BEKERJA DAN BERBAKTI UNTUK KEMAJUAN KTI

“COMDEV” dan Undang -undang Desa

“COMDEV” dan Undang -undang Desa
Posted On 21 Apr 2014
By : Redaksi

Oleh: Sidik Pramono
 Bergiat di Election and Governance Project

Maluku Utara merupakan salah satu provinsi yang mengandalkan pertambangan sebagai sektor andalan. Selain perusahaan pemegang kontrak karya (KK); data Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral per Februari 2014, di Maluku Utara tercatat sebanyak 335 pemegang izin usaha pertambangan (IUP). Bukan hanya dari bagi-hasil pendapatan yang disetor ke pusat ataupun beragam pungutan yang ditarik oleh daerah; yang bisa diharapkan dari perusahaan pertambangan adalah program pengembangan dan pemberdayaan masyarakat (community development). Program pengembangan masyarakat bukan sekadar untuk menjawab persoalan yang muncul saat ini, tapi terutama penting juga sebagai antisipasi atas potensi persoalan yang muncul di kemudian hari.
Program pengembangan masyarakat merupakan kewajiban yang harus dipenuhi oleh perusahaan pertambangan. Ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara pada pasal 95 huruf d menyatakan bahwa pemegang izin usaha pertambangan wajib melaksanakan pengembangan dan pemberdayaan masyarakat setempat. Ketentuan tersebut tentu berlaku umum, termasuk bagi perusahaan pemegang kontrak karya (KK) dan perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara (PKP2B) yang lahir sebelum UU 4/2009 disahkan.
Pengembangan masyarakat dimaksud dapat diartikan sebagai kegiatan yang dilakukan secara sistematis, terencana, dan diarahkan untuk memperbesar akses masyarakat guna mencapai kondisi sosial ekonomi dan kualitas kehidupan yang lebih baik (Budimanta, 2002). Seturut konsep tersebut, industri harus dapat membawa komunitas lokal bergerak menuju kemandiriannya tanpa merusak tatanan sosial budaya yang sudah ada (Pedoman Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat Sekitar Wilayah Lokasi Tambang, 2010). Karenanya,  “intervensi” sosial yang dilakukan semestinya berangkat dari realitas masyarakat saat ini dengan segenap potensi dan kelemahannya serta dipandu oleh visi jauh ke depan tentang gambaran masyarakat yang hendak dicapai. Itulah yang bisa menciptakan masa depan berkelanjutan (sustainable future), bagi masyarakat maupun bagi perusahaan.
Secara teoritis, program pengembangan masyarakat yang paling ideal tentulah manakala rancangan programnya lahir dari inisiasi masyarakat sendiri dan perusahaan hanya memfasilitasi. Partisipasi merupakan salah satu kata kunci dan kearifan lokal merupakan basis perancangan program pengembangan masyarakat. Inti dalam pengembangan masyarakat adalah pendidikan (sederhananya: menjadikan seseorang tahu), pendampingan (menjadikan seseorang mampu), dan pemberdayaan (menjadikan seseorang mau).

Kalaupun  belum bisa seideal itu, program pengembangan masyarakat yang diinisiasi oleh perusahaan pertambangan harus berangkat dari pemetaan potensi lokal. Prinsipnya: tidak ada “kunci-inggris”, satu rancangan program yang bisa efektif untuk seluruh lokasi, keadaan, atau segala kurun waktu. Skenario yang jelas mengenai program pengembangan masyarakat juga merupakan hal penting. Perusahaan pertambangan bisa pergi setelah 30 tahun beroperasi, namun masyarakat di sekitarnya akan turun-temurun tinggal dan tumbuh di lingkungannya saat ini.
Realitas bahwa pertambangan merupakan industri pionir, beroperasi di remote-area, menjadikan wilayah desa dengan segenap komunitas di dalamnya merupakan stakeholder penting bagi perusahaan pertambangan. Desa dengan segenap perangkat pemerintahan, penduduk, dan pranata sosialnya merupakan elemen penting yang tidak boleh diabaikan dalam perancangan, implementasi, maupun evaluasi program pengembangan masyarakat yang difasilitasi oleh perusahaan pertambangan. Pemerintah setempat pun harus bekerja secara efektif memastikan keberlangsungan program pengembangan masyarakat dalam jangka panjang. Bagaimanapun, pemerintah merupakan organ negara dalam upaya mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.
Ketentuan terbaru yang harus diperhatikan terkait dengan pengembangan masyarakat adalah Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Seperti mengemuka dalam pembahasan RUU Desa yang berpuncak pada pengesahan pada rapat paripurna DPR pada Desember 2013; selama ini pengaturan mengenai desa dinilai belum dapat mewadahi segala kepentingan dan kebutuhan masyarakat desa yang hingga saat ini sudah berjumlah sekitar 73.000 desa dan sekitar 8.000 kelurahan. Selain itu, pelaksanaan pengaturan desa yang selama ini berlaku sudah tidak sesuai lagi dengan   perkembangan zaman, terutama antara lain menyangkut kedudukan masyarakat hukum adat, demokratisasi, keberagaman, partisipasi masyarakat, kemajuan dan pemerataan pembangunan sehingga menimbulkan kesenjangan antarwilayah, kemiskinan, dan masalah sosial budaya.
Beberapa hal menarik dalam UU tersebut terkait dengan program pengembangan masyarakat. Salah satu isu yang menonjol tentulah ketentuan bahwa salah satu sumber pendapatan desa adalah alokasi dana desa yang totalnya minimal 10%  dari dana perimbangan yang diterima kabupaten/kota dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah setelah dikurangi Dana Alokasi Khusus. Sekalipun belum jelas benar mengenai mekanisme pencairan dana tersebut; sudah jelas bahwa desa akan menjadi organ-negara yang mengelola dana-besar secara mandiri yang besarnya bisa mencapai ratusan juta rupiah tergantung pada kondisi desa.
Poin lain adalah bahwa pembangunan desa dilaksanakan sesuai dengan Rencana Kerja Pemerintah Desa. Pembangunan desa dilaksanakan oleh pemerintah desa dengan melibatkan seluruh masyarakat desa dengan semangat gotong royong. Pembangunan lokal berskala desa dilaksanakan sendiri oleh desa. Wajar jika masyarakat kian menuntut pelibatkan mereka dalam setiap program pengembangan masyarakat yang diinisiasi oleh perusahaan. Hal lain yang termuat dalam UU Desa adalah ketentuan bahwa desa dapat mendirikan badan usaha milik desa (BUM Desa) yang dapat menjalankan usaha di bidang ekonomi dan/atau pelayanan umum. Bisa saja kini masyarakat dan pemerintah desa akan meminta pelibatkan BUM Desa dalam setiap aktivitas ekonomi yang terjadi di wilayahnya.
Singkatnya, ketentuan hukum saat ini kian mengokohkan posisi rakyat desa sebagai elemen penting dalam pembangunan, tidak lagi sekadar obyek yang terlihat indah dalam laporan atau publikasi perusahaan. Bukan bukan masanya lagi rakyat desa hanya sekadar dijadikan pendengar dan audiens pasif dalam paparan program pengembangan masyarakat yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan pertambangan di Maluku Utara.

Sumber: http://malutpost.co.id/2014/04/21/comdev-dan-undang-undang-desa/