BEKERJA DAN BERBAKTI UNTUK KEMAJUAN KTI

Anak-anak di Morotai Ini Belajar Wisata Berkelanjutan

oleh Mahmud Ichi [Morotai] di 15 May 2019

  • Yayasan A Liquid Future, mengajarkan anak-anak, seperti pengenalan dan pemahaman fungsi lingkungan, konservasi alam atau perlindungan sumberdaya hayati. Mereka juga belajar Bahasa Inggris, komputer, konsep turisme berkelanjutan, fotografi maupun jurnalisme warga.
  • Sekitar 1.200-an anak, usia tujuh sampai 16 tahun, ikut belajar di Yayasan A Liquid Future di Morotai, berasal dari berbagai desa.
  • Tujuan pendidikan ini agar anak–anak mendapatkan berbagai ilmu demi mempersiapkan mereka menghadapi Morotai sebagai tujuan wisata. Kala, wisatawan datang, tak hanya jadi penonton, mereka dapat jadi pihak yang terlibat dengan memiliki perspektif wisata berkelanjutan.
  • Muda mudi Morotai ini juga bisa menceritakan keindahan alam dan budaya sendiri kepada dunia luar melalui media sosial.

Mereka ini anak-anak yang ikut Yayasan A Liquid Future, sebuah lembaga nirlaba dari Inggris, yang bekerja mendampingi warga dan anak-anak lokal di Morotai. Di sebuah rumah sederhana tak jauh dari bibir pantai jadi base camp pelatihan dan pendampingan bagi anak-anak Morotai ini.

Hari itu, Dubes Amerika untuk Indonesia Joseph Donovan Jr dan rombongan, datang ke desa itu mengunjungi Liquid, bertepatan dengan hari perayaan 70 tahun hubungan diplomatik Indonesia dan Amerika Serikat.

Di yayasan ini, anak-anak dididik berbagai hal, seperti pengenalan dan pemahaman fungsi lingkungan, konservasi alam atau perlindungan sumberdaya hayati. Mereka juga belajar Bahasa Inggris, komputer, konsep turisme berkelanjutan, fotografi maupun jurnalisme warga.

Sebelum di Morotai, yayasan yang didirikan Elizabeth Murray ini sudah pendampingan di Sumatera dan Bali. Di Morotai, Maria Megawati Maail, warga Desa Bido, sebagai direkturnya. Elizabeth dibantu dua rekan dari Inggris membantu memberikan pelajaran Bahasa Inggris dan surfing.

Anak- anak ini sangat antusias. “Saya senang bisa di sini jadi bisa berbahasa Inggris, jalankan komputer, berselancar dan paham betapa penting menjaga alam dan lingkungan,”kata Hosea Kania, siswi SMP.

Hosea senang, meskipun mereka berada jauh di pelosok negeri tetapi bisa mendapatkan pengetahuan luar biasa.

Dia belajar banyak dari tempat ini. Dari surfing membuat video dan film pendek, foto maupun menulis memperkenalkan tempat mereka ke dunia luar melalui media sosial. “Kami diajarkan banyak hal. Bahkan membuat video dan film untuk bisa masuk media sosial.”


Hosea merasa beruntung bisa bergabung dan ikut pendampingan ini. Dia bilang, baru tujuh bulan ikut, surfing sudah mahir. Dia bahkan jadi instruktur untuk pemula.

Begitu juga Hendrik Abaka. Anak putus sekolah usia 10 itu, sudah mahir berselancar. Dia manfaatkan waktu bermain dengan belajar bersama anak-anak lain.

Mengapa putus sekolah? “Pak guru sering pukul jadi saya berhenti sekolah,” katanya.

Dia lalu ikut gabung bermain selancar dan belajar bahasa Inggris bersama A Liquid Future. “Sangat menyenangkan. Jadi akan terus belajar lagi,” kata Hendrik.

Mereka juga belajar dan praktik menjaga lingkungan. Satu contoh, kewajiban mereka harus mengumpulkan sampah terutama sampah plastik.

Elizabeth, tak hanya pendiri, sekaligus mentor anak-anak dalam mengajarkan upaya konservasi dengan pendekatan sosial. “Anak-anak sebenarnya lebih pada pendekatan sosial. Misal, memulai dengan mencari tahu kecintaan mereka terhadap laut.”

Salah satu sarana pendekatan diri terhadap kondisi lingkungan, lewat berselancar. Dengan berselancar, katanya, mereka akan mencintai laut. “Dengan mencintai laut, otomotis ikut melindungi. Dari sini anak-anak memiliki motivasi,” katanya.

Diawali menanam kecintaan terhadap selancar, lalu bicara perlindungan terumbu karang, bahaya sampah plastik dan lain-lain.

Melalui surfing dan snorkeling, katanya, mereka melihat karang dan ikan-ikan indah. Harapannya, tumbuh kecintaan terhadap laut dan tergerak melindungi.

Anak-anak ini biasa mengambil foto bawah laut. Dengan melihat langsung ikan dan karang pada jarak cukup dekat. “Melihat keindahan ini akan senang dan muncul kecintaan.”

Mereka juga belajar menulis isu lingkungan, semisal sampah plastik dan bahayanya serta lingkungan kotor berbahaya bagi kesehatan. “Ini dasar mereka lebih peduli, cinta dan melindungi alam mereka berada.”

Ketika memasuki rumah sederhana tepi pantai sebagai tempat berkumpul anak-anak itu, tampak berisi lukisan dan pesan- pesan menjaga bumi atau kekayaan hayati di laut dan darat.

Dalam mengurangi sampah plastik, misal, ada sebuah mural di dinding mengingatkan semua pihak,”Laut Penuh Plastik, Semua Mati.” Artinya, kalau sampah plastik banyak di laut akan membunuh terumbu karang maupun biota lain. Dinding di rumah itu berisi mural yang memberi pesan belajar dan melindungi alam agar terjaga.

“Ada satu program menarik terutama bagi peselancar. Mereka wajib memungut sampah di laut, di tepi pantai atau lingkungan kampung,” katanya.

Elizabeth tak sendiri. Sejak 2016, dia dibantu Kedubes Amerika dan Konjen Amerika di Surabaya. Program ini fokus pada isu keberagaman, kekuatan dan kedalaman hubungan Indonesia-Amerika, serta memperkuat hubungan people-to-people di seluruh Indonesia.

Melalui program dana hibah Sustainable Surf and Marine Tourism Stewards Programme, ikut membantu pengembangan ekowisata berbasis masyarakat dan berkelanjutan pada enam desa di Morotai. Juga memberikan keterampilan bagi anak-anak muda dalam mengembangkan ekonomi wisata.

Program ini juga memegang peranan penting mengurangi konflik dan membangun hubungan yang kuat antar masyarakat di di mana area program dilaksanakan.

“A Liquid Future juga memiliki hubungan kuat dengan jajaran pemerintahan Morotai dalam berbagai level,” kata Elizabeth.

Dia bilang, melalui dana hibah kecil dari Konjen Amerika Serikat juga mendanai sejumlah program dan workshop untuk anak-anak muda, termasuk mengajarkan Bahasa Inggris, konsep turisme berkelanjutan, fotografi, surfing, dan jurnalisme warga. Program ini juga fokus menguatkan remaja putri dalam upaya konservasi lingkungan.

“Sekitar 1.200 anak muda di Morotai bergabung di program ini. Mereka tersebar di 12 desa dan tiga pusat kegiatan utama di Morotai.”

Bersiap diri

Menurut Elizabeth, anak–anak mendapatkan berbagai ilmu itu demi mempersiapkan mereka menghadapi Morotai sebagai tujuan wisata.

Desa Bido, berpantai pasir putih dengan ombak yang cocok untuk bersilancar. “Bekal bisa surfing, bikin film pendek, bahasa Inggris dan lain-lain, supaya orang lokal tidak jadi penonton nanti,” katanya.

Anak-anak ini sudah bisa menggunakan go- pro atau kamera bisa buat dokumentasi kala berselancar, membuat berbagai media seperti video dan film pendek guna memperkenalkan keindahan alam Morotai ke dunia luar. Jadi, katanya, tak perlu orang luar datang memperkenalkan keindahan alam Morotai.

Aksi anak-anak dan muda mudi ini malah jadi daya tarik tersendiri. Mereka bisa menceritakan keindahan alam dan budaya sendiri kepada dunia luar melalui media sosial. “Kita tidak lupa mengajarkan juga gunakan media sosial seperti Facebook, Instagram, Twitter dan media sosial lain dalam memperkenalkan Morotai.”

Saat ini, A Liquid Future, membuat akun medsos dengan nama Morotai Daloha atau Morotai Indah. Akun ini mempublikasikan hasil karya foto dan video dan bisa disebar ke seluruh dunia. Fasilitas ini, katanya, akan memandu mereka yang senang diving, snorkeling dan berselancar.

Dia juga bekerjasama dengan Yayasan Conservation International dan Save the Waves. Mereka membuat dua tempat penting di Morotai yakni Morotai Jaya dan Morotai Utara, untuk komunitas selancar dan menyaksikan keindahan alam.

Keterangan foto utama: Anak-anak perempuan ini bersiap turun belajar berselancar. Foto: Mahmud Ichi/ Mongabay Indonesia

Sumber: https://www.mongabay.co.id/2019/05/15/anak-anak-di-morotai-ini-belajar-wisata-berkelanjutan/