BEKERJA DAN BERBAKTI UNTUK KEMAJUAN KTI

7 Masalah Mendasar Perlu Segera Dibenahi

Persoalan Bangsa
7 Masalah Mendasar Perlu Segera Dibenahi


Pengantar Redaksi:

Untuk mengetahui persoalan mendasar bangsa sebagai bahan masukan untuk pemerintahan baru, Litbang ”Kompas” mengadakan diskusi kelompok terfokus (FGD) pada 3, 4, dan 6 Juni 2014 di Jakarta, Medan, Makassar, dan Ambon. Hasil FGD dilaporkan mulai Senin ini hingga Sabtu secara berturut-turut. Narasumber diskusi bidang politik dan hukum: Guru Besar Universitas Hasanuddin Prof Dr Deddy T Tikson, Senior Advisor Partnership Dr Abdul Malik Gismar, sejarawan Hilmar Farid, Direktur Eksekutif Pol-Tracking Institute Hanta Yuda, dan aktivis Ridaya La Ode Ngkowe. Moderator adalah dosen Filsafat UI, Dr Donny Gahral Adian. Hasil diskusi dirangkum Toto Suryaningtyas, Sultani, Ayu Pratama Siantoro, dan Ida Ayu Grhamtika.

Paling tidak ada tujuh masalah dasar yang harus ditangani segera oleh pemerintahan baru nanti. Beragam persoalan bangsa ini tidak lepas dari penanganan pemerintah lama yang belum optimal sejak era reformasi digulirkan.

Permasalahan pertama adalah penegakan hukum. Kedua adalah peraturan hukum yang tumpah tindih dan belum sejalan dengan Undang-Undang Dasar 1945. Ketiga, buruknya koordinasi, baik di dalam lembaga sendiri maupun antarlembaga negara. Adapun yang keempat, kualitas penduduk yang masih menjadi persoalan, baik dari aspek kompetensi maupun dari sisi kesehatan.

Persoalan mendasar kelima adalah aspek kuantitas penduduk, yang meliputi masalah pengendalian penduduk, penyebaran yang tidak merata, dan pengelolaan administrasi kependudukan yang tak kunjung memadai. Keenam, pengelolaan sumber daya alam yang belum optimal dan berkelanjutan. Masalah ketujuh adalah desain pengelolaan anggaran belanja negara yang belum memperhatikan aspek berkelanjutan.

Persoalan penegakan hukum merupakan masalah paling mendasar. Meskipun beragam upaya telah dilakukan, semua survei indeks tentang kepuasan atas kinerja penegakan hukum masih memberikan ”angka merah” dan kategori rendah.

Instrumen penegakan hukum dapat dikatakan sudah relatif memadai. Perundang-undangan pun sudah mencakup bidang yang sebelumnya tak tersentuh, seperti perlindungan hak asasi, hak anak dan perempuan, pengawasan spesifik, hingga pemberantasan korupsi secara ad hoc. Sayangnya, penegakan hukum terlihat tetap lemah karena penegakan ketentuan pidana yang rendah.

Hal ini terimplikasi dari aktor utama dalam penegakan hukum formal, yaitu kepolisian dan kejaksaan. Dua institusi negara pemegang kekuasaan pokok penegakan hukum itu sering tidak bebas dan kebal dari berbagai pengaruh luar dan kepentingan materi.

Benang merah yang mendasari fenomena aparat penegak hukum ini disinyalir kuat adalah persoalan integritas dan independensi aparat penegak hukum. Pelaksana hukum gagal menegakkan hukum di wilayah internal mereka. Sumber pemasukan ilegal masih terjadi dengan alasan ”anggaran operasional terbatas”. Praktik suap dan korupsi pun tetap mengakar.

Dinilai, ada yang salah dalam model kerja, pola koordinasi, pendekatan supervisi, dan sistem komando yang membentuk sistem penegakan hukum institusi kepolisian dan kejaksaan. Bahkan sistem kepemimpinan organisasi pun tidak dirancang untuk membangun sistem integritas. Kalaupun ada, banyak yang ”tumpul” karena rutinitas.

Pada tahap ini, manajemen penegakan hukum oleh kepolisian dan kejaksaan harus dikembangkan. Manajemen ini harus mampu menegakkan aturan hukum di wilayah kerja sendiri dan yang penting secara internal mampu menindak dan mencegah para manajer memanfaatkan jabatan untuk memeras dan keuntungan materi lainnya.

Beruntung sejak tahun 2004 ada Komisi Pemberantasan Korupsi yang secara sporadis mengungkap kasus-kasus besar korupsi. Namun, satu kasus di kementerian diungkap, esok sudah ditemukan kasus korupsi di lembaga atau kementerian lain.

Kurangnya kerja sama antarlembaga yang memiliki wewenang pengawasan dan penyelidikan memerlukan perhatian presiden sebagai pemimpin puncak negeri ini.

Beberapa rekomendasi dapat menjadikan agenda reformasi penegakan hukum oleh presiden. Pertama, memberikan target kinerja terukur kepada Kapolri dan Jaksa Agung. Harus ada konsekuensi apabila tidak terpenuhi.

Kedua, fungsi pengawasan Komisi Kepolisian Nasional dan Komisi Kejaksaan harus diberdayakan sungguh-sungguh.

Ketiga, masalah integritas harus dimulai dari atas. Jaksa Agung dan Kapolri harus membuktikan harta kekayaan yang mereka miliki berasal dari sumber yang sah.

Keempat, presiden harus menuntut menteri dan pimpinan lembaga pemerintah untuk membuat target nyata dan terukur yang bebas dari praktik KKN. Selanjutnya target ini diawasi dan dievaluasi.

Banyak yang pesimistis terhadap penegakan hukum di Indonesia. Sulit memang, tetapi bukan tidak mungkin. Inilah tantangan yang harus dihadapi presiden terpilih.




Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000008504693