BEKERJA DAN BERBAKTI UNTUK KEMAJUAN KTI

STRATEGI PENANGGULANGAN BAHAYA BRUCELLOSIS DI KABUPATEN MALUKU BARAT DAYA

Oleh: Astri D. Tagueha

(Staf Pengajar Fakultas Pertanian – Universitas Pattimura)

acit_tags@yahoo.com

--------------------

Dengan dikeluarkannya Keputusan Menteri Pertanian tahun 2009 tentang penetapan rumpun kerbau Moa, kambing Lakor, dan domba Kisar, pemerintah Propinsi Maluku semakin bergairah untuk mengembangkan sektor peternakan berbasis pulau-pulau kecil. Sebagai daerah pemekaran baru, kebijakan ini sangat mendukung peningkatan perekonomian daerah. Potensi ini haruslah dipandang dalam perspektif investasi, dengan demikian kerbau Moa, kambing Lakor, dan domba Kisar merupakan sumber ekonomi bagi Kabupaten Maluku Barat Daya.

Setiap sumber ekonomi perlu dijaga kelestariannya dari segi kualitas, kuantitas, dan kontinyutas. Brucellosis, penyakit bakterial kontagius, dideteksi keberadaannya pada populasi sapi di Kecamatan Leti pertengahan tahun 2012, menjadi ancaman serius bagi sektor perekonomian Kabupaten Maluku Barat Daya. Sekali menginfeksi ternak, tindakan kuratif apapun tidak lagi efektif. Vaksinasi sebagai tindakan preventif hanya memberikan perlindungan sekitar 65% terhadap ancaman infeksi. Brucellosis masuk dalam daftar B prioritas penanganan di seluruh dunia.

Kerugian ekonomi dari segi kualitas ditandai dengan infertilitas, panjangnya selang beranak, kegagalan konsepsi, dan status ternak penderita sebagai carrier seumur hidup. Ternak yang terinfeksi, walaupun terlihat sehat, akan mensekresikan bakteri dalam jumlah besar dalam susu, semen, cairan vaginal, fetus yang diaborsi, cairan atau membran plasenta, bahkan muntahan akan mengkontaminasi lingkungan dan menjadi sumber infeksi bagi ternak lain. Kerugian dari sisi kuantitas didasarkan atas penurunan berat badan, penurunan produksi susu, mati/lemahnya anak yang dilahirkan, dan pada akhirnya berujung pada penurunan populasi. Jika terjadi penurunan populasi, sumber pendapatan masyarakat berkurang, nilai kearifan lokal dalam masyarakat memudar, dan akhirnya hilangnya identitas ketiga ternak sebagai potensi lokal. Inilah kerugian dari sisi kontinyutas.

Sapi, kerbau, babi, kuda, kambing, domba, dan anjing rentan terhadap brucellosis, namun di Indonesia kasusnya banyak ditemui pada sapi dan kerbau. Brucella abortus, agen penyebab penyakit, mampu bertahan beberapa bulan dalam air, sisa abortus, pupuk dan peralatan kandang dan memasuki tubuh melalui oral, nasal, selaput lendir konjungtiva, ataupun kulit yang luka. Sistem penggembalaan yang memungkinkan beberapa ternak berkontak dalam satu areal, memudahkan terjadinya penularan antar jenis ternak dalam waktu bersamaan.

Brucellosis menular ke manusia (zoonosis), melalui konsumsi susu atau produk susu tanpa pasteurisasi (pemanasan bersuhu tinggi), luka yang terkontaminasi sekresi dari ternak penderita, ataupun menangani organ ternak pada saat pemotongan. Gejala yang ditimbulkan awalnya mirip dengan flu biasa, namun bertahan beberapa minggu hingga beberapa bulan dengan gejala yang makin memburuk.

Pengamanan ternak lokal dari serangan penyakit berbahaya adalah langkah pertama dalam menjamin keberlangsungan sektor peternakan. Berbagai program pembudidayaan, pembukaan akses pasar, bahkan penerapan teknologi menjadi mubazir jika populasi ternak terdiagnosis menderita zoonosis.

Keberadaan brucellosis di Pulau Leti berimplikasi pada penetapan Kabupaten Maluku Barat Daya sebagai daerah tersangka. Status ini akan meningkat menjadi daerah tertular atau daerah wabah sejalan dengan penyebaran penyakit. Sebagai daerah pemekaran baru, kesiapan daerah ini dalam menangani kasus brucellosis berbeda dengan kabupaten lain. Keyakinan bahwa daerahnya bebas dari berbagai penyakit zoonosis telah menghambat tanggap cepat pemerintah setempat untuk mengeliminir infeksi agen brucellosis. Kurang sigapnya pemerintah setempat kemungkinan disebabkan 3 faktor, yakni belum adanya pengalaman menangani kasus sejenis, rentang kendali luas akibat kondisi geografis, dan sistem pemeliharaan ternak secara tradisional.

Berefleksi dari kebijakan pengendalian brucellosis di Kabupaten Buru Utara dan Kabupaten Maluku Tengah, program vaksinasi selama 32 tahun hanya cukup melokalisir daerah penyebaran penyakit namun tidak berhasil membebaskan. Padahal sesuai program nasional, implementasi 10 tahun vaksinasi seharusnya dapat memberantas brucellosis. Program pengendalian dan pemberantasan penyakit sebaiknya dirumuskan berdasarkan hasil identifikasi berbagai faktor resiko dari tinjauan hospes, agen, dan lingkungan. Pengaruh masing-masing dan interaksi ketiganya akan menentukan model infeksi brucellosis baik di tingkat ternak maupun prevalensi di tingkat peternak. Infeksi brucellosis pada individu ternak mempengaruhi infeksi di tingkat populasi, sementara prevalensi di tingkat peternakan akan menentukan status penyebaran penyakit di desa, kecamatan, bahkan kabupaten secara umum.

Aspek sosial budaya turut mempengaruhi sikap dan tindakan peternak dalam penanganan kesehatan ternaknya. Sikap peternak dipengaruhi oleh pengetahuan, sedangkan pengetahuan merupakan output dari interaksi norma, nilai, kepercayaan, maupun pengalaman hidup. Pengetahuan tersebut akan diimplementasikan melalui tindakan. Menemukenali pengetahuan, sikap, dan tindakan peternak berimplikasi pada identifikasi berbagai faktor pendukung timbulnya infeksi penyakit (predisposisi) selain agen dan hospes. Memahami peternak dari sisi sosial budaya akan memberikan wacana baru dalam penentuan model infeksi suatu penyakit.

Untuk mempertahankan eksistensi ketiga plasma nutfah dari ancaman brucellosis sekaligus menyokong kebijakan pemerintah daerah dalam penetapan Kabupaten MBD sebagai lumbung ternak, diperlukan kajian komprehensif yang mencakup : (1) pendekatan sosial budaya (2) aspek determinan, ekologi penyakit, dan konfirmasi laboratoris; (3) keterkaitan antara semua aspek tersebut dalam kerangka pemeliharaan infeksi. Berdasarkan kajian ini kemudian ditentukan model penanggulangan adaptif dan sistem kewaspadaan dini sebagai strategi penanggulangan bahaya brucellosis di Kabupaten Maluku Barat Daya.