil Pemerintah.
(3) Pedoman laporan pelaksanaan tugas gubernur sebagai wakil Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri.
(4) Evaluasi mengenai laporan gubernur sebagai wakil Pemerintah dilaksanakan oleh Menteri Dalam Negeri atas nama Presiden setiap tahun dengan melibatkan kementerian dan lembaga pemerintah nonkementerian terkait.
BAB VI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 21
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 28 Januari 2010
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta pada tanggal 28 Januari 2010
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
PATRIALIS AKBAR