BEKERJA DAN BERBAKTI UNTUK KEMAJUAN KTI

Siswa Magang di Tengah Petani Kopi Bantaeng

Penulis: Nicholas A. Roshetko

Di tahun 2014, AgFor Sulawesi menerima seorang siswa magang, Nicholas A. Roshetko, pelajar sekolah menengah atas di Jakarta yang ingin mengetahui seluk beluk pemasaran komoditas kopi. Di bawah pengawasan Marketing Specialist proyek AgFor, Nicholas menyusun kuesioner dan berkelana ke Bantaeng, Sulawesi Selatan untuk berdiskusi dengan petani dan penjual kopi. Artikel berikut berisi rangkuman pengalaman dan temuan-temuan yang diperoleh Nicholas selama di Sulawesi.

Saya berkesempatan untuk melakukan magang di bawah bimbingan Bapak Aulia Perdana, Marketing Specialist dan Ibu Syarfiah Zainuddin, Marketing Facilitator proyek AgFor di Bantaeng, Sulawesi Selatan. Kegiatan magang ini bertujuan untuk mengumpulkan informasi dari penghasil kopi skala kecil, dengan berdiskusi dengan para petani kunci dan penjual tentang segmentasi pasar, penentuan target (targeting), penentuan posisi (positioning), dan diferensiasi produk. Saya menggunakan kuesioner sebagai panduan diskusi. Kuesioner dibuat untuk menggali informasi tentang kapasitas petani, metode produksi, permintaan dan persediaan, kemampuan, serta pengetahuan tentang pengembangan merek, promosi, dan pemasaran. Kegiatan magang yang berlangsung Juni dan Juli 2014 lalu ini berkaitan dengan mata pelajaran bisnis yang saya ambil di sekolah saya, Academic Colleges Group International School di Jakarta. 

Sebelumnya, langkah pertama yang saya lakukan adalah bertemu dengan tim pemasaran AgFor di kantor ICRAF di Bogor untuk membicarakan tujuan penelitian dan menyusun kuesioner. Marketing Specialist memberikan saya referensi bahan bacaan bertema pemasaran yang membantu memperluas pengetahuan saya.

Tanggal 1 Juli, saya terbang ke Makassar bersama tim AgFor. Kami melanjutkan perjalanan selama 4 jam ke arah selatan, yakni ke kota Bantaeng untuk bertemu tim lapangan, menyelesaikan kuesioner, dan memastikan jadwal turun lapangan. Hari berikutnya kami berkendara satu jam menuju Desa Pattaneteang untuk bertemu kelompok tani yang terdiri dari 10 orang. Dua di antaranya adalah Bapak Amiruddin dan Bapak Ramli, yang merupakan informan kunci saya. Mereka adalah petani sekaligus penjual yang memasarkan produknya lewat distributor besar di Makassar. Keduanya berperan sebagai penasihat pemasaran bagi para petani kopi di desanya. Seusai diskusi, Pak Amiruddin menunjukkan kebun kopinya dan mempraktikkan cara memroses kopi ke saya.

Di antara Desa Pattaneteang dan Bantaeng, terdapatlah Desa Campaga. Di sana, kami kembali bertemu dengan 7 orang petani yang tergabung dalam sebuah kelompok. Kami menemukan ada 3 jenis kopi yang dibudidayakan di kedua desa, yaitu arabica, robusta, dan liberica. Arabica adalah jenis yang paling banyak ditanam di kedua desa, diikuti dengan robusta, dan terakhir liberica. Jika dibandingkan dengan kedua jenis lainnya, liberica dianggap memiliki rasa paling pahit. Jenis ini juga memiliki hasil panen yang lebih sedikit, dengan harga jual lebih rendah. Kini liberica banyak digantikan oleh tanaman cengkeh, yang bagi petani dianggap lebih menguntungkan.

Arabica dipanen 3 kali setahun di Pattaneteang, namun hanya 2 kali di Campaga. Di Pattaneteang, ratusan kilogram arabica dihasilkan setiap tahunnya. Sementara hasil panen Campaga lebih sedikit, yaitu berkisar di angka puluhan ton. Robusta hanya dipanen sekali setahun di kedua desa, dengan Pattaneteang mampu menghasilkan hingga ratusan ton, sementara Campaga lebih rendah, yaitu beberapa puluh ton. Sedangkan liberica juga hanya dipanen setahun sekali di kedua desa, dengan hasil beberapa puluh ton dari Pattaneteang, dan beberapa ton di Campaga.

Di dua desa tersebut, mayoritas petani membudidayakan kopi. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh AgFor, 27% dari lahan di Pattaneteang dan 39% di Campaga menggunakan sistem monokultur atau kebun campur kopi. Di Bantaeng, sistem kopi monokultur memberikan pengembalian lahan sebesar USD 518 per tahun, sementara kebun campur kopi lebih tinggi dengan USD 888. Akan tetapi, sistem kopi monokultur memberikan pengembalian tenaga kerja sebesar USD 19 per hari, sedangkan kebun campur kopi hanya USD 16.
Ada 4 jalur utama pemasaran kopi yang dilakukan oleh masyarakat di kedua desa yaitu: 1) menjual ke distributor besar di Makassar; 2) menjual ke distributor kecil di Bantaeng; 3) menjual ke pasar tradisional di Bantaeng; dan 4) menjual ke masyarakat lokal di desa masing-masing. Setiap desa hanya melakukan 3 dari 4 jalur pemasaran tersebut. Contohnya, Pattaneteang menjual ke distributor besar di Makassar, distributor kecil di Bantaeng, dan masyarakat lokal. Petani Campaga menjual ke distributor di Bantaeng, pasar tradisional di Bantaeng, dan masyarakat lokal.

Kebanyakan kopi dijual ke distributor di Makassar dan Bantaeng. Kebanyakan keuntungan pun diperoleh dari transaksi dengan kedua distributor ini. Keuntungan per unit  lebih banyak dihasilkan ketika petani menjual ke masyarakat lokal dan di pasar tradisional. Namun, permintaan dari kedua pasar tersebut sangatlah terbatas.

Petani menerima sekitar Rp 35.000 per seratus kilogram dari distributor, namun jika dijual di masyarakat lokal atau pasar tradisional, 1 kilogram rata-rata dijual dengan harga Rp 10.000.
Ketika dijual ke distributor, kopi dijual mentah yaitu biji tanpa disangrai, atau bahkan masih berupa buah. Tetapi ketika dijual ke masyarakat, kopi telah disangrai atau dalam bentuk bubuk. Waktu dan modal yang dihabiskan untuk menjual ke distributor lebih sedikit: kopi dipanen, lalu langsung dijual. Sedangkan menjual ke masyarakat lokal membutuhkan lebih banyak waktu dan modal karena kopi harus dicuci, dikeringkan, disangrai, dan digiling: sebuah proses yang memerlukan minimal 3 hari untuk setiap hasil produksi.

Singkatnya, keuntungan per unit akan lebih besar diperoleh ketika menjual kopi ke masyarakat lokal, namun menjual ke distributor jauh lebih menguntungkan karena permintaan yang cenderung lebih besar, jumlah yang terjual lebih banyak, dengan proses yang lebih tidak terlalu memakan waktu.

Bagi saya, magang ini adalah pengalaman yang unik dan sangat menarik. Sebagai pelajar yang tinggal di Bogor dan bersekolah di Jakarta, saya terpukau dengan proses budi daya, pemrosesan lebih lanjut, dan penjualan, yang merupakan serangkaian proses untuk memproduksi kopi. 

Saya menyukai kopi. Tapi sejujurnya, tidak pernah terbersit di benak saya, bagaimana kopi bisa tersaji di cangkir saya. Melalui kegiatan magang ini, saya memiliki pemahaman lebih mendalam tentang upaya yang dilakukan untuk menghasilkan secangkir kopi. Sekarang saya memiliki rasa hormat yang besar untuk para petani, kerja keras, serta dedikasi yang mereka berikan. Kini, setiap cangkir kopi yang saya nikmati memberikan saya kesempatan untuk merenung sejenak, sehingga kopi pun terasa lebih nikmat.

Saya merasa amat beruntung memiliki kesempatan untuk magang bersama AgFor, dan saya yakin ini akan berguna untuk kelak memilih program studi di universitas dan karir saya. Satu karir yang menarik untuk saya adalah tentang bisnis yang menyediakan komoditas kepada masyarakat, namun dengan timbal balik yang adil dan pantas dari sisi produsen.

Related-Area: