BEKERJA DAN BERBAKTI UNTUK KEMAJUAN KTI

Jutaan Anak Tercerabut dari Pendidikan

Anak-Anak Usia Sekolah Terpaksa Bekerja

JAKARTA, KOMPAS —Terdapat jutaan anak usia sekolah tidak menikmati pendidikan. Salah satu penyebabnya ialah kemiskinan. Mereka ”terpaksa” bekerja dalam usia sangat muda, membantu keluarga. Selain menggratiskan pendidikan lewat bantuan operasional sekolah, diperlukan terobosan agar mereka kembali mengecap pendidikan.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik serta Pusat Data dan Statistik Pendidikan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, terdapat 4,9 juta anak usia sekolah, tetapi di luar sekolah (tidak bersekolah). Di lapangan, ada beragam penyebab anak tidak bersekolah atau terputus pendidikannya.

Ariyanto (14), misalnya, menjadi penarik becak wisata di Taman Kota Waduk Pluit, Jakarta Utara, sejak berhenti dari sekolah pada awal 2014. Penghasilan Ariyanto menarik becak biasanya diberikan kepada ibunya.

”Kadang cuma dapat Rp 5.000, semuanya dia kasih ke saya,” ujar Nuri (60), ibu Ariyanto, ketika ditemui di kediamannya di Penjaringan, Jakarta Utara, akhir pekan lalu. Ariyanto anak bungsu dari 11 bersaudara. Tak satu pun dari mereka yang lulus SD.

Ariyanto mengatakan, semula dia berhenti sekolah karena merasa malu. Dia dua kali tinggal kelas. Ariyanto sering tidak diberi uang jajan karena orangtuanya tidak mampu. Ayahnya adalah petugas Taman Waduk Pluit dengan penghasilan Rp 800.000 per dua minggu. Ibunya menderita sakit paru-paru sehingga harus rutin berobat.

Tak penuhi syarat
Hal serupa dialami pasangan Caryoto (42) dan Siti Rohani (38) yang memiliki enam putri. Tiga di antaranya, yaitu Ami (19), Ita (16), dan Ayu (15), hanya menikmati pendidikan sampai tamat SD. Keluarga asal Brebes, Jawa Tengah, itu tinggal di Kelurahan Petamburan, Kecamatan Tanah Abang, Jakarta Pusat.

Menurut Caryoto, anak-anaknya tidak melanjutkan pendidikannya ke sekolah menengah pertama (SMP) karena sudah tidak mau sekolah. ”Pernah saya tanya. Namun, mereka enggak mau. Katanya, males mikir,” ujarnya, Kamis (5/2).

Selain itu, hasil ujian nasional (UN) anak-anaknya tidak memenuhi syarat untuk masuk SMP negeri. Caryoto yang sehari-hari mencari dan mengumpulkan botol plastik bekas mengatakan tidak sanggup untuk menyekolahkan anaknya di sekolah swasta.

Namun, Caryoto juga tak pernah berusaha mencari informasi biaya sekolah atau mencari keringanan biaya sekolah. Dia pernah mendengar dari teman-teman sesama pemulung kalau biaya sekolah swasta mahal. Meskipun tak pernah mencicipi bangku sekolah, dia mengakui bahwa sekolah itu penting.

Siti mengatakan, Ita, anaknya, pernah meminta untuk melanjutkan sekolah. Namun, penghasilan mereka sebagai pemulung hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

”Kalau sekolah di swasta, takutnya banyak iuran,” katanya. Penghasilan Caryoto dan Siti sehari rata-rata Rp 150.000. Uang itu digunakan untuk biaya makan dua kali sehari dan disisihkan untuk membayar kontrakan Rp 400.000 per bulan.

Dengan minimnya pendidikan, mereka meraih apa pun pekerjaan yang didapat. Anak pasangan Caryoto beberapa kali bekerja menjadi asisten rumah tangga dan menjadi karyawan toko untuk membantu keuangan keluarga, termasuk Ami yang masih berusia 16 tahun.

Mitos sekolah gratis
Pengamat pendidikan dan dosen UNJ, Jimmy Paat, mengatakan, istilah sekolah gratis hanya mitos sejauh ini. Kenyataannya, keluarga masih harus menyiapkan dana perlengkapan sekolah, transportasi, dan makan. Biaya transportasi di Jakarta, misalnya, relatif mahal bagi keluarga berekonomi menengah ke bawah. ”Jika sekali naik angkot biayanya Rp 2.000, dikalikan sebulan jadi Rp 120.000, dan ditambah uang makan, itu memberatkan keluarga berpenghasilan Rp 1 juta-Rp 2 juta sebulan,” kata Jimmy, Senin (9/2).

Selain itu, sekolah tidak memberikan rasa nyaman kepada anak. ”Lingkungan di sekolah tidak menyenangkan bagi anak, bisa saja terjadi perundungan, anak tidak memiliki teman, dan tidak ada interaksi yang baik antara guru dan murid sehingga anak tidak bersemangat untuk ke sekolah,” ujarnya.

Hal penting lainnya, menurut Jimmy, tak ada usaha keras orangtua untuk mendorong anak bersekolah sehingga anak berpikir bahwa sekolah tidak akan memberikan efek terhadap dirinya. (B06)

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000011917537

Related-Area: