BEKERJA DAN BERBAKTI UNTUK KEMAJUAN KTI

Mengikat Pengetahuan, Menyebarkan Inspirasi - Catatan 10 Tahun Yayasan BaKTI

 

Oleh M. Ghufran H. Kordi K.

 

Pengamat Sosial

Pada 23 September 2014 Yayasan BaKTI (Bursa Pengetahuan Kawasan Timur Indonesia) memperingati ulang tahunnya yang kesepuluh. Sesuai dengan namanya, peringatan ulang tahun BaKTI diisi dengan pertukaran pengetahuan dari orang-orang hebat dan menginspirasi di negeri ini, terutama dari KTI.

 

Sepuluh tahun bukanlah waktu yang panjang jika diukur dari umur sebuah institusi, apalagi umur manusia. Namun sepuluh tahun juga bukan waktu yang pendek bagi upaya mencapai suatu visi atau cita-cita.

Tergantung pada perspektif orang untuk melihat dan menilai. Namun, dalam jangka waktu sepuluh tahun, BaKTI telah melakukan beberapa terobosan untuk perubahan dan kemajuan, terutama di kawasan timur Indonesia (KTI). BaKTI lahir pada momen dan waktu yang tepat, di samping mengambil posisi yang strategis untuk suatu perubahan ke arah yang lebih baik.

BaKTI lahir enam tahun setelah berakhirnya rezim Orde Baru. Dengan demikian, BaKTI berada dalam situasi transisi demokrasi yang menuntut institusionalisasi infrastruktur dan suprastruktur bagi penguatan demokrasi. Di samping itu, demokrasi modern menuntut peningkatan kesejahteraan rakyat, karena sebagian besar negara demokrasi adalah negara makmur dan maju. Sementara kemajuan dan kesejahteraan tumbuh di negara-negara yang berhasil mengembangkan lembaga politik dan ekonomi yang baik (Acemoglu & Robinson, 2014).

Penguatan kelembagaan demokrasi politik dan ekonomi tidak hanya—bahkan mustahil—diharapkan dari lembaga-lembaga resmi negara. Peran masyarakat sipil (masyarakat madani) sama pentingnya dengan peran lembaga resmi negara. Apalagi, negara tidak hanya berdiri netral, tetapi dalam banyak kasus empiris selalu dikendalikan oleh kekuatan pasar. Karena itu, posisi masyarakat sipil menjadi strategis dalam menjaga keseimbangan dengan negara dan pasar.

Organisasi non pemerintah (Ornop) atau lembaga swadaya masyarakat (LSM) merupakan kelompok masyarakat sipil yang diperhitungkan dalam trias politika modern (negara, pasar, dan rakyat/masyarakat). BaKTI adalah bagian dari masyarakat sipil, yang dituntut untuk berkontribusi dalam masa transisi ini.

 

Melawan Stigma dan Stereotip

BaKTI menjadi sebuah institusi besar di luar Pulau Jawa, dan (mungkin) terbesar di KTI, dalam hal program yang dilaksanakan dan jangkauannya. Dengan fokus di KTI, BaKTI tidak hanya menghadapi persoalan keterbelakangan pembangunan, tetapi juga melawan stigma dan stereotip (stereotypes) yang selama ini melekat pada masyarakat KTI.

Stigma merujuk pada tanda-tanda tubuh untuk mengungkapkan sesuatu yang ganjil (Goffman, 1963; Jones, 2000), sedangkan stereotip adalah generalisasi pada kelompok yang biasanya negatif dan tidak menguntungkan (Jones, 2000). Masyarakat di KTI distigma sebagai hitam dan keriting, dan mengalami stereotip sebagai kasar, keras, dan konyol. Bahkan stigma terhadap masyarakat KTI menjalar hingga ke “meja makan”. Dulu (bahkan hingga saat ini), masyarakat KTI “dituduh” mengonsumsi lem atau perekat, karena makan popeda atau kapurung. Padahal makanan tersebut diolah sari pati sagu dan merupakan bahan pangan yang mengandung karbohidrat sangat baik dan beberapa mikronutrien penting lainnya.

Fakta fisik sebagai hitam dan keriting bukanlah masalah, karena itu sesuatu yang alamiah dan kodrati. Yang menjadi masalah adalah, hitam dan keriting diidentikkan dengan kekerasan dan perilaku negatif lainnya.Generalisasi tentang perilaku buruk ini menguat dan dipercaya oleh masyarakat karena disosialisasikan oleh media secara terus-menerus. Dan jangan lupa, stigma hitam dan keriting juga mendapat dukungan luas kalangan produsen alat dan bahan kosmetik.

Sejak didirikan, BaKTI mengembangkan program-program yang memperkuat masyarakat yang berperspektif kemanusiaan, keadilan, dan kesetaraan gender, di dalamnya termasuk melawan stigma dan stereotip yang selama ini dilekatkan pada masyarakat KTI. 

Stigma dan stereotip harus dihapus karena bertentangan prinsip dan nilai kemanusiaan. Dalam berbangsa dan bernegara, stigma dan stereotip terhadap etnis dan budaya tertentu akan merusak kebersamaan dan persatuan nasional, dan tidak sesuai dengan nilai-nilai pancasila.

 

Berbasis Aset dan Pengetahuan

KTI adalah kawasan Indonesia yang sangat kaya akan sumber daya alam, baik sumber daya terestrial (daratan), maupun terutama maritim (lautan). Namun, keberlimpahan sumber daya alam yang ada justru menjadi “bencana” bagi masyarakat di KTI. Keterbelakangan identik dengan KTI, karena eksploitasi sumber daya alam yang dilakukan secara besar-besaran hanya sedikit untuk pembangunan KTI.

 

Di sisi lain, pembangunan ikut merusak pengetahuan, kearifan, dan budaya lokal yang terbentuk dan berkembang secara alamiah. Kebijakan dan perencanaan pembangunan yang tidak berbasis aset setempat dan pengetahuan lokal terbukti merusak sumber daya setempat, di samping pembangunan tidak berkelanjutan.

Sebagai lembaga yang fokus pada KTI, BaKTI mengadvokasikan pembangunan berbasis aset (asset based). Aset setempat adalah kekuatan yang telah dimiliki, sehingga menggunakan sumberdaya dan kekuatan lokal yang tentu tidak asing bagi masyarakat. Pengutamaan aset setempat juga mengurangi pemasukan sumber daya luar yang tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan lingkungan setempat.

Negara-negara yang sangat maju pun membangun berbasis aset yang dimilikinya. Bahkan, studi-studi terbaru membuktikan bahwa upaya pengentasan kemiskinan yang berhasil dirancang dan dilaksanakan berbasis aset (Sherraden, 2006).

Selain aset, BaKTI juga mengadvokasikan pembangunan dengan menggunakan pengetahuan, baik pengetahuan lokal maupun riset ilmiah. Pengetahuan menjadi penting agar perencanaan selalu berdasarkan data dan informasi yang akurat. Data dan informasi yang akurat juga sangat berguna untuk prediksi dampak di masa yang akan datang.

Data, informasi, dan berbagai praktek cerdas tidak harus menjadi milik suatu lembaga atau komunitas saja, tetapi harus dishare agar diketahui dan direplikasi untuk kemajuan bersama. Karena itu, BaKTI menerbitkan Majalah BaKTI News, brosur, leaflet, dan buku, serta mengelola media online untuk penyebaran data, informasi, dan pengetahuan, sekaligus forum diskusi di KTI. BaKTI juga mengorganisir para peneliti KTI dalam JiKTI (Jaringan Peneliti KTI).

Kontribusi BaKTI untuk KTI dan negeri ini tentu belum seberapa. Namun, kontribusi tersebut akan tercatat sebagai bakti orang-orang hebat yang peduli pada kemanusiaan dan kemajuan negeri. Selamat ulang tahun BaKTI yang kesepuluh.(***)