BEKERJA DAN BERBAKTI UNTUK KEMAJUAN KTI

MEA dan Strategi Ketenagakerjaan

MEA dan Strategi Ketenagakerjaan

Oleh: Moh Jumhur Hidayat

MASYARAKAT Ekonomi ASEAN secara efektif akan berlaku pada 1 Januari 2016.

Kita hanya memiliki waktu tersisa satu tahun untuk mempersiapkan diri menghadapi tantangan besar sebagai bagian dari tekanan liberalisasi atau tantangan nyata globalisasi. Tentu berbagai aspek dalam perekonomian akan terdampak akibat munculnya komunitas ini, tak terkecuali masalah ketenagakerjaan.  Dalam bidang ketenagakerjaan, komunitas ini juga mengisyaratkan dibebaskannya mobilitas tenaga kerja intra-ASEAN dalam kerangka movement of natural persons yang segaris dengan pandangan WTO,  yaitu mobilitas kaum  profesional (highly skilled) akibat adanya kegiatan  perdagangan dan investasi.

Dengan demikian, tenaga kerja yang tak masuk kategori profesional atau sangat ahli tak diperbolehkan mengakses pasar kerja ASEAN walau tenaga mereka dibutuhkan industriawan atau pengusaha yang tersebar di negara-negara ASEAN, terkecuali jika ada perjanjian bilateral yang membolehkannya.

Dengan melihat postur angkatan kerja Indonesia yang masih didominasi tingkat pendidikan rendah dan masih dibutuhkannya kaum profesional Indonesia dalam pembangunan ekonomi nasional, sudah dapat dipastikan akan lebih banyak mobilitas kaum profesional yang masuk (inflow) ke pasar kerja di Indonesia dibandingkan dengan kaum profesional Indonesia yang keluar (outflow) untuk memasuki pasar kerja ASEAN. Jika ini terjadi, dalam perspektif merebut peluang pasar kerja, Indonesia akan merugi.

 Dalam perjanjian Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) bidang ketenagakerjaan ini memang telah dibuat payung perjanjian pengakuan bersama (mutual recognition agreement/MRA) untuk beberapa jenis pekerjaan yang bisa menjadi tujuan mobilitas tenaga kerja intra-ASEAN. Saat ini sudah terdapat delapan jenis pekerjaan yang telah mendapat payung MRA dari ratusan jenis pekerjaan yang bisa digali dalam pasar kerja ASEAN. Jenis pekerjaan itu adalah insinyur, arsitek, praktisi medis/dokter, dokter gigi, perawat, akuntan, surveyor profesional, dan tenaga pariwisata profesional.  Dari delapan jenis pekerjaan itu, tampak jelas perekonomian Indonesia masih kekurangan delapan jenis tenaga kerja profesional tersebut sehingga mengharapkan kaum profesional itu tetap bekerja di Tanah Air. Meski sudah terdapat payung MRA, tenaga kerja tak otomatis bisa mengakses pasar kerja ASEAN, karena negara penerima masih diperbolehkan menetapkan regulasi sebagai syarat diterimanya tenaga kerja asing.
Strategi ketenagakerjaan

Memperhatikan kondisi ini, untuk menghindari potensi kerugian pada tahun-tahun mendatang, perlu strategi ketenagakerjaan yang perlu dipercepat dan diintensifkan dalam masa satu tahun ke depan. Beberapa langkah strategi itu adalah, pertama, pemerintah perlu mengampanyekan dan mengimbau komunitas pengusaha di Indonesia, baik lokal maupun asing, untuk tetap mempekerjakan tenaga kerja lokal.

Jika pilihan memakai tenaga kerja asing adalah betul-betul pilihan profesional, itu masih bisa dimengerti. Namun, tak jarang pilihan komunitas pengusaha itu justru terjadi karena ada semacam tren atau rasa lebih percaya diri jika mempekerjakan tenaga asing, padahal kemampuan pekerja lokal tak kalah hebat.

Dengan kata lain, para pengusaha itu tak boleh bermental inferior atau lebih jauh lagi bermental ”inlander” yang menganggap semua yang berbau ”asing” pasti hebat. Demikian juga pemerintah perlu mengampanyekan dan mengimbau komunitas profesional agar tetap bekerja di Tanah Air sejauh jenis pekerjaan itu tersedia, karena sikap ini bagian dari pengabdian nyata kepada bangsa meski ada tawaran upah lebih tinggi di pasar kerja ASEAN. Kesadaran ini juga bisa disebut sebagai revolusi mental dalam menghargai kemampuan negeri sendiri.

Kedua, pemerintah perlu mewajibkan agar negara mitra asal pekerja yang akan datang ke Indonesia memenuhi persyaratan tertentu, misalnya telah meratifikasi delapan Konvensi Dasar ILO dan meratifikasi Konvensi PBB tahun 1990 tentang Perlindungan Hak-hak Buruh Migran Beserta Anggota Keluarganya. Sejauh ini, dari 10 negara ASEAN, hanya Filipina dan Indonesia yang sudah meratifikasi.

Penetapan syarat seperti ini sangat dibenarkan karena konvensi-konvensi internasional itu dilakukan lembaga internasional resmi dan ini wujud kepatuhan Indonesia terhadap konvensi-konvensi internasional itu. Pemerintah dapat pula menetapkan persyaratan bahwa pekerja asing yang akan masuk wajib mengerti dan bisa berbahasa Indonesia sebagai dasar transfer teknologi dan pengetahuan (know-how).

Ketiga, program jemput bola (reach out) untuk melakukan sertifikasi kompetensi kerja secara sistematik dan masif. Pemerintah tak boleh menunggu kaum pekerja datang, tetapi harus jemput bola mendatangi komunitas-komunitas pekerja profesional tersebut. Agar program sertifikasi ini bisa diikuti sebanyak-banyaknya pekerja Indonesia, sarana menuju sertifikasi seperti pendidikan, khususnya pendidikan profesi dan kejuruan serta pusat-pusat pelatihan yang layak dan berstandar internasional, harus dibangun.

Dengan begitu, akan tercipta suatu link-train-match sebagai upaya perluasan penyerapan tenaga kerja, baik di dalam maupun di luar negeri. Tugas ini tak harus melulu pemerintah, tetapi bisa juga pihak swasta yang melakukan mengingat banyak balai latihan kerja yang berkualitas sangat bagus juga dimiliki swasta.

Keempat, melakukan diplomasi bilateral setingkat kepala pemerintahan atau setidaknya setingkat menteri untuk membuka pasar kerja di luar delapan jenis pekerjaan yang sudah terpayungi MRA. Untuk perluasan pasar kerja internasional, diplomasi ini bahkan bisa saja dilakukan dengan negara-negara non-ASEAN mengingat potensi pasar kerja itu terbuka luas.

Dalam diplomasi, yang perlu ditekankan adalah sejauh mungkin mengurangi hambatan yang tak perlu dan artifisial oleh negara mitra penerima, sejauh perusahaan di negara itu sudah bersedia menerima kualifikasi tenaga kerja dari Indonesia. Selama ini, sering terjadi perusahaan di suatu negara mitra ”menjerit” meminta tenaga kerja dari Indonesia, tetapi mereka tak bisa merekrut karena ada hambatan kebijakan negara mitra itu.

Selanjutnya, akan lebih kuat lagi jika dalam diplomasi ketenagakerjaan juga dikaitkan dengan trade off dalam kerja sama perdagangan dan investasi yang telah menguntungkan negara mitra itu. Singkatnya, jika negara mitra mendapat manfaat dan keuntungan besar dari perdagangan dan investasi, sudah selayaknya mereka juga membuka pasar kerjanya untuk tenaga kerja dari Indonesia sejauh memang dibutuhkan perusahaan-perusahaan di negara mitra tersebut.

 Kelima, untuk menyambut kebutuhan jangka menengah dan panjang, perlu suatu perencanaan tenaga kerja nasional yang terintegrasi dengan perencanaan industri nasional, terutama industri manufaktur, pertanian dan perkebunan, serta kelautan dan perikanan. Dengan perencanaan terintegrasi, sudah selayaknya bisa mengurangi ketidakpadupadanan (mismatch) antara keluaran (output) pendidikan dan latihan dengan  kebutuhan pasar kerjanya. Dengan begitu, tak ada alasan bagi pengusaha di Indonesia untuk mendatangkan berbondong-bondong pekerja asing demi menjalankan usahanya.

Moh Jumhur Hidayat Aktivis dan Pemerhati Gerakan Buruh;
Mantan Kepala Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia



Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000008552368