BEKERJA DAN BERBAKTI UNTUK KEMAJUAN KTI

Arang Briket Solusi Atasi Sampah di Tanah Lot. Bagaimana Caranya?

Oleh Anton Muhajir, Bali

 

Tanah Lot, salah satu pusat wisata di Bali. Tiap hari 5.000-6.000 turis mengunjungi kawasan ini. Dengan cuaca pantai relatif panas, es kelapa muda jadi salah satu minuman paling laris.

Tak pelak, per hari, sekitar 1.000 batok kelapa menjadi sampah di sini. Saat sepi turis, batok kelapa minimal 800 butir. Kalau ramai bisa 2.000 butir. Batok-batok itu dari ratusan pedagang dan puluhan restoran di Tanah Lot, Desa Beraban, Kecamatan Kediri, Tabanan.

Sampah batok kelapa menumpuk. Begitu juga jenis sampah lain. Per hari, sampah mencapai 9-10 kuintal.

Jika sampah lain diangkut petugas DKP Tabanan ke tempat pembuangan akhir, tidak demikian batok kelapa. Semua dibiarkan. Pedagang-pedagang membuang begitu saja batok kelapa itu. Tidak ada yang mengolah.

Melihat sampah menumpuk, warga didukung Yayasan Korpri Universitas Warmadewa, PT Aqua Investama Lestari, dan Pemerintah Tabanan, mengolah batok-batok kelapa itu menjadi bahan bakar briket. Warga tergabung dalam Gemaripah, sebuah komunitas pengelola sampah di Tanah Lot.

“Kita harus berbuat sesuatu menangani sampah. Biar tidak saling menyalahkan,” kata Ketua Anak Agung Gede Oka Wisnumurti, Ketua Yayasan Korpri Universitas Warmadewa.

Menurut dia, sampah memang tak cuma masalah Tanah Lot. Beberapa tempat wisata lain mengalami hal sama, serbuan sampah tak terkendali. Salah satu Kuta. Ketika musim hujan, sampah-sampah menyerbu pantai tempat berjemur, bersantai, berwisata, dan berselancar ini.

Tiga tahun lalu, majalah TIME menulis masalah sampah di Bali. Dengan judul agak sarkas, menyebut Bali sebagai neraka gara-gara sampah. Artikel ini menyodok banyak pihak. Mereka gerah dan gelagapan karena tulisan yang sebenarnya sering diangkat media lokal itu. Mereka khawatir merusak citra Bali dan berpengaruh buruk bagi kunjungan wisata.

Tanah Lot, salah satu pusat wisata di Bali. Tiap hari 5.000-6.000 turis mengunjungi kawasan ini. Dengan cuaca pantai relatif panas, es kelapa muda jadi salah satu minuman paling laris.

Tak pelak, per hari, sekitar 1.000 batok kelapa menjadi sampah di sini. Saat sepi turis, batok kelapa minimal 800 butir. Kalau ramai bisa 2.000 butir. Batok-batok itu dari ratusan pedagang dan puluhan restoran di Tanah Lot, Desa Beraban, Kecamatan Kediri, Tabanan.

Sampah batok kelapa menumpuk. Begitu juga jenis sampah lain. Per hari, sampah mencapai 9-10 kuintal.

Jika sampah lain diangkut petugas DKP Tabanan ke tempat pembuangan akhir, tidak demikian batok kelapa. Semua dibiarkan. Pedagang-pedagang membuang begitu saja batok kelapa itu. Tidak ada yang mengolah.

Melihat sampah menumpuk, warga didukung Yayasan Korpri Universitas Warmadewa, PT Aqua Investama Lestari, dan Pemerintah Tabanan, mengolah batok-batok kelapa itu menjadi bahan bakar briket. Warga tergabung dalam Gemaripah, sebuah komunitas pengelola sampah di Tanah Lot.

“Kita harus berbuat sesuatu menangani sampah. Biar tidak saling menyalahkan,” kata Ketua Anak Agung Gede Oka Wisnumurti, Ketua Yayasan Korpri Universitas Warmadewa.

Menurut dia, sampah memang tak cuma masalah Tanah Lot. Beberapa tempat wisata lain mengalami hal sama, serbuan sampah tak terkendali. Salah satu Kuta. Ketika musim hujan, sampah-sampah menyerbu pantai tempat berjemur, bersantai, berwisata, dan berselancar ini.

Tiga tahun lalu, majalah TIME menulis masalah sampah di Bali. Dengan judul agak sarkas, menyebut Bali sebagai neraka gara-gara sampah. Artikel ini menyodok banyak pihak. Mereka gerah dan gelagapan karena tulisan yang sebenarnya sering diangkat media lokal itu. Mereka khawatir merusak citra Bali dan berpengaruh buruk bagi kunjungan wisata.

Bisnis pariwisata adalah bisnis citra. Karena itu, citra Bali pulau bebas sampah harus dijaga. Ini pula yang memengaruhi warga Tanah Lot mengolah sampah, salah satu batok kelapa menjadi briket.

Ketua Gemaripah Made Sulindra, mengatakan, para pedagang dan warga di Tanah Lot mulai rajin gotong royong membersihkan sampah.Mereka mulai mengolah batok kelapa menjadi briket. Tempat pengolahan briket di bagian utara Tanah Lot, menempati satu bangunan berukuran 5 x 5 meter persegi.

Setiap hari ada petugas mengolah batok-batok kelapa dari berbagai warung dan restoran di sana. Pengolahan termasuk cepat, sekitar 10 menit. Tiap batok kelapa, masih basah sekalipun, bisa langsung dipakai. Ia dimasukkan mesin pencacah hingga seperti sabut-sabut kasar. Perlu dua atau tiga kali pencacahan agar sabut-sabut lebih halus.

“Makin halus sabut, makin bagus kualitas briket.”

Sabut halus itu dicampur serbuk kayu dengan perekat tepung kanji. Ada takaran tertentu dari masing-masing bahan agar briket berhasil bagus.

Adonan sabut kelapa dan serbuk kayu dipres dengan alat cetak berbentuk bulat serupa mangkuk terbalik. Bentuk briket mulai terlihat meski masih basah.

Briket basah dijemur antara 3-4 hari dan siap dibakar. Dalam sehari, warga bisa memproduksi 500 briket dengan harga Rp7.000 per kg.

Menurut Sulindra, briket-briket itu bagus sebagai pengganti arang. Beberapa hotel sekitar sudah mencoba. Jadi, briket batok kelapa itu potensial dikembangkan. Sayangnya, penjualan belum lancar. Pembeli briket olahan masih eceran. “Kami belum berani menjual jumlah besar karena takut kewalahan.”

Kala musim penghujan, mereka kesulitan menjemur briket. Namun, kata Sulindra, penjemuran sudah dengan para-para di ruangan yang memakai atap tembus cahaya matahari. “Tapi tetap tidak bisa cepat seperti dijemur langsung sinar matahari.”

Selain terkendala cuaca, karena pengeringan manual, pengolahan briket menghadapi tantangan keterbatasan produksi. “Kami masih mencari solusi agar memproduksi briket kering meskipun musim hujan dan bagaimana menghasilkan dalam jumlah besar.”

Sumber : http://www.mongabay.co.id/2015/01/31/arang-briket-solusi-atasi-sampah-di-tanah-lot-bagaimana-caranya/