BEKERJA DAN BERBAKTI UNTUK KEMAJUAN KTI

Maleo, si Cantik yang Terancam Punah...

Maleo, si Cantik yang Terancam Punah...
Kamis, 18 Desember 2014 | 12:35 WIB
Kompas.com/Ronny Adolof Buol
MANADO, KOMPAS.com - Banyak pengamat burung yang menyebutkan, tidaklah lengkap jika mengamati burung di Sulawesi tanpa mendatangi nesting ground (tempat peneluran) Maleo (Macrocephalon maleo).

Menurut mereka maleo identik dengan ekosistem Wallacea Sulawesi. "Maleo merupakan burung endemik Sulawesi yang unik yang saat ini statusnya genting atau endangered menurut International Union for Conservation of Nature (IUCN) dan masuk daftar Appendix 1 dari Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES)," ujar Koordinator Maleo Project Wildlife Conservation Society (WCS), Iwan Honuwu, Kamis (18/12/2014).

Menurut Iwan, secara fisik burung ini unik, cara penelurannya juga sangat unik. Maleo hanya akan bertelur di pasir atau tanah yang hangat atau yang lokasinya dekat dengan sumber panas bumi.

Salah satu nesting ground yang menjadi site penelitian WCS adalah lokasi berpasir hangat di tepi Sungai Muara Pusian, Dumoga, Kabupaten Bolaang Mongondow. "Ketika akan bertelur secara bergantian sepasang Maleo akan membongkar pasir hingga berbentuk lubang besar. Maleo betina kemudian akan diam di dalam lubang untuk bertelur, sementara sang jantan akan mengawasi situasi sekitar," kata Iwan yang mengajak Kompas.com mendatangi nesting ground di Pusian yang masuk dalam wilayah Taman Nasional Bogani Nani Wartabone (TNBNW).

Setelah betina bertelur, pasangan ini kemudian akan kembali menutupi lubang tersebut, lalu membuat beberapa lubang tipuan. Lubang tipuan tersebut sengaja mereka buat untuk mengelabui predator seperti biawak dan anjing.

"Predator lainnya ya manusia, yang mengambil telur Maleo. Tapi saat ini kesadaran warga sekitarnya sudah tumbuh seiring dengan site penelitian yang kami bangun," kata Iwan.

Selain di Pusian, site maleo lainnya yang dimiliki WCS ada di Desa Tambun serta di Tanjung Binerean di Kabupaten Bolaang Mongondow Selatan. Di site penelitian ini, WCS membangun hatchery (tempat penetasan) telur Maleo.

Setiap hari, ada petugas lapangan yang ditemani polisi hutan yang memeriksa nesting ground. "Jika ada Maleo yang bertelur, telurnya kemudian dipindahkan ke hatchery hingga anak Maleo menetas dan dilepas kembali ke alam," ujar Iwan.

Pemindahan telur ke hatchery semata-mata dilakukan agar kelangsungan hidup Maleo terjamin. Jika tidak ancaman predator dan perubahan suhu yang ekstrim akan membuat telur Maleo gagal menetas.

Di hatchery penetasan telur dilakukan secara alami dengan meniru kondisi seperti di nesting ground. Hanya saja di hatchery dibuatkan pelindung agar telur-telur itu terlindungi.

Kompas.com/Ronny Adolof Buol Petugas Lapangan Maleo Project, WCS-IP, Tomo sedang menyiapkan lubang di hatchery untuk meletakkan telur Maleo (Marcocephalon maleo) yang baru saja digalinya dari nesting ground di Muara Pusian, Dumoga, Kabupaten Bolaang Mongondow.
Ancaman Kepunahan
Hal unik lainnya dari Maleo adalah induknya tidak mengerami telurnya sendiri. Ketika selesai bertelur, Maleo meninggalkan begitu saja telur yang ditimbunnya di kedalaman sekitar 50-100 centimeter.

Telur yang bobotnya yang setara 4-5 kali bobot telur ayam itu akan tertimbun di dalam pasir/tanah bersuhu 32-35 derajat celcius selama sekitar 60 - 85 hari. "Induk Maleo pergi entah ke mana setelah bertelur. Tinggalah bakal anaknya yang berjuang sendiri di dalam telur. Setelah waktunya menetas, anak Maleo akan keluar dari cangkang telur dengan kaki menghadap ke atas. Dengan posisi itu, dia menggali pasir menerobos hingga ke atas. Perjuangan itu butuh satu hingga dua hari," papar Iwan.

Setelah dekat dengan permukaan, anak Maleo akan berputar dengan posisi kepala berada di atas. Lalu secara perlahan-lahan dia menyembulkan dirinya ke permukaan, mengambil nafas dan mengumpulkan tenaga lalu terbang ke alam bebas.

Menurut Iwan, dalam proses menerobos ke atas itu, anak Maleo bisa mati karena kehabisan tenaga atau tersangkut akar pohon.

Cara bertelur yang unik dari burung khas Sulawesi ini menjadikan Maleo dalam status genting dan perlu untuk diselamatkan. Dari catatan Birdlife International saat ini hanya tersisa 8.000 - 14.000 individu Maleo dewasa yang ada di alam. Itupun dengan kecenderungan populasi yang menurun.

Survei yang dilakukan Iwan dan peneliti lainnya mendapati beberapa nesting ground telah ditinggalkan Maleo akibat terganggunya fungsi hutan tempat habitat Maleo. Di lokasi-lokasi yang dulunya tempat Maleo bertelur, kini sudah berubah menjadi pemukiman.

"Belum lagi terputusnya koridor hutan utama dengan nesting ground akibat pembukaan lahan, perluasan pemukiman dan pembukaan jalan baru," kata Iwan.

Jika upaya penyelamatan Maleo seperti yang dilakukan oleh WCS tidak didukung oleh pihak lain seperti kesadaran masyarakat sekitar maka si burung cantik dari Sulawesi ini suatu saat akan benar-benar tinggal kisah.

Tenggok saja di Pusian yang merupakan site penelitian Maleo dan terdapat hatchery, Kompas.com butuh beberapa kali datang selama tiga tahun baru bisa memotret Maleo bertelur di nesting ground.

"Dulu jika waktunya bertelur, pasir di sini menjadi hitam, karena banyaknya pasangan Maleo yang datang, tapi sekarang harus bersembunyi dalam waktu yang lama baru bisa melihat aktivitas mereka bertelur," kata Petugas Pegendali Ekosistem Hutan dari TNBNW, Muslim Kobandaha.
Penulis    : Kontributor Manado, Ronny Adolof Buol
Editor     : Glori K. Wadrianto

Sumber: http://regional.kompas.com/read/2014/12/18/12354721/Maleo.si.Cantik.yang.Terancam.Punah.

Related-Area: