BEKERJA DAN BERBAKTI UNTUK KEMAJUAN KTI

Pemerintah Baru Keluarkan Harga Beli Listrik Energi Terbarukan, Bagaimana Penilaian Mereka?

February 12, 2017 Della Syahni, Jakarta Energi
 

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM) mengeluarkan Peraturan Menteri ESDM No 12/2017 soal pemanfaatan sumber energi terbarukan (EBT) untuk penyediaan listrik. Permen ini mewajibkan Perusahaan Listrik Negara (PLN) membeli tenaga listrik dari pembangkit EBT untuk penyediaan tenaga listrik berkelanjutan.

Pasal dua ayat dua menegaskan, pembelian listrik harus mengacu pada Kebijakan Energi Nasional dan Rencana Umum Ketenagalistrikan.

Kebijakan energi dalam kepemimpinan Menteri Ignasius Jonan memprioritaskan pemenuhan listrik di seluruh daerah dengan harga wajar dan efisien bagi semua energi.

Pasal empat, menyatakan, pembangkit EBT berteknologi tinggi dengan sistem lelang dan pembelian listrik ditentukan melalui harga patokan atau pemilihan langsung untuk listrik kapasitas hingga 10 megawatt terus menerus.

Dalam beberapa pasal,  dinyatakan pembelian listrik melalui pembangkit EBT guna menurunkan biaya pokok produksi pembangkit (BPP) di lokasi pembangkit berada untuk memenuhi listrik yang tak ada sumber energi primer lain.

Ia diatur lebih rinci sesuai jenis pembangkit, antara lain, pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) fotovoltaik dan pembangkit listrik tenaga bayu (angin) dengan minimum paket 15 megawatt. Jika BPP melebihi BPP nasional, PLN membeli 85% dari BPP di lokasi itu. Syaratnya, pembangkit tersebar di beberapa lokasi. Jika BPP sama atau di bawah BPP nasional, dibeli sesuai BPP daerah itu.

BPP nasional ditetapkan tahun sebelumnya oleh menteri berdasarkan usulan PLN, saat ini Rp.1.400 per kwh.

Untuk pembangkit aliran atau terjunan air sungai, waduk, bendungan atau saluran irigasi (pembangkit listrik tenaga air) dengan kapasitas maksimal 10 megawatt harus mampu beroperasi dengan faktor kapasitas minimal 65%. Kapasitas lebih 10 Mw tergantung kebutuhan sistem. Harga beli listrik pembangkit ini juga 85% BPP setempat.

Dengan pola kerjasama build, own, operate and transfer (BOOT), dibangun, dimiliki, dioperasikan oleh pelaku usaha, jika masa habis transfer ke pihak lain. Harga beli listrik PLTA juga dipatok maksimal 85% dari BPP di lokasi itu.

Untuk pembangkit listrik tenaga biomassa (PLTBm)  dan pembangkit listrik tenaga biogas (PLTBg) pembelian oleh PLN hanya untuk badan usaha swasta yang punya bahan bakar cukup selama masa perjanjian jual beli listrik (PJBL). Kapasitasnya,  10 megawatt dengan sistem pemilihan langsung dan harga beli maksimal 85% dari BPP setempat.

Sedang pembangkit listrik tenaga sampah (PLTSa) dari semula  untuk membantu pemda menangani masalah sampah kota, dapat dengan pengumpulan dan pemanfaatan gas metana. Teknologinya,  sanitary landfill, anaerob digestion atau sejenisnya, penimbunan sampah atau melalui panas/termal dengan termochemical, harga patokan paling tinggi sebesar BPP setempat.

Jika sama atau di bawah BPP ditetapkan berdasarkan kesepakatan para pihak.

Khusus untuk pengembang PLTSa, dalam Permen dini dinyatakan boleh diberi insentif sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Pasal 11, mengatur pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP), hanya untuk badan usaha swasta yang memiliki wilayah kerja panas bumi sesuai cadangan yang terbukti setelah eksplorasi. Harga beli sesuai harga patokan paling tinggi sebesar BPP setempat atau kesepakatan.

Sekretaris Direktorat Jenderal Ketenagalistrikan KESDM Agoes Triboesono mengatakan, aturan mengenai EBT ini disusun dengan formula tertentu agar dapat dikembangkan namun dengan harga rasional.

Selain Permen ini, KESDM juga mengeluarkan Permen ESDM No 10 tahun 2017 tentang Pokok-pokok dalam Perjanjian Jual Beli Listrik.

Dalam permen ini dinyatakan PJBL maksimal 30 tahun sejak pertama kali beroperasi dengan sistem BOOT. Perizinan, termasuk izin lingkungan menjadi tanggungjawab badan usaha.

 
Kincir angin di Desa Kemanggih, Sumba, menghasilkan daya listrik 10 KW. Pemerintah tetap berkomitmen mengembangkan energi terbarukan dengan target capaian 23% pada 2025. Foto: Eko Rusdianto

 

 

Makin buruk?

Harga beli listrik dari pembangkit EBT dalam Permen No 12 ini lebih rendah dari feed in tarrif (FIT) yang pernah ditetapkan KESDM era Menteri ESDM Sudirman Said.

Dalam masa kepemimpinan Sudirman, sempat mengeluarkan Permen ESDM No 19/2016 tentang harga beli listrik dari PLTS fotovoltaik antara Rp1.885-Rp3.250 per kwh sesuai lokasi pembangkit.

Juru Kampanye Energi Terbarukan Greenpeace, Hindun Mulaika menilai, harus ada analisa lebih jauh terkait revisi harga listrik dari pembangkit EBT ini hingga bisa mencukupi harga produksi.

“Karena kalau harga belum sesuai, EBT akan sulit dikembangkan dan batubara terus mendominasi di grid Jawa Bali karena memang pertumbuhan permintaan listrik masih besar,” katanya kepada Mongabay, pekan lalu.

Ketidakpastian regulasi, karena aturan sering berubah-ubah praktis akan mempengaruhi investor karena risiko investasi meningkat. Untuk itu, perlu dukungan baik teknis terkait payung hukum, kepastian regulasi, dukungan finansial perbankan untuk meningkatkan iklim investasi terutama pembangkit ramah lingkungan.

Menteri ESDM Ignasius Jonan, dalam banyak kesempatan menyatakan dukungan membantu pemenuhan komitmen Indonesia mengurangi emisi gas rumah kaca, 23% pada 2025.

Namun, kini EBT khusus di wilayah-wilayah pedesaan atau pulau kecil terpencar. Ia belum menjadi energi yang sengaja dikembangkan untuk mengurangi dominasi batubara.

“Padahal, kalau kita lihat komitmen Perjanjian Paris, pengurangan emisi tak akan bisa terwujud kalau emisi sektor energi (batubara) tak ditekan. Sudah waktunya dicari sumber energi yang dapat menggantikan batubara. Itulah mengapa EBT di grid Jawa Bali krusial,” ucap Hindun.

Melihat harga listrik EBT di negara lain yang sudah menurun signifikan, dia menilai, Indonesia perlu skema paling tepat agar bisa mengikuti negara lain. Dia mencontohkan, Dubai menjual listrik PLTS US$2,99 sen per kwh.

“Penurunan itu butuh waktu dan skema tepat. Investasi awal akan mahal, tetapi in a long run harga akan turun signifikan. Apalagi kalau pasar besar dan sudah siap secara teknis,” katanya.

Skema yang dipakai negara-negara berhasil mengembangkan EBT antara lain feed in tarrif, net metering (menggunakan sistem tenaga surya rumahan) dan skema lelang.

Selain menemukan skema tepat, iklim investasi EBT di Indonesia perlu dukungan finansial sektor perbankan. Juga perlu insentif awal sebagai memicu pertumbuhan investasi EBT.

“Harusnya tak terlalu lama diberikan. Karena begitu pasar besar dan mencapai skala ekonomi tertentu, harga akan bersaing sehat.”

Senada diungkapkan Pengkampanye Urban dan Energi Walhi Nasional Dwi Sawung. Menurut dia, iklim investasi EBT makin memburuk dengan penetapan harga beli ini.

Efisiensi untuk pembangkit EBT tak bisa begitu saja disamakan dengan energi fosil dan batubara. Biaya yang harus ditanggung karena aktivitas yang berhubungan dengan batubara (eksternalitas) yang besar tak pernah diperhitungkan.

“Kalau eksternalitas dihitung sama, bisa diadu. Ini batubara meninggalkan beban lingkungan tinggi. Kenapa bisa murah karena ekternalitas tak masuk dalam komponen biaya,” ujar Sawung.

Insentif, katanya, masih perlu diberikan mengingat energi fosil juga mendapatkan insentif sebelumnya. “Bukan subsidi tapi (minimal) sesuai harga produksi saja.”

Dalam permen, insentif hanya untuk PLTSa sesuai perundang-undangan berlaku. Mahkamah Agung baru saja membatalkan Peraturan Presiden No 18/2016 tentang percepatan pembangunan PLTSa di beberapa kota percontohan.

“Presiden Jokowi punya program PLTSa, kalau nggak ada subsidi dari pusat, bubar semua.”

 
Tumpukan batubara untuk PLTU Rum, Kota Tidore Kepulauan. Pulau-pulau nan jauh dari sumber batubara yang kaya energi terbarukanpun, tetap dijejali dengan energi kotor PLTU batubara, dengan alasan klasik energi terbarukan mahal. Foto: M Rahmat Ulhaz

 

Alternatif

Direktur Eksekutif Indonesia Center for Environmental Law (ICEL) Henri Subagyo menilai, kebijakan EBT dalam permen baru ini masih dalam aspek efisiensi harga. Secara tersirat, dia melihat ada niat positif pemerintah ingin membeli listrik dari pembangkit EBT.

Lebih jauh, katanya, pemerintah perlu menjadikan indikator ramah lingkungan sebagai acuan penentuan harga. Lebih rinci, perlu perlakuan khusus terhadap energi bersih.  “Harus dimasukkan insentif dan disinsentif.”

Dia memberi contoh, pembangkit masih memerlukan bahan bakar seperti untuk pembakaran sampah pada PLTSa, mesti diberi harga berbeda dengan energi tanpa bahan bakar.

Henri menyoroti peruntukan EBT sebagai energi pengganti energi kotor (batubara dan fosil). Permen ini, masih gamblang menyebutkan,  pembelian listrik dari EBT untuk memenuhi kebutuhan listrik dimana tak ada sumber energi primer lain.

Dengan kata lain, katanya energi terbarukan masih dianggap energi alternatif. Untuk itu, perlu dipertimbangkan EBT sebagai energi bagi konsumen di daerah meskipun sudah ada listrik fosil atau batubara.

“Ini perlu digarap. Kalau untuk menggantikan (energi kotor), harus ada kebijakan agar masyarakat bisa memilih.”

Sumber: http://www.mongabay.co.id/2017/02/12/pemerintah-baru-keluarkan-harga-beli-listrik-energi-terbarukan-bagaimana-penilaian-mereka/

Related-Area: