BEKERJA DAN BERBAKTI UNTUK KEMAJUAN KTI

Pandemi yang Memicu Inovasi Inklusif

Artikel ini telah tayang di Katadata.co.id, 16 April 2020

Saat ini, hampir semua diskusi yang sifatnya publik menempatkan Covid-19 sebagai objek utama. Memaksa orang-orang untuk memikirkan keselamatan dan kesehatannya. Tidak sedikit pula muncul opini yang mengangkat kesalahan sistem pembangunan dan globalisasi sebagai pemicu lain dari wabah ini.

Banyaknya pertimbangan mengenai pertumbuhan ekonomi daripada kemaslahatan masyarakat adalah kritik yang paling sering terlontar. Oleh karenanya, setelah semua ini usai, kita perlu berpikir bagaimana menjalani keseharian yang lebih tertata dan arif serta selaras dengan kebutuhan lingkungan dan alam. Lebih tertata. Dua kata kunci ini utamanya perlu diperhatikan oleh para pengambil kebijakan di Indonesia.

Pasca membaiknya penanganan krisis bisa dijadikan momentum untuk mengoreksi praktik pembangunan yang terlalu fokus pada pembangunan ekonomi. Begitupun pembahasan tentang inovasi yang selama ini terlampau dikaitkan dengan pertumbuhan ekonomi. Diperlukan pergeseran ke arah inovasi inklusif yang menekankan pada pendekatan lintas disiplin untuk mengatasi tantangan aktual yang secara langsung dihadapi masyarakat. Pentingnya pendekatan inovasi inklusif ini saya coba uraikan ke dalam tiga dimensi temporal untuk mengilustrasikan urgensinya.

Dalam dimensi jangka pendek atau yang paling mendesak, pendekatan lintas disiplin harus terintegrasi dalam penanganan wabah Covid-19 itu sendiri. Beberapa cara yang dapat dilakukan adalah menggunakan perspektif sosiologis ke dalam pertanyaan-pertanyaan teknis penanganan wabah ini.

Beberapa pekan silam, Panel Sosial untuk Kebencanaan yang beranggotakan peneliti dari Ilmu Pengetahuan Sosial dan Kemanusiaan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (IPSK-LIPI), Universitas Indonesia (UI), Universitas Gadjah Mada (UGM), dan Jurnalis Bencana dan Krisis (JBK) Indonesia, menyusun studi kilat mengenai aspek privasi dan perlindungan data terkait informasi pasien Covid-19. Studi tersebut digunakan sebagai dasar untuk keputusan pemerintah dalam menangani dan mempublikasikan data pasien dan korban pandemi.

Ini contoh kecil tentang bagaimana pentingnya landasan pengambilan keputusan pada situasi darurat dan data yang berbasis riset sosial tentang perilaku dan persepsi masyarakat. Adapun pada level global, para ilmuwan sudah menyusun survei internasional mengenai persepsi terhadap virus Corona.

Ketika berbicara data, korban Covid-19 di Indonesia seharusnya juga bisa ditelaah berdasarkan bagaimana ia tertular, bukan hanya ‘dari mana’ ia tertular. Sebagaimana diketahui, ada beberapa pasien yang terjangkit karena tidak menghindari pertemuan yang sifatnya massal. Pelajaran mengenai pola penyebaran virus ini tidak hanya penting bagi ahli kesehatan, tetapi juga bagi ilmuwan sosial. Begitupun terkait dokumentasi peristiwa yang penting untuk para sejarawan.

Dalam dimensi jangka menengah, kita bisa membahas pentingnya riset sosial humaniora dalam konteks pemindahan ibu kota. Sejauh ini, sebagian besar diskusi mengenai pemindahan ibu kota hanya berkutat seputar aspek teknis. Contohnya, masalah pembebasan dan kepemilikan lahan, biaya dan waktu pembangunan, desain, hingga nama ibu kota baru itu sendiri.

Padahal aspek yang paling membutuhkan perhatian adalah perubahan yang akan dihadapi komunitas dan masyarakat adat setempat. Sebab, akan terjadi migrasi ribuan (bahkan jutaan) manusia ke wilayah mereka. Kembali, riset lintas disiplin dengan perspektif sosial humaniora menjadi kunci di sini.

Jika hendak dipertajam, sebelum memulai wacana pemindahan ibu kota, kita seharusnya menggali kajian-kajian sejarah, geografi, demografi, dan sosiologi tentang transmigrasi di era Orde Baru. Belajar dari pengalaman yang sudah ada, seharusnya inheren dalam melakukan inovasi inklusif.

Dalam dimensi jangka panjang, tantangannya adalah mengintegrasikan aspek sosial humaniora ke dalam seluruh rencana riset dan pembangunan. Hal ini perlu ditunjang dalam kelembagaan Badan Riset Inovasi Nasional (BRIN). Sebab, pada dasarnya sosial humaniora bukan hanya pelengkap riset sains.

Jika komitmen pemerintah paripurna, bentuk integrasi perspektif ini berwujud hadirnya kedeputian khusus untuk mewadahi riset-riset dalam disiplin sosial humaniora. Seandainya sudah ada, tugasnya adalah memastikan bahwa riset sosial bukan hanya tercantum dalam anggaran. Suara para penelitinya juga perlu mewarnai proses serta hasil riset maupun kebijakan.

Selama ini riset sosial terlalu diidentikkan dengan riset ‘pemadam kebakaran’ yang sifatnya menanggulangi bencana atau problem sosial. Riset sosial terlanjur identik dengan penanganan kasus seperti terorisme, konflik kekerasan, atau sekadar untuk memahami mengapa pelajar perkotaan kerap terlibat tawuran. Sementara pengembangan smart city dianggap sebagai milik para ilmuwan teknologi informasi semata. Cara berpikir dikotomis seperti ini yang seharusnya dibongkar.

Dengan dukungan kelembagaan, agenda riset nasional dipastikan akan mengakomodasi riset sosial humaniora yang bukan hanya sebagai pelengkap, tetapi juga sebagai perspektif. Dengan demikian, ia akan melekat dalam berbagai isu strategis nasional. Mulai dari ketahanan pangan, pengembangan kota cerdas, kemajemukan bangsa, sampai pada isu strategis lainnya seperti pengembangan industri 4.0.

Kembali, situasi hari ini mengingatkan pentingnya pendekatan lintas disiplin dan riset sosial humaniora untuk diintegrasikan ke dalam tata kelola negara dan tata cara pembuatan kebijakan. Kata inovasi yang sering didengungkan, bukan hanya menyangkut hilirasi dan komersialisasi, tetapi juga inklusi. Oleh karena itu, inovasi inklusif dan pendekatan lintas disiplin berbasis sosial humaniora amatlah penting. Tanpa pandemi sekalipun.

embali, situasi hari ini mengingatkan pentingnya pendekatan lintas disiplin dan riset sosial humaniora untuk diintegrasikan ke dalam tata kelola negara dan tata cara pembuatan kebijakan. Kata inovasi yang sering didengungkan, bukan hanya menyangkut hilirasi dan komersialisasi, tetapi juga inklusi. Oleh karena itu, inovasi inklusif dan pendekatan lintas disiplin berbasis sosial humaniora amatlah penting. Tanpa pandemi sekalipun.