BEKERJA DAN BERBAKTI UNTUK KEMAJUAN KTI

Beragam Tantangan Jaga Kekayaan Laut Maluku Utara

Pemerintah melalui Kementerian Perikanan dan Kelautan cukup gencar menindak kapal-kapal asing yang terlibat illegal, unreported, unregulated (IUU) fishing, namun pelanggaran terus terjadi, salah satu di Maluku Utara.

“Saat ini, di Malut, tak sedikit nelayan-nelayan asing mencuri ikan dengan teknologi canggih. Kementerian Kelautan sudah bekerja keras. Menteri Susi tak segan-segan menenggelamkan kapal asing di perairan Indonesia tanpa izin,” kata Muhammad Natsir Thaib, Wakil Gubernur Maluku Utara dalam Peluncuran Fair Trade dan Penyusuan Rencana Kerja Tahun II USAID-SEA, di Ternate, pekan lalu.

Masalah lain bagi Malut, kontribusi sektor perikanan terhadap produk domestik regional bruto (PDRB) masih lebih rendah dari Sulawesi. Padahal, katanya, ekspor ikan dari Pelabuhan Sulawesi, Maksasar, dan Surabaya dari Malut.

“Sudah 15 tahun sumber daya ikan Malut ke luar negeri, namun tercatat sebagai potensi ikan dari Sulawesi dan Surabaya,” katanya.

Natsir berharap, kehadiran USAID-SEA dapat membantu menjaga kekayaan laut Malut. Dalam fair trade ada konservasi laut, mendampingi bahkan melatih nelayan Malut mendapat tangkapan ikan berkualitas di pasaran.

Celly Catharina, Manajer Program USAID Indonesia mengatakan, kegiatan ini, 70% fokus perikanan lokal dan pengelolaan sumber daya laut di tiga provinsi sasaran yakni Maluku, Malut, dan Papua Barat.

Tahun pertama proyek ini di Malut meliputi penyusunan dan analisa data-data perikanan, status sosio-ekonomi, kondisi biofisik, pesisir, serta sumber daya laut.

“Serial data dan analisis hal penting bagi proses perencanaan tata ruang laut serta menentukan arah intervensi proyek USAID-SEA tahun II dan selanjutnya,” katanya.

Celly mengklaim, pada 2014, kegiatan ini berhasil diterapkan di dunia dan mengangkat reputasi Indonesia dalam pengelolaan perikanan tangkap.

“Sejak itu, perikanan di Maluku menikmati keberhasilan proses sertifikasi terutama dalam membangun kesadaran dan kapasitas komunitas nelayan, serta membangun kesadaran lingkungan maupun sosial,” katanya

USAID-SEA mencatat, 69% luasan Malut atau 145.819 km2 adalah perairan dengan 3.104 km garis pantai. Stok ikan mencapai 1.035.230 ton per tahun dengan produksi 51.000 ton per tahun pada 2011.

Ancaman ekosistem

Penangkapan ikan berlebih di Malut jadi salah satu ancaman utama kelestarian sumber daya perikanan terutama praktik perikanan ilegal, tak memenuhi aturan, dan tak terlaporkan.

Praktik ini dilakukan nelayan dari negara lain yang menangkap ikan pelagis besar, demersal, dan sampai kerapu ekspor ke sejumlah negara Asia.

Ancaman lain, katanya, praktik perikanan merusak, pengambilan terumbu karang, reklamasi, data status sumber daya laut minim, dan sistem registrasi kapal-kapal kecil lemah.

Tak hanya itu. Kawasan Konservasi Perairan (KKP) sedikit dan pengelolaan KKP lemah hingga kapasitas dan koordinasi dalam tata ruang laut minim, perusakan habitat laut, serta penegakan hukum lemah.

Belum lagi, kapasitas para pemangku kepentingan minim, dan belum ada peraturan perikanan di provinsi menambah daftar panjang ancaman kelestarian sumber daya laut dan perikanan Malut.

Celly bilang, proyek ini juga fokus penanggulangan penangkapan ikan berlebih dan praktik perikanan merusak melalui berbagai kegiatan. Baik penelitian untuk menilai status sumber daya ikan, identifikasi tumpang tindih data, evaluasi registrasi, dan sistem pengawasan kapal, serta pengembangan sistem pelacakan kapal.

Tantangan tata ruang laut, katanya,  diatasi melalui pengembangan aturan zonasi daerah, sosialisasi tata ruang laut, dan pengembangan sistem pengawasan dan evaluasi.

Mengenai penanganan IUU Fishing, katanya, ada kolaborasi peran dengan penegak hukum, dan pengawasan berbasis masyarakat. Penegak hukum, katanya, akan dibekali pelatihan kapasitas soal penanganan IUU Fishing.

Kendala nelayan tangkap

Rencana Fair Trade and Fisheries Program ini belum sepenuhnya bisa menjawab tantangan nelayan di Malut yang tersebar di beberapa pulau.

Ikbal Abdul Saleh, nelayan 46 tahun mengatakan, masih banyak kendala mendapat kualitas ikan yang baik. Kendala itu seperti es sulit, belum lagi listrik sering padam, bahkan mereka harus bersaing dengan nelayan asing.

 

“Kami di daerah jauh dari akses listrik, jadi sulit dapat es untuk menampung ikan,” kata perwakilan nelayan Kelompok Tuna Jaya ini. Serupa dikatakan La Muda, Ketua Kelompok Nelayan Beringin Jaya dari Desa Obi, Halmahera Selatan. Dia keluhkan dari es sampai bahan bakar sulit. “Kendala kami juga bagaimana menangkap ikan kualitas ekspor.”

 

Sumber : https://www.mongabay.co.id/2017/08/06/beragam-tantangan-jaga-kekayaan-laut-maluku-utara/

 

Related-Area: